Karena Semua Kita adalah Loki

Entah kenapa sejak saya nonton Thor Ragnarok beberapa bulan lalu saya masih aja keinget si Loki. Ya, oke, saya kebayang-bayang si Chris Hemsworth juga sih selama beberapa hari. Ya ganteng gitu loh 🙄 dan aksennya mengingatkan saya pada celotehan orang-orang di kantor 😀 . Saya makin ingin bahas si Loki di blog setelah beberapa waktu lalu di mall dekat rumah saya sempat memergoki seorang bapak memarahi menasehati anaknya yang sepertinya masih usia SD kelas 4 atau 5. Entah sudah melakukan apa sih anak laki itu tapi nasehat si bapak terngiang-ngiang di saya. “….nanti sampai gede kamu jadi begitu terus! Mau?!”

Oke. Itu bukan menasehati sih. Lebih ke meramal masa depan. Ya masa’ meramal masa lalu?!
Continue reading

Generasi yang Relevan

The road to the light is lonely.
Beberapa tahun belakangan ini setiap kali silaturahmi acara keluarga macam lebaran, saya menyadari betapa konyolnya saya karena masih sering terkaget-kaget mendapati para pakde, bude, om, dan tante seakan terlihat menua dengan drastis setiap kali bertemu.
“Ya eloooo munculnya sekali tiap beberapa purnama. Jelas aja pada keliatan makin tua!”
Begitu saya disemprot adik si Mami yang hampir seumur saya. Bisa jadi begitu karena saya memang termasuk yang jarang kumpul dengan berbagai alasan males. Kesalahan saya -saya pikir- adalah tanpa sengaja saya menghentikan waktu di saat saya berumur dua puluhan tahun sehingga yang saya ingat adalah wajah, tingkah laku, kebiasaan, sampai cara pandang para kerabat yang lebih tua di jaman saya baru lulus kuliah itu. I just froze them in that moment.
Continue reading

Kapan ada adiknya? Ketika Ortu Diajak Berhitung Gap Usia Anak

Awalnya gara-gara graduation performance Aiko yang membuat saya harus berinteraksi dengan orang tua lain secara intensif. Hmm…iya, saya modelan orang tua yang enggak pernah nongkrong di sekolah, jarang ikutan arisan emak-emak sekolah, jarang komen di group WA sekolah, dan enggak pernah main bareng emak-emak sekolah ke manaaa gitu. Biasanya sih saya menyalahkan pekerjaan. Lah abis arisan ortu diadakan di hari kerja, masa saya cuti ngantor hanya untuk arisan? Sebagai buruh 8-5 mendingan cuti ditabung buat Lebaran ya kan? Kan? Eniwei, gara-gara Aiko harus tampil di acara lulus-lulusan sekolahnya, saya jadi diikutkan ke grup WA emak-emak yang isi obrolannya, “Nanti yang jadi the Seven Dwarf beli kostumnya di mana?”
Continue reading

Baper Berjamaah PPDB Online bagian 2

Lanjuuuut soal PPDB alias Penerimaan Peserta Didik Baru versi online. Saya harus bangga nih pertama kalinya bikin postingan bersambung hahaha…

Sebelumnya saya cerita tentang proses menuju ke Hari H PPDB online dimulai.
Jadi, beberapa saat setelah anak-anak selesai ujian nasional, kalian pasti akan mendapat berita di Whatsapp berjudul ‘Info Passing Grade Masuk SMA di jakarta: Peringkat 50 Besar SMA Negeri di DKI Jakarta’ 😀 . Harap diingat, Kemdiknas pernah menyatakan mereka tidak pernah bikin peringkat-peringkat kayak gini. Walaupun bisa berguna setidaknya untuk ancang-ancang anak sebaiknya mendaftar ke sekolah mana berdasarkan nilai UAN mereka, berdasarkan pengalaman saya tiga hari ini, passing grade tiap tahun berubah dan akhirnya enggak apdet juga. Malah cenderung menghempaskan perasaan orang tua yang awalnya pede luar biasa dengan nilai anaknya 👿 .

Okay, jadi proses PPDB untuk DKI Jakarta sudah dimulai awal minggu ini dan hari ini adalah hari terakhir. Setelah acara survey-survey kami lakukan itu, kami sudah punya 3 rencana SMA di Jakarta Timur dan 3 sekolah lagi sebagai back-up plan. Ini, sebelum kami tahu nilai UAN Hikari dan hanya berdasarkan pada nilai-nilai Try Out yang Naudzubillah minzalik jeleknya hahahaha…. Ketika kami mendapat hasil UAN Hikari yang ternyata…ALHAMDULILLAAAAH DIA DAPAT NEM TERTINGGI DI SEKOLAH…kami mulai menaikkan level pilihan sekolah 😛 .
Continue reading

Baper Berjamaah di PPDB Online bagian 1

Ini harus banget saya nulis soal ini saking level bapernya tinggi banget 😀 . Ini pertama kalinya saya bikin postingan berseri gini juga haha…

Bagi yang belum tahu apa itu PPDB, ini adalah sistem Penerimaan Peserta Didik Baru dari jenjang SD sampai SMA yang sekarang berlangsung online di beberapa daerah. Belum semua kota di Indonesia menggunakan PPDB online dan bukan hanya soal fasilitas teknologi yang terbatas tapi juga karena bila diterapkan di masyarakat yang belum siap, panitia bakal digeruduk dengan orang tua yang level bapernya mengerikan 😀 .
Continue reading

Bukan Sekadar Les Musik

Bagi keluarga kami, saya dan Papap, les musik itu mahal.
Bukan hanya mahal, tapi mahal banget. Masuknya ke kategori barang mewah.
Les musik itu tidak sekadar bayar uang bulanan saja. Kalau kita mulai les musik, berarti kita harus beli bukunya dan yang paling penting lagi beli alat musiknya yang harganya tidak pernah murah.

Lalu kenapa saya ngotot memasukkan Hikari -dan sekarang, Aiko- ke les musik?
Ini postingan panjang. Consider yourself warned, ya…
Continue reading

Yang si Mami akan Katakan

Tanggal 22 Desember seperti tahun-tahun sebelumnya seharian penuh linimasa baik di Fesbuk maupun di Twitter, dan bahkan di Instagram, berisi foto dan daftar masakan favorit anak-anak Endonesia. Bagaimana dengan Fesbuk dan Twitter kalian? Setelah sempat menuliskan fenomena ini di sini, tahun ini sebenarnya saya berharap ada yang cerita-cerita berbeda dalam merayakan Hari Ibu. Cerita-cerita yang bisa membuat saya ikut terkekeh membaca betapa miripnya peristiwa itu dengan yang saya alami. Mungkin saya masih belum bisa move on dari sindrom kenangan masa anak-anak yang tidak pernah berkaitan dengan masakan si Mami 😀 .

Iseng, saya mencoba mencari-cari di linimasa cerita-cerita tentang momen berkesan saat kecil dulu bersama ibu yang tidak berhubungan dengan makanan dan memasak. Menjahit, mungkin? Berkebun? Duh, semuanya domestik ya 😛 . Atau cerita tentang keahlian tertentu yang diajarkan ibu selain memasak? Berkelahi? Kalau itu sih saya.

Sampai kemudian saya melihat video ini di Fesbuk dan ngakak sejadi-jadinya.

I can relate to the story about Asian parents. Well, I’m the Asian parent who educates my kids using the power of raised eyebrows! 😀 😀 😀 .

Waktu kecil, si Mami dan Kumendan jarang berpanjang lebar memberikan penjelasan kenapa saya dan adik-adik saya tidak boleh melakukan sesuatu dalam kategori berbahaya atau membawa masalah di kemudian hari. Saya ingat si Mami paling kesal setiap kali saya memilih untuk tidur, dibanding makan, apabila sudah teramat capek. Dengan kegiatan ekskul yang melebihi jadwal kerja dan kegiatan bergaul si Mami, saya seringkali pulang dengan badan capek dan cuma pengin tidur. Kalau sudah begitu, si Mami akan menegur sekali supaya saya makan. Teguran yang tentu saja saya abaikan. Teguran kedua akan dilakukan si Mami dengan kalimat yang berbeda, “enggak mau makan? Tanggung sendiri kalau sakit ya.”

Dan tentu saya sakit setelahnya….
Dan menurut lo cerita Malin Kundang hanya fiksi?!

Si Mami bukan jenis orang yang akan bilang ‘I told you so’ setiap kali saya sudah merasakan nikmatnya mengabaikan teguran si Mami. Dia hanya akan memandang saya datar dengan wajah yang di mata saya sudah berubah jadi running text di TV berisi daftar sebab akibat dan apa yang harus saya lakukan sendiri sebagai konsekuensinya. Sebagai hasilnya, saya mengerti bahwa anak-anak perlu diajarkan sebab akibat dengan merasakan akibatnya sendiri hahaha… Otak saya sampai sekarang terlatih untuk mengukur sebab dan akibat. Saya sebal luar biasa setiap kali saya dengar kalimat sakti si Mami itu.

Ketika saya punya anak, tanpa sadar dan tanpa diinginkan, saya ternyata menggunakan dan memodifikasi cara si Mami mengajarkan sebab akibat. Suatu kali, saya pulang ke rumah dan mendapati si Mami laporan tentang Hikari yang habis ditegur gurunya karena tertidur di kelas. Belum sempat saya komentar apapun, Hikari sudah bersuara.
“Iya, aku salah. Mamam udah ingetin semalam tapi aku keterusan baca buku jadi tidurnya terlambat.”
Sya kontan ingat kalimat saya semalam.
“Mamam sudah ingatkan loh ya. Kalau besok mengantuk di sekolah, kamu tanggung sendiri akibatnya!”

Tiba-tiba saya terlempar ke masa kecil saya saat si Mami mengucapkan hal yang sama kepada saya.
Apparently, sooner or later, we will all quote our mother.

Selamat Hari Ibu, Mam!

Parenting Ala Ala

Facebook sekarang ini rupanya memang telah menjadi pasar informasi luar biasa -dari informasi gelap, informasi abu-abu, sampai informasi jelas terang-benderang ada semua. Mau informasi jenis apa pun, pemilik akun FB bisa pilih. Eh. Koreksi. Pemilik akun bisa memilih teman tapi belum tentu bisa memilih informasi 😀 .

Kemarin itu, di antara lautan postingan tentang pilkada, hoax, roti, air mineral, sampai gempa, saya menemukan mutiara hehehe… Seorang teman saya membagikan video tentang perbedaan pengasuhan anak di Amerika dengan di Eropa.

Sebelum mulai nonton videonya, saya kasih tahu dulu ya. Penggambaran parenting di Eropa bakal bikin baper. Pengin langsung pindah ke sana bawa anak-anak hahaha…

Yang saya perhatikan di video parenting itu orang tua di Amerika hampir sama kondisi psikologisnya dalam melihat lingkungan tempat anak-anaknya berada dengan orang tua di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Anak-anak tidak dibiarkan keluar atau main sendirian, apalagi ditinggal di depan toko tanpa penjagaan. Sementara itu di di Finlandia dan Denmark, bayi-bayi mereka malah ditinggal di kereta dorong mereka sendirian di luar rumah atau di luar toko. Ngebayanginnya aja saya bisa pingsan 😀 .

Urusan pergi ke sekolah pun Amerika dan Eropa beda perlakuan. Anak-anak di Eropa dibiarkan jalan sendiri ke sekolah, persis saat saya kecil. Saat kami masih tinggal di Jepang bertahun-tahun lalu, Hikari sempat mengalami sendiri cara penduduk sekitar memperlakukan anak-anak sekolah. Mereka punya sistem anak-anak satu area perumahan berkumpul di meeting point tertentu untuk berangkat bareng ke sekolah. Ada orang tua yang piket untuk berjaga di titik-titik tertentu untuk memastikan keamanan anak-anak. Saya suka cara ini: anak tetap mandiri tapi merasa aman karena ada pengawas.

Saat saya kecil, saya masih bisa jalan kaki sendiri ke SD yang jaraknya jauh dari rumah dan melalui jalan utama yang banyak kendaraan melintas. Sekarang ini, bukan lalu lintasnya yang saya kuatirkan tapi kejahatan terhadap anak yang semakin menakutkan. Persis seperti komentar-komentar ortu dari Amerika di video itu. Video ini pada akhirnya membuat saya berpikir betapa jauhnya orang tua dan anak-anak di kota-kota besar di Indonesia Jakarta dari kondisi ideal pengasuhan anak. Jangankan berangkat sekolah sendiri, main di luar aja orang tau merasa perlu ada orang dewasa yang mengawasi 🙁 . Berita tentang anak kecil diculik saat main di pekarangan rumahnya sendiri bersliweran, termasuk di FB 🙁 . Padahal saya ingin anak saya sedari SD sudah bisa naik angkutan umum sendiri, jalan sendiri ke sekolah atau ke tempat kursusnya, main bebas di taman. Entah kapan mimpi seperti ini bisa terwujud di kota ini. Apa sebaiknya mimpi pindah negara aja ya? Ke Eropa sekalian 😀 .