Karena Semua Kita adalah Loki

Entah kenapa sejak saya nonton Thor Ragnarok beberapa bulan lalu saya masih aja keinget si Loki. Ya, oke, saya kebayang-bayang si Chris Hemsworth juga sih selama beberapa hari. Ya ganteng gitu loh 🙄 dan aksennya mengingatkan saya pada celotehan orang-orang di kantor 😀 . Saya makin ingin bahas si Loki di blog setelah beberapa waktu lalu di mall dekat rumah saya sempat memergoki seorang bapak memarahi menasehati anaknya yang sepertinya masih usia SD kelas 4 atau 5. Entah sudah melakukan apa sih anak laki itu tapi nasehat si bapak terngiang-ngiang di saya. “….nanti sampai gede kamu jadi begitu terus! Mau?!”

Oke. Itu bukan menasehati sih. Lebih ke meramal masa depan. Ya masa’ meramal masa lalu?!
Continue reading

Generasi yang Relevan

The road to the light is lonely.
Beberapa tahun belakangan ini setiap kali silaturahmi acara keluarga macam lebaran, saya menyadari betapa konyolnya saya karena masih sering terkaget-kaget mendapati para pakde, bude, om, dan tante seakan terlihat menua dengan drastis setiap kali bertemu.
“Ya eloooo munculnya sekali tiap beberapa purnama. Jelas aja pada keliatan makin tua!”
Begitu saya disemprot adik si Mami yang hampir seumur saya. Bisa jadi begitu karena saya memang termasuk yang jarang kumpul dengan berbagai alasan males. Kesalahan saya -saya pikir- adalah tanpa sengaja saya menghentikan waktu di saat saya berumur dua puluhan tahun sehingga yang saya ingat adalah wajah, tingkah laku, kebiasaan, sampai cara pandang para kerabat yang lebih tua di jaman saya baru lulus kuliah itu. I just froze them in that moment.
Continue reading

Parenting Ala Ala

Facebook sekarang ini rupanya memang telah menjadi pasar informasi luar biasa -dari informasi gelap, informasi abu-abu, sampai informasi jelas terang-benderang ada semua. Mau informasi jenis apa pun, pemilik akun FB bisa pilih. Eh. Koreksi. Pemilik akun bisa memilih teman tapi belum tentu bisa memilih informasi 😀 .

Kemarin itu, di antara lautan postingan tentang pilkada, hoax, roti, air mineral, sampai gempa, saya menemukan mutiara hehehe… Seorang teman saya membagikan video tentang perbedaan pengasuhan anak di Amerika dengan di Eropa.

Sebelum mulai nonton videonya, saya kasih tahu dulu ya. Penggambaran parenting di Eropa bakal bikin baper. Pengin langsung pindah ke sana bawa anak-anak hahaha…

Yang saya perhatikan di video parenting itu orang tua di Amerika hampir sama kondisi psikologisnya dalam melihat lingkungan tempat anak-anaknya berada dengan orang tua di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Anak-anak tidak dibiarkan keluar atau main sendirian, apalagi ditinggal di depan toko tanpa penjagaan. Sementara itu di di Finlandia dan Denmark, bayi-bayi mereka malah ditinggal di kereta dorong mereka sendirian di luar rumah atau di luar toko. Ngebayanginnya aja saya bisa pingsan 😀 .

Urusan pergi ke sekolah pun Amerika dan Eropa beda perlakuan. Anak-anak di Eropa dibiarkan jalan sendiri ke sekolah, persis saat saya kecil. Saat kami masih tinggal di Jepang bertahun-tahun lalu, Hikari sempat mengalami sendiri cara penduduk sekitar memperlakukan anak-anak sekolah. Mereka punya sistem anak-anak satu area perumahan berkumpul di meeting point tertentu untuk berangkat bareng ke sekolah. Ada orang tua yang piket untuk berjaga di titik-titik tertentu untuk memastikan keamanan anak-anak. Saya suka cara ini: anak tetap mandiri tapi merasa aman karena ada pengawas.

Saat saya kecil, saya masih bisa jalan kaki sendiri ke SD yang jaraknya jauh dari rumah dan melalui jalan utama yang banyak kendaraan melintas. Sekarang ini, bukan lalu lintasnya yang saya kuatirkan tapi kejahatan terhadap anak yang semakin menakutkan. Persis seperti komentar-komentar ortu dari Amerika di video itu. Video ini pada akhirnya membuat saya berpikir betapa jauhnya orang tua dan anak-anak di kota-kota besar di Indonesia Jakarta dari kondisi ideal pengasuhan anak. Jangankan berangkat sekolah sendiri, main di luar aja orang tau merasa perlu ada orang dewasa yang mengawasi 🙁 . Berita tentang anak kecil diculik saat main di pekarangan rumahnya sendiri bersliweran, termasuk di FB 🙁 . Padahal saya ingin anak saya sedari SD sudah bisa naik angkutan umum sendiri, jalan sendiri ke sekolah atau ke tempat kursusnya, main bebas di taman. Entah kapan mimpi seperti ini bisa terwujud di kota ini. Apa sebaiknya mimpi pindah negara aja ya? Ke Eropa sekalian 😀 .

Another Soul Wasted

Saya harus menginjak rem dalam-dalam saat menyetir mobil di jalan tol tepat di Interchange Cawang arah TMII sore tadi. Seorang laki-laki kumal bertelanjang kaki berjalan pelan di sisi paling kanan jalan tol. Dia tidak menoleh sedikit pun ketika dalam sekejap suara klakson dari beberapa mobil menjerit kencang melihat dia.

Dari kaca spion, saya melihat dirinya termangu di pinggir pembatas jalan tol.  Di tangannya ada kantong plastik kresek berisi buntalan. Wajahnya masih terlalu muda dan badannya masih terlalu kuat untuk menjadi seorang… gembel?

Mungkin saya sedang terlalu sensitif. Maksud saya, berpuluh tahun menjadi warga kota Jakarta asli, saya sudah terbiasa melihat pengemis, pemulung, gembel, orang-orang gila tergerus kerasnya hidup, anak-anak kecil pengamen… lalu kenapa sore ini berbeda?

Mungkin karena wajah linglungnya. Atau mungkin karena pundaknya yang seperti memikul beban berat. Mungkin juga karena ketidak relaan saya melihat seorang lagi anak manusia menjadi tersia-sia.

Hidup hanya sebentar. Dunia tidak akan ada selamanya. Saya tak sanggup melihat laki-laki itu menjadi korban kehidupan dalam usia yang terlalu muda. It’s like seeing a soul born wasted. It’s just not right.

Untung Kasih Ibu Sepanjang Badan

Every child is a unique individual.

Waktu-waktu belakangan, setiap kali menatap wajah Hikari, saya merasa kalimat itu sepertinya diciptakan untuk saya seorang. Hikari yang usianya sudah 7 tahun 9 bulan semakin hari semakin jadi ‘unik’ nya. Kalau dulu-dulu kelakuan uniknya masih bisa bikin saya ketawa-tawa meringis, sekarang kelakuannya bikin saya lebih banyak meringis daripada ketawanya.

Sejak dia duduk di kelas dua ini, Hikari tiba-tiba menjadi super aktif dan super keras kepala. Kalau dulu saat dia ketahuan melakukan sesuatu yang dilarang wajahnya hanya bisa pasang tampang polos dan langsung ngabur dari crime scene, sekarang lain lagi. Dia sekarang akan menghadapi siapapun orang yang melarangnya lalu mengeluarkan kalimat saktinya, “memangnya kenapa?”

“Hikariiiiiiiiiiiii, kenapa nyebur lagi ke kolam ikan?! Kamu sudah tiga kali ganti baju dalam setengah jam ini!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, ayo tidur siang dulu. Kamu baru sembuh jadi perlu istirahat dulu.”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, kenapa kadalnya dipasangin tali di lehernyaaaa????!!!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari! Colokan listrik bukan mainaannn! Aaarrggghhh!”
“Memangnya kenapa?”

“Hikari, kenapa hari ini Ibu Guru menulis kalau kamu dihukum lagi sewaktu sholat jamaah? Kamu melakukan apa?”
“Main.”
“Main?! Waktu sholat jamaah?”
“Memangnya kenapa?”
“Sholat bukan waktunya untuk main. Kamu tau kan?!”
“Iya. Tau.”
“Jadi, kenapa kamu mainan waktu sholat, Naaaaaak?”
“Memangnya kenapa?”

OH MY GOD! 

Jawaban-jawaban ‘memang kenapa’ dari mulut Hikari kadang disertai dengan isak tangis rasa bersalah atau takut karena saya melotot kejam padanya. Tetap saja keras kepalanya sukses bikin saya antara darah tinggi atau pingsan di tempat.

The seven year old has defiant moments. She wants to know why she has to do something. She may call her mother mean and run to her room to sulk but is less likely to physically strike her parent now.  If things don’t go her way when playing with friends she will quit and go play by herself. When she is disciplined she accepts it but is deeply disturbed by being in trouble.

Cuplikan itu saya dapat disini. Sudah sebulanan ini saya sibuk mencari informasi kenapa anak saya tersayang itu jadi doyan bikin saya dan Papap darah tinggi. Bahkan Papap sekarang punya kebiasaan baru yaitu membaca buku-buku parenting milik saya saking dia sudah kehabisan akal. Kalau ada satu hal yang merupakan hikmah dari peristiwa ini, mungkin hanya soal Papap yang sampai mau baca buku itu demi membuat Hikari tobat…

Sudah seminggu ini alergi Hikari kumat dalam bentuk rash di kulit tangan, telapak tangan, kulit kaki, dan telapak kaki. Awalnya dia didiagnosa dengan Flu Singapur. Tapi kemudian diagnosa itu berganti menjadi alergi. Maka dimulailah serentetan pelarangan untuk Hikari, yang dimulai dengan karantina dirinya di rumah selama seminggu. Hari ini adalah hari pertama dia masuk sekolah lagi sambil membawa daftar tidak-bolehs untuk gurunya. Tidak lupa saya dan Papap mengulang-ulang daftar tidak-bolehs itu untuk dihapal Hikari.

Tidak boleh makan ini, itu, ini, itu.
Tidak boleh main dengan binatang, terutama kucing.
Tidak boleh nyemplung ke kolam ikan.
Tidak boleh ngubek-ngubek akuarium.
Tidak boleh masuk ke sawah.

Pulang sekolah, saya minta dia bercerita apa yang dia lakukan hari ini. Kalimat pertama adalah…
“Ikan di akuriumnya mati, jadi aku ambil. Tadinya aku mau kubur di tanah di dekat green garden, tapi aku lihat ada kucing kecil kelaparan. Aku panggil-panggil kucingnya, eh, dia tidak mau datang. Kayaknya dia lapar sekali deh, jadi tidak bisa jalan. Jadi, aku angkat kucingnya ke tempat ikan. Terus ikannya aku kasih makan buat kucing…”

Saya menatapnya lama sekali dengan mulut dikatup erat-erat. Saya melihat dada Hikari turun naik. Matanya ditundukkan ke bawah sambil sesekali melirik saya.

Lalu, “memangnya kenapa, Ma?”

Sekolah dimana?

Mencari sekolah untuk anak-anak kita memang suatu perjuangan tersendiri bagi para orang tua. Itu juga yang saya alami satu tahun sebelum Hikari lulus TK. Ada beberapa hal yang saya hadapi dalam waktu yang bersamaan:
1. Keinginan saya akan sekolah yang saya pikir ideal atau mendekati ideal. Termasuk standar-standar yang saya tetapkan harus ada atau tidak boleh ada di sekolah tersebut.
2. Keinginan pasangan saya akan sekolah yang dia pikir ideal atau mendekati ideal. Termasuk standar-standar yang dia tetapkan harus ada atau tidak boleh ada di sekolah tersebut.
3. Keinginan para Eyang Hikari akan sekolah yang menurut mereka paling ideal.
4. Input, saran-saran dari kenalan-kenalan kami. Setiap orang juga mempunyai gambaran sekolah yang ideal mereka masing-masing, dan terkadang fanatik dengan saran mereka.
5. Literatur-literatur yang mengatur kami tentang sekolah mana yang ideal atau tidak.
Untungnya saya tidak lupa: Keinginan Hikari sendiri!

Setelah bertandang kesana kemari, membaca ini itu, mendengar saran sini situ, akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada sekolah alam ini.

Continue reading