Ketika Kutu Bertahta

Bagaimana perasaan anda ketika di jaman smartphone dan perang nuklir anda menemukan ada kutu (atau kutu-kutu) bersarang di kepala anak kesayangan anda yang ganteng nan rupawan?

Perasaan saya terhina. Reaksi saya? Mau ambil gunting dan silet untuk mencukur rambut Hikari. Suara jeritan yang diikuti tangis meledak Hikari yang membuat saya membatalkan niat menggundulinya. Eh bukan. Setelah diingat lagi, si Papap lah yang berhasil menghalangi saya berbekal pengetahuannya bahwa di luar sana masih ada apotik yang jual obat kutu walau di jaman maju seperti sekarang.
Continue reading

Bagaimana Seorang Guru Ingin Diingat?

Dua tahun lalu, di akhir bulan September, saya mendapatkan kabar sedih. Wali kelas Hikari di Kelas 1 meninggal dunia. Ibu Siti, nama wali kelas Hikari itu, masih sangat muda. Kesehatannya memang tidak terlalu baik tetapi tetap saja kabar itu mengejutkan kami, orang tua dari murid-murid yang pernah diajarnya.

Ibu Siti mengajar Hikari dan 8 murid lainnya di kelas 1 itu. Kelas itu kelas 1 yang cukup menantang bila dibandingkan dengan kelas 1 lain yang menjadi paralelnya. Memang hanya ada 9 anak di kelas itu tapi semuanya mempunyai keunikan masing-masing. Saat 9 pasang orang tua dari 9 muridnya bertemu di rapat PTA pertama kali, kami memberi Ibu Siti daftar panjang tentang betapa uniknya anak-anak kami. Ibu Siti tersenyum menenangkan dan berjanji pada kami bila diijinkan Tuhan dia akan melakukan yang terbaik untuk anak-anak kami.

Continue reading

When traffic kills

Papap, saya dan Hikari keluar rumah tadi sore sehabis Maghrib. Tujuan kami ada dua: mencetak foto Papap dan makan malam. Dua tempat yang akan kami tuju bersebelahan dengan cluster rumah kami, masih di satu komplek perumahan. Dua hal tadi kelihatannya sangat sederhana.

Mobil kami berbelok masuk ke tempat parkir mall kecil di sebelah cluster. Pemandangan macet total panjang di luar pagar mall terlihat jelas. Dua arah jalan Alternatif Cibubur parkir gratis. Dampaknya, banyak mobil yang masuk ke area mall hanya untuk mencari jalan pintas lewat perumahan kami. But, hey, we couldn’t care less.

Jalan 500 meter menuju tempat cuci cetak foto di ruko sebelah mall ternyata memakan waktu lebih lama dari seharusnya gara-gara banyaknya mobil yang mengambil jalan pintas. Tapi toh kami tetap sabar dan senang hati. Setelah selesai urusan cuci cetak foto, Papap memutar mobil kembali ke arah lobby mall untuk makan malam. Di luar pagar mall, mobil-mobil yang tidak bisa berjalan maju mengular panjang tak kelihatan ujungnya. Kami bersyukur karena kami berada di dalam komplek perumahan dan tidak harus mengalami penderitaan seperti mobil-mobil itu.

Continue reading

How does a teacher want to be remembered?

Today, I received bad news from a fellow parent at Hikari’s school. Hikari’s first grade teacher passed away on Thursday.  Ibu Siti, Hikari’s first grade teacher, was still young. She hadn’t been enjoying a good health lately but still the news was shocking, especially for us, the parents of students she was once taught.

Ibu Siti taught Hikari and his other 8 friends when they were in the first grade. It was tough first graders she taught. There were only 9 of them but each carried their unique challenges. When the parents of these 9 students met her for the first time in our first PTA meeting, we gave her a long list of how unique our child was. She gave us assuring smiles and a promise that if God permitted, she would do the best she could.

Continue reading

Life is full of choices, by Hikari

Eyang Kakung ngomel-ngomel. Lalu mengadu pada saya dan Papap. Seminggu lalu saat Hikari menginap di rumah Eyang, dia mencoba alat pancing baru hadiah ulang tahunnya dari Eyang Kung di kolam ikan hias di rumah Eyang Kung. Alat pancing beneran! Alat pancing yang dipakai para pemancing profesional itu!

Sewaktu Hikari mencoba alat pancing itu di kolam ikan hias (berisi ikan mas koki besar-besar, ikan sapu-sapu, seekor ikan bawal, dan beberapa ikan hias dewasa lain) seminggu lalu, Eyang Kung sedang tidak di rumah sementara Eyang Uti dan si mbak tidak sanggup menahan semangat Hikari untuk mencoba alat pancingnya. Saya dan Papap jelas tidak tahu menahu.

Continue reading

Tanggung Jawab itu…

Sudah beberapa hari ini Hikari sakit batuk dan pilek. Agak berat sehingga dia harus istirahat di rumah karena dokter takut dia lama sembuh sekaligus takut dia menulari teman-temannya. Ketika saran dokter itu sampai di telinga Hikari, dia sontak protes. Tidak boleh ke sekolah? Tidak boleh main? Wajah Hikari langsung ditekuk seratus. Tapi saya dan Papa tetap acuh.

Setelah beberapa hari Hikari di rumah, teman-temannya sudah mulai gelisah. Seorang temannya yang biasa main dengan Hikari memaksa ingin main di rumah kami.

Pada ibunya, saya berkata jelas. “Hikari lagi batuk pilek parah. Mainnya nanti dulu ya. Nanti dia ikut ketularan. Kasihan kalau ketularan.”
Hikari buang muka yang tadinya sudah ditekuk, tapi dia tidak protes lagi.
Anak si ibu yang malah protes dengan ngedumel.
Si ibu tertawa enteng. “Aaaah, enggak pa-pa. Pilek batuk doang. Emang lagi musim kok. Gak apa-apa kok main aja.”

Waaaaat?!

Ngaku saja saya sebenarnya heran kenapa saya masih heran mendengar komentar si ibu. Sebenarnya ibu itu bukan pertama kali itu berkata begitu dan bukan pula orang pertama yang punya pandangan serupa.

Sewaktu beberapa bulan lalu Hikari terkena cacar, saya sempat konsultasi dengan gurunya di sekolah. Saya yakin benar Hikari tertular cacar dari sekolah. Waktu itu guru Hikari bilang di kelasnya -setidaknya- tidak ada anak yang cacar. Curiga? Tidak percaya? Ya, saya setengah tidak percaya, but, hey, positive thinking saya tahu ada 101 cara dan tempat Hikari bisa kena cacar selain di sekolah.

Karena cacar itu, Hikari hampir sebulan tidak sekolah. Dokternya mewanti-wanti supaya Hikari masuk sekolah ketika lukanya sudah mengering! Dokternya tidak ingin Hikari jadi penular cacar di sekolah, dan saya setuju.

Sewaktu saya mengantar Hikari ke sekolah setelah lama absen itu saya bertemu dengan ortu siswa lain. Si ibu menanyakan kenapa Hikari tidak sekolah.
“Oh cacar? Anak saya kena juga tuh. Si ini si itu si dia juga kena,” katanya enteng.
“Kapan?” Saya kaget setengah mati. Bukankah si guru bilang murid kelasnya tidak ada yang kena cacar.
“Ya kira-kira sebelum Hikari lah. Lagi musim.”
Kepala saya berputar-putar. Abis ini ada yang bakalan kena semprot saya nih!
“Anak saya itu gak betah banget kan. Jadi pas panasnya turun dan dia sudah bisa lari-lari, dia minta sekolah lagi.”
“Terus?” “Ya udah, saya masukin sekolah lagi. Daripada di rumah nyebelin banget.”
“Emang udah hilang bekasnya?”
“Ya belum. Yang penting demamnya sudah hilang.”
Jantung saya berhenti. “Gurunya tau?”
“Saya sih cuma bilang dia demam.”
“Tapi kan kalau lukanya baru kering itu masih nularin.” Saya protes.
“Enggak ah kayaknya. Mamanya si itu juga gitu. Si itu gak mau lama-lama di rumah jadi begitu demamnya turun ya masuk sekolah.”

Adegan di rumah saat saya nyumpah-nyumpah sebaiknya tidak saya ceritakan demi perdamaian dunia.
Damn! When will they realize that being responsible is not only for you and your family but most importantly for the people around you?!

Orang-orang yang punya pendapat di atas itu adalah orang-orang yang sama yang tahu kalau membuang ludah sembarangan itu jorok, batuk itu harus ditutupi mulutnya, flu Singapur itu menular, imunisasi itu harus dilakukan di umur sekian dan sekian, dan sebagainya.
Mereka juga orang yang sama yang mengendarai mobil bagus, berhape BB, langganan koneksi internet, liburan ke Bali atau malah Singapur tiap tahun.
Pendidikan dan strata sosial ternyata tidak menjamin tingkat tanggung jawab seseorang. Dan kenapa gitu saya sewot banget soal ini? Coba bayangkan kalau yang tertular penyakit itu adalah anak anda yang sudah setengah mati anda jaga kebersihan dan keamanannya. Coba bayangkan kalau penyakit itu bukan cuma sekadar batuk pilek…

It’s more than his birthday

It’s his birthday today. My only son’s birthday. He is 8 now. How time flies…

When we asked him what he wanted for his birthday, he mentioned hundred requests. Being young and innocent. He asked for a toy he had been asking for a half year. He asked for us going somewhere together just the three of us. He asked for a sushi dinner at his favorite restaurant. He asked for a play time at Timezone. He asked for a birthday celebration at school. We told him he couldn’t have it all and he had to choose one. We told him we couldn’t afford all of those things he asked for. What we didn’t tell him was we would have given him all if we could afford it. You can call us a spoiling parents but we just don’t care. On this particular day of the year, everything doesn’t seem enough for our only child.

Continue reading

Hikari dan konsep menabung

Ada banyak cara bagi Hikari untuk mendapatkan rejeki. Mengaji bener sedikit, dia dapat limaribu. Latihan karate bagus sedikit, dia dapat lima ribu. Cium pipi Eyang Kakung sedikit, dia dapat sepuluh ribu. Pijet-pijet Eyang Uti sedikit, dia dapat duapuluh ribu.

Malam ini Hikari kembali dapat limabelas ribu dari Eyang Uti karena sudah mencium pipi Eyang Uti kiri dan kanan. Uang itu langsung dikasih ke Mama. Kata Hikari uang itu untuk main kartu Animal Kaiser di mall. Mendengar itu, papap langsung komentar.

Papap: Hikari, uangnya dikumpulin dong. Tadi kan baru aja bilang mau beli buku.

Hikari: Kan uangnya cuma limabelas ribu. Bukunya kan enampuluh ribu. Uangnya cuma cukup untuk main Animal Kaiser.

Mama: Makanya dikumpulin. Kan kalau dikumpulin, sedikit-sedikit lama-lama…?

Hikari: Lama-lama dibawa ke BNI.