Dua tahun lalu, di akhir bulan September, saya mendapatkan kabar sedih. Wali kelas Hikari di Kelas 1 meninggal dunia. Ibu Siti, nama wali kelas Hikari itu, masih sangat muda. Kesehatannya memang tidak terlalu baik tetapi tetap saja kabar itu mengejutkan kami, orang tua dari murid-murid yang pernah diajarnya.
Ibu Siti mengajar Hikari dan 8 murid lainnya di kelas 1 itu. Kelas itu kelas 1 yang cukup menantang bila dibandingkan dengan kelas 1 lain yang menjadi paralelnya. Memang hanya ada 9 anak di kelas itu tapi semuanya mempunyai keunikan masing-masing. Saat 9 pasang orang tua dari 9 muridnya bertemu di rapat PTA pertama kali, kami memberi Ibu Siti daftar panjang tentang betapa uniknya anak-anak kami. Ibu Siti tersenyum menenangkan dan berjanji pada kami bila diijinkan Tuhan dia akan melakukan yang terbaik untuk anak-anak kami.
Daftar panjang Ibu Siti dimulai dari seorang anak perempuan yang tidak berhenti menangis dan menjerit sejak hari pertama anak ini masuk sekolah. Anak perempuan yang dibesarkan di kota kecil oleh nenek kakeknya, setiap pagi akan terlihat menangis dan menjerit di tangga kelas. Para orang tua, murid-murid, dan staf sekolah akan menyaksikan anak perempuan yang memeluk ibunya sedemikian erat karena takut ditinggalkan sendiri. Kurang dari seminggu kemudian, Ibu Siti mengubah gadis kecil yang penuh tangisan ini menjadi salah satu murid paling berprestasi di sekolah. Di tahun-tahun berikutnya, sang ibu tidak pernah lupa berkata betapa dia sangat bersyukur Ibu Siti pernah menjadi guru anaknya.
Berikutnya adalah seorang anak laki-laki pembuat onar di kelas itu. Dengan badannya yang lebih besar dari anak-anak lain, anak laki ini senang menantang anak-anak lain, memukul, mengejek, mengambil barang milik temannya, menyumpah-nyumpah, dan keonaran lain yang tidak terbayangkan bisa dilakukan oleh seorang anak berusia 6 tahun. Bulan pertama di kelas 1 para orang tua menghujani Ibu Siti dengan laporan tentang anak laki ini yang melakukan ini, melakukan itu, kepada si ini, atau si itu. Saat ini akan lebih mudah bagi Ibu Siti untuk mengeluarkan anak itu dari kelas, atau dari sekolah. But, no. She didn’t do that.
Satu bulan berlalu, kemudian satu bulan lain, dan satu bulan lain, kami semua dengan tercengang mendapati anak laki-laki pem-bully ini berubah menjadi seorang anak manis yang penuh perhatian. Belakangan kami mendengar anak ini sebenarnya adalah anak penyayang yang telah menyaksikan terlalu banyak contoh buruk di rumah. Begitu anak laki-laki ini berubah, alam semesta seperti berputar. Dia menjadi pelindung bagi 8 temannya yang lain, seperti kakak tertua bagi anak-anak. Tahun pertama kelas 1 itu belum lagi berakhir ketika anak laki-laki ini dan keluarganya pindah ke kota lain. Tapi, setiap kali mereka ada di kota kami, sang ibu selalu berusaha untuk mengunjungi sekolah dan mengatakan kepada semua orang bagaimana anaknya selalu dipuji di sekolahnya yang baru karena sangat sopan dan sangat penyayang.
Daftar selanjutnya, tentu saja, seorang Hikari. Dengan keunikannya, Hikari selalu mampu membuat pusing guru-gurunya di TK sebelumnya. Suatu hari di TK besar, Hikari pulang dengan kosakata baru: Kuping Panci. Hari itu gurunya menyematkan label ‘Kuping Panci’ pada Hikari karena di mata sang guru Hikari tidak mau merespon permintaannya. Saya ingat betapa marah dan sedih luar biasa mendengar cerita Hikari yang dengan polos menyebut dirinya ‘Kuping Panci’! Belakangan saya mendapatkan cerita lengkap tentang Hikari di dalam kelas TK Besarnya. Setiap kali merasa bosan, Hikari yang berusia 5 tahun akan memilih untuk melakukan hal lain -menyendiri di pojok kelas dengan mainannya, duduk diam-diam di bawah meja guru dengan mainannya, membelakangi gurunya dan sibuk dengan mainannya- daripada duduk manis memandangi papan tulis seperti yang diinginkan gurunya. Berulang ditegur tidak membuat Hikari kapok. Dia bergeming. Tidak peduli gurunya sudah berbusa-busa mencoba ‘menasihati’. Maka, jadilah Hikari seorang Kuping Panci.
Ketika saya menceritakan hal ini kepada Ibu Siti, dia tertawa. Sampai sekarang saya masih ingat apa yang dia katakan pada saya.
“Di kelas, Hikari lebih suka bergerak. Dia tidak bisa duduk diam. Hikari hanya akan duduk diam di awal pelajaran atau kalau dia merasa mata pelajarannya menarik. Hikari biasanya berjalan dari satu pojok (pojok membaca) ke pojok lainnya (pojok bermain) saat saya menjelaskan pelajaran di depan kelas dan anak-anak lain duduk mendengarkan di depan saya. Dia tidak pernah mengganggu anak lain atau mencoba mengobrol dengan temannya saat saya sedang mengajar di depan. Dia sibuk dengan pikirannya dan berjalan ke sana ke mari seperti tidak mendengarkan penjelasan saya. Padahal, dia mendengarkan dengan baik! Ibu bisa bayangkan dia berjalan mondar-mandir tapi saat saya panggil dia untuk menjawab pertanyaan, dia bisa menjawab dengan benar! Sepertinya Hikari menaruh telinganya di meja saya saat dia sibuk berjalan mondar-mandir…”
Ibu Siti selalu tertawa setiap kali berbicara tentang Hikari. “Di kelas, saya memberi Hikari dua tempat di pojok kanan dan di pojok kiri. Saya bilang padanya dia boleh bergerak dari satu pojok ke pojok lain selama pelajaran. Syaratnya dia tidak boleh mengganggu temannya dan harus menggunakan telinganya untuk mendengar penjelasan saya. Jadi, Bu, setiap kali Hikari bosan dan butuh menggerakkan tubuhnya, dia akan berjalan dari satu pojok ke pojok lain. Rupanya dia senang dengan pengaturan itu dan dia memeluk saya sambil bilang dia sayang saya…”
Hikari berkembang sangat baik saat diajar oleh Ibu Siti. Dia merasa diterima dengan keunikannya berpikir dan bertingkah laku. Dia diberi solusi, bukan label. Satu tahun di kelas itu, saya mendapatkan banyak input dari Ibu Siti walau usianya lebih muda dari saya. Ibu Siti dan saya banyak berdiskusi. Saya memberinya buku-buku tentang psikologi anak dan dia akan membuat forum diskusi dengan teman-temannya sesama guru.
Di luar keunikan 9 orang anak yang harus dia tangani sendiri, Ibu Siti juga harus berhadapan dengan 9 anak penyakitan. Setiap minggu, satu atau dua anak akan absen karena sakit. Ibu Siti kemudian di satu hari akan mengajar 5 atau 7 anak saja di kelas dan harus mengulang pelajarannya setiap kali. Suatu kali Ibu Siti bercanda pada saya. Menurutnya dia diberi amanah menjaga 9 anak dengan masalah kesehatan karena dia mempunyai masalah yang sama. “Kami jadi merasa dekat karena kami mengerti bagaimana perasaan satu sama lain,” katanya.
Ketika tahun pertama usai dan anak-anak naik kelas 2, mereka minta untuk diajar Ibu Siti lagi. Keinginan mereka tidak dikabulkan. Minggu-minggu pertama di tahun kedua, anak-anak itu akan berlari memeluk Ibu Siti setiap kali mereka melihatnya.
Saat Hikari di kelas 3, dua tahun lalu, saya ingat pernah bertanya kepada Kepala Sekolah mengapa saya jarang melihat Ibu Siti. Hikari selalu berkata dia ingin berada di kelas Ibu Siti lagi. Kepala Sekolah bilang Ibu Siti mengambil cuti panjang karena sakit paru-parunya. Belum lagi 6 bulan berlalu sejak saya menanyakan kabar Ibu Siti, hari itu Hikari mengabarkan kepada saya Ibu Siti telah meninggal dunia…
Kami hanya diberikan waktu satu tahun untuk bersentuhan dengan seorang guru dengan pribadi yang hebat. Rasa kaget dan sedih itu begitu kuat tapi saya bersyukur anak saya bisa diberikan kesempatan bertemu dengannya. Saya sendiri seorang guru, tapi untuk membandingkan diri saya dengan dirinya, saya tidak berani. Ibu Siti hanya mengajar 9 orang anak tahun itu, tapi melihat perkembangan anak-anak itu dia telah berhasil mempersembahkan bangsa ini 9 orang yang luar biasa! Bayangkan berapa banyak anak lain yang telah diajar Ibu Siti sebelumnya dan berapa banyak kehidupan yang telah dia bantu ubah dan bagaimana mereka akan bisa menjadi anak-anak terbaik bangsa ini!
Seorang guru sejatinya tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Menurut saya, mungkin seperti itu lah seorang guru ingin diingat. Dengan sentuhan yang telah dia tinggalkan kepada anak didiknya.
“A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops.” Henry Brook Adams
Catatan: tulisan ini ditulis pertama kali dalam bahasa Inggris di sini.