Sunsets Sent

It’s an almost sunset. The fifth sunset I sent her this week. Her reply arrived less than a minute. A big red heart.

‘Not as round as yesterday.’ She typed. ‘Still beautiful though.’
‘There is time.’ I replied. ‘An hour to go before the official sunset time.’
She sent me a grin. A big, big grin, I was picturing it.
My thumb froze a little above the phone. ‘How’s your sunset?’
She was typing. I had to make sure we were texting because otherwise she could hear my heart sounding like a dozen wild horses running.
‘Can’t see it. Hidden behind the neighbors’ roof.’
I was imagining her turning her gaze to the window at her study room.
‘I wish I could barter the view in front of me, with yours.’ She sighed. ‘I see only spreadsheets and words.’
I swore the letters she typed made sound. I could hear them!
‘Envy you!’
I could hear her say that too.
‘What envy?’ I felt brave. ‘It’s only 5-minute drive from your desk.’
‘Ah! But you forgot the time I need to get ready! Can’t go there in Minnie Mouse shirt and shorts.’
How could I notice Minnie when she was in front of me?
‘Have fun exercising!’ Another smile.
‘Will do.’

I retreated. The only exercise I needed was for my head. Sitting down, I took comfort on a damp grass after this morning’s rain. The yellow ball in the sky was turning deep orange. Soon it would officially become a Friday sunset. The fifth sunset that failed this week, joining many others in the weeks before.

The wind was cold today, yet the wild flowers didn’t hesitate to dance. My heart skipped a beat. May be… May be if it were… wild flowers instead of sunsets?

#veryshortfiction #flashfiction #fiction #sunsetstory #wildflowers #writersofinstagram #writershead #writerlife #sunsetandflowers

A Cup of Heart

He held out his hands and put the glass bowl in front of me. It was half full with small folded papers. Back in my apartment, Black, my goldfish, lived in the same kind of bowl. His hands were now on his hips. Sleeves rolled up and apron the color of coffee bean was crisp. His widened eyes were watching me. Expecting me to take one the folded papers.
“Come on, man. I just want a cappuccino. Sweet, creamy, but strong.” I gave him my best smile.
“It doesn’t work that way here.” From the other side of the table, he pointed out at a sign on top of it.
My smile disappeared. “Fine.”
I picked one paper, glared at him, and opened the paper. It was written ‘heart’. I let out a frustration but his satisfying laughter was louder. He would be handsome if the glass bowl didn’t hit his face first, I thought, entertaining the idea.

It had been a month I had my coffee here and heart was the only latte art I got for my cappuccino. I didn’t even care about the bloody drawing but this man who otherwise was quite handsome if I hadn’t been regularly cross at him said it was a rule here to choose a surprise latte art for our coffee! A fresh cup of coffee with lily drawing was delivered to a man at a nearby table.
“Why can’t I have that just once? Or a smiley for a change!” I hissed.
He shrugged indifferently. “Luck, I guess.” He took the bowl and put it back under the table. “One cappuccino coming right up. Sweet, creamy but strong. Enjoy the heart.”
He gave me his widest brightest smile. I rolled my eyes, picked up my yoga mat, and walked to my usual table next to the front window.

At the barista’s table, he returned the bowl next to an identical bowl half full with small folded papers. He sensed his friend passed behind and muttered under the breath. Only loud enough for his ears to hear.

“It’d be a lot easier if you just tell her directly.”

First posted the story as very mini short story in my instagram.

#writing #shortstorywriting #oneofthoseinsomnianights #coffee #coffeeaddict #latteart #cupofcoffee #veryshortfiction #fictionwriting #coffeestory #latteartgram #caffeinated

Antologi Cerpen – Sebuah Niat untuk Terus Menulis

Cerpen Majalah Femina
Niat. Yang penting niatnya.
Sebenarnya saya sudah lama berniat melanjutkan draft-draft cerpen yang terbengkalai. Ya niat doang. Belum pernah saya laksanakan dengan berbagai alasan. Salah satunya karena saya takut berkomitmen waktu untuk menulis (saja). Menulis itu butuh banyak faktor pendukung selain mood. Ada faktor ketenangan lingkungan yang sangat penting, faktor kenyamanan tempat menulis, faktor bebas gangguan, dsb dkk dll. Kalau saya sudah berkomitmen untuk menulis, artinya saya akan menjadi sangat selfish. Tidak mau diganggu selama jam-jam saya menulis. Tanpa adanya ruangan sendiri yang bebas gangguan, kondisi ini sulit kecuali saya menulis dari tengah malam sampai dini hari. Coba setiap hari gini, minggu kedua tipes langsung kan?
Continue reading

Jam 7 Pagi

Di dua puluh empat jam hidupku dalam sehari, matahari terbit di jam 7 pagi.

JAM 7 PAGI
Getaran ponsel membangunkan aku diikuti dengan bunyi ting ting ting yang terdengar bertubi-tubi menandakan pesan demi pesan berebutan masuk. Jam 7. Ah sialan. Tadi aku lupa mematikan suara notifikasi.
Aku tidak langsung membuka pesan yang masuk ke ponselku. Mataku masih menolak untuk membuka lebar, kepalaku masih lekat dengan bantal leher, dan nyawaku masih gentayangan di dunia mimpi. Ting ting ting! Penumpang perempuan di sebelah kananku mengubah posisi rebahannya tanpa basa-basi, memunggungiku. Punggung bangku bus yang dia duduki, eh, tiduri, direbahkan lebih dalam. Maaf ya. Aku berharap kekuatan alam semesta meneruskan permintaan maafku lewat telepati. Aku tidak perlu melihat siapa yang mengirim pesan. Aku sudah tahu.

Cerpen terbaru di antologi cerpen Empat Puluh Kilometer Pulang di Storial. Lengkapnya, lanjut ke cerita Jam 7 Pagi.

#fiction #writing #storytelling

Wedding Ring – My Morning with You

“Is that…a wedding ring?”

Pertanyaannya, walau pelan, datang tiba-tiba. Dilontarkan di situasi yang tidak tepat. Di keheningan penumpang yang memenuhi bus pagi itu. Sebelumnya perhatianku sedang terpaku pada pemandangan pohon-pohon di luar jendela bus yang mulai berganti warna dari hijau ke coklat. Aku terkesiap, menoleh cepat dan mendapati dirinya menatapku lekat-lekat dari balik lensa kacamatanya. Bola matanya yang biru seperti langit musim dingin di luar sana menatapku lekat-lekat. Ah, sialan! Perempuan berambut merah sebahu yang duduk di bangku di depan kami memiringkan kepalanya sedikit. Aku tak bisa melihat wajahnya tapi aku yakin apapun jawabanku, perempuan di depanku akan tahu juga. Apa pertanyaannya tadi?

Lanjutannya ada di Storial ya 😀 .

#fiction #writing #storytelling

40 Kilometer Pulang

Sudah mulai musim hujan. Siap-siap banjir.
Kata supir bus tanpa ditujukan kepada siapa-siapa. Matanya masih terpaku ke ruas jalan di depannya. Pandangannya terhalang air hujan yang turun seperti jalinan air tebal-tebal. Dua buah wiper panjang melekat di kaca bus dan bergerak konstan ke kanan ke kiri tidak banyak menolong. Hanya suara besi diseret saja yang menandakan tongkat wiper itu bekerja.

Bangku empuk berbalut kulit sintetis warna hitam di belakang supir sebenarnya bisa diduduki tiga orang penumpang. Hanya aku yang duduk di sana. Orang-orang yang naik setelahku hanya melirik sebentar lalu berlalu. Tidak ada yang mau duduk di sebelahku. Aku tidak menyalahkan mereka. Aku pun tidak mau duduk di sebelahku. Payung di tanganku basah dan tetes-tetes air turun ke lantai bus. Jaket parka yang kupakai basah kuyup membuatnya berat, bau, dan dingin. Lalu ada tas ransel yang basah kutaruh di sebelahku. Celana panjang berbahan kain yang menjadi jalan air dari badanku ke kaki, merembes ke kaos kaki, menyusup ke pojokan dalam sepatu yang bila kupaksa berjalan akan berbunyi seperti spons penuh air. Aku duduk di ujung bangku, menyender ke jendela di sisi kanan. Mesin pendingin di atas kepala tidak bisa diatur suhunya. Hanya ada pilihan Mati dan Dingin. Udara dingin yang keluar dari mesin itu tidak punyai belas kasihan. Badanku menggigil. Tidak ada tempat untuk melarikan diri dari kejaran angin beku di dalam bus. Setidaknya udara dari mesin pendingin bisa menghilangkan embun dari kaca jendela. Aku bisa memandang keluar. Ke deretan mobil yang berjalan berdesakan di ruas jalan tol. Mobil-mobil pribadi berisi satu dua orang. Taksi-taksi dengan penumpang yang sepertinya lega telah terhindar dari tumpahan air dari langit. Membayangkan kehangatan mereka membuatku semakin menggigil. Berapa ongkos taksi dari Plaza Semanggi ke Bekasi? Mungkin 200 ribu rupiah di tengah hujan dan macet. Jumlah Rupiah yang tidak mampu aku keluarkan demi rasa hangat sejauh 40 kilometer.

Badanku menggigil lagi.
Continue reading

Lukisan Tua, Angka 13, dan Jarik Tua

LukisanIni tulisan paling susah yang pernah saya tulis.

Susah karena saya ingin menggambarkan masa-masa gelap saya saat terkena Post Partum Depression (PPD) yang dimulai tahun 2011. Cerita di tulisan ini tentu fiksi. Namun emosinya nyata, walau hanya seujung kuku yang saya keluarkan.

Saya kirimkan draft tulisan ini ke beberapa teman. Hanya Nenek FM yang sanggup membacanya sampai akhir DAN memberikan input. Beberapa teman saya yang lain berhenti di seperempat cerita karena…it’s too dark, too emotionally consuming. I don’t blame them. It’s the same reason why I could only write a tiny bit of the emotion.
Continue reading

A Wish for Love

Kangen kan sama tulisan saya? hehehe
Novel keempat saya sudah beredar loh. Pelepas kangen. Sempat disindir-sindir di twitter karena kelamaan vakum. Maap yaaaa. Ini deh pelipur laranya. Keren banget lah! *ditimpuk massa*

Cerita sedikit ya. Novel ini aslinya berjudul In Your First Smile. Saya dapat ide cerita novel ini ketika sedang di Sanur, Bali. Terus terang ide cerita ini adalah gabungan apa yang saya alami, rasakan dan apa yang setidaknya dua orang teman saya alami dan rasakan. Walaupun semua novel saya selalu berisi setidaknya secuplik dua cuplik kejadian nyata yang entah saya lihat atau saya alami sendiri, novel ini terutama yang benar-benar berisi sesuatu yang nyata. Pernyataan saya bahwa cinta hanya datang kepada sedikit orang yang beruntung bukan sekedar kalimat poetic biasa. Pernyataan itu saya dapat sebagai benang merah dari perasaan orang-orang yang menjadi ide cerita novel ini.

Lalu, apakahah jalan ceritanya nyata? Hmmmm… ada yang nyata. Tapi saya enggak mau bilang yang mana 🙂 Bisa tebak?

20130825-002746.jpg

Love is a myth.

Cinta hanya datang kepada sedikit orang yang beruntung. Dan aku bukan salah satu yang beruntung itu.

But that’s fine. Aku tidak membutuhkan cinta. Menurutku, dua orang dewasa yang saling peduli dan menghormati sudah cukup untuk menjalin hubungan yang baik. Seperti aku dan Rio. Bertahun-tahun aku menjadi kekasih Rio tanpa pernah mencintainya dan itu sudah cukup. I can live with that. I really can… sampai seorang laki-laki lain membuat duniaku berhenti berputar dengan senyumnya dan mata bulan sabitnya.

Kini ada dua laki-laki mengharapkan cintaku. Siapa yang harus kupilih?
If I have to choose love, why does it hurt so much?

————–
Terima kasih saya yang tidak terhingga untuk orang-orang dengan enough dosage of care, affection, and critics yang membuat motivasi saya menyelesaikan novel ini (yang butuh dua tahun!) membara selalu. Thank you, guys. I mean it!
Fitri Mohan, Kang Meddy, Santi D.