Untung Kasih Ibu Sepanjang Badan

Every child is a unique individual.

Waktu-waktu belakangan, setiap kali menatap wajah Hikari, saya merasa kalimat itu sepertinya diciptakan untuk saya seorang. Hikari yang usianya sudah 7 tahun 9 bulan semakin hari semakin jadi ‘unik’ nya. Kalau dulu-dulu kelakuan uniknya masih bisa bikin saya ketawa-tawa meringis, sekarang kelakuannya bikin saya lebih banyak meringis daripada ketawanya.

Sejak dia duduk di kelas dua ini, Hikari tiba-tiba menjadi super aktif dan super keras kepala. Kalau dulu saat dia ketahuan melakukan sesuatu yang dilarang wajahnya hanya bisa pasang tampang polos dan langsung ngabur dari crime scene, sekarang lain lagi. Dia sekarang akan menghadapi siapapun orang yang melarangnya lalu mengeluarkan kalimat saktinya, “memangnya kenapa?”

“Hikariiiiiiiiiiiii, kenapa nyebur lagi ke kolam ikan?! Kamu sudah tiga kali ganti baju dalam setengah jam ini!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, ayo tidur siang dulu. Kamu baru sembuh jadi perlu istirahat dulu.”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, kenapa kadalnya dipasangin tali di lehernyaaaa????!!!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari! Colokan listrik bukan mainaannn! Aaarrggghhh!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, kenapa hari ini Ibu Guru menulis kalau kamu dihukum lagi sewaktu sholat jamaah? Kamu melakukan apa?”
“Main.”
“Main?! Waktu sholat jamaah?”
“Memangnya kenapa?”
“Sholat bukan waktunya untuk main. Kamu tau kan?!”
“Iya. Tau.”
“Jadi, kenapa kamu mainan waktu sholat, Naaaaaak?”
“Memangnya kenapa?”

OH MY GOD! 

Jawaban-jawaban ‘memang kenapa’ dari mulut Hikari kadang disertai dengan isak tangis rasa bersalah atau takut karena saya melotot kejam padanya. Tetap saja keras kepalanya sukses bikin saya antara darah tinggi atau pingsan di tempat.

The seven year old has defiant moments. She wants to know why she has to do something. She may call her mother mean and run to her room to sulk but is less likely to physically strike her parent now.  If things don’t go her way when playing with friends she will quit and go play by herself. When she is disciplined she accepts it but is deeply disturbed by being in trouble.

Cuplikan itu saya dapat disini. Sudah sebulanan ini saya sibuk mencari informasi kenapa anak saya tersayang itu jadi doyan bikin saya dan Papap darah tinggi. Bahkan Papap sekarang punya kebiasaan baru yaitu membaca buku-buku parenting milik saya saking dia sudah kehabisan akal. Kalau ada satu hal yang merupakan hikmah dari peristiwa ini, mungkin hanya soal Papap yang sampai mau baca buku itu demi membuat Hikari tobat…

Sudah seminggu ini alergi Hikari kumat dalam bentuk rash di kulit tangan, telapak tangan, kulit kaki, dan telapak kaki. Awalnya dia didiagnosa dengan Flu Singapur. Tapi kemudian diagnosa itu berganti menjadi alergi. Maka dimulailah serentetan pelarangan untuk Hikari, yang dimulai dengan karantina dirinya di rumah selama seminggu. Hari ini adalah hari pertama dia masuk sekolah lagi sambil membawa daftar tidak-bolehs untuk gurunya. Tidak lupa saya dan Papap mengulang-ulang daftar tidak-bolehs itu untuk dihapal Hikari.

Tidak boleh makan ini, itu, ini, itu.
Tidak boleh main dengan binatang, terutama kucing.
Tidak boleh nyemplung ke kolam ikan.
Tidak boleh ngubek-ngubek akuarium.
Tidak boleh masuk ke sawah.

Pulang sekolah, saya minta dia bercerita apa yang dia lakukan hari ini. Kalimat pertama adalah…
“Ikan di akuriumnya mati, jadi aku ambil. Tadinya aku mau kubur di tanah di dekat green garden, tapi aku lihat ada kucing kecil kelaparan. Aku panggil-panggil kucingnya, eh, dia tidak mau datang. Kayaknya dia lapar sekali deh, jadi tidak bisa jalan. Jadi, aku angkat kucingnya ke tempat ikan. Terus ikannya aku kasih makan buat kucing…”

Saya menatapnya lama sekali dengan mulut dikatup erat-erat. Saya melihat dada Hikari turun naik. Matanya ditundukkan ke bawah sambil sesekali melirik saya.

Lalu, “memangnya kenapa, Ma?”

Leave a Reply