Tanggung Jawab itu…

Sudah beberapa hari ini Hikari sakit batuk dan pilek. Agak berat sehingga dia harus istirahat di rumah karena dokter takut dia lama sembuh sekaligus takut dia menulari teman-temannya. Ketika saran dokter itu sampai di telinga Hikari, dia sontak protes. Tidak boleh ke sekolah? Tidak boleh main? Wajah Hikari langsung ditekuk seratus. Tapi saya dan Papa tetap acuh.

Setelah beberapa hari Hikari di rumah, teman-temannya sudah mulai gelisah. Seorang temannya yang biasa main dengan Hikari memaksa ingin main di rumah kami.

Pada ibunya, saya berkata jelas. “Hikari lagi batuk pilek parah. Mainnya nanti dulu ya. Nanti dia ikut ketularan. Kasihan kalau ketularan.”
Hikari buang muka yang tadinya sudah ditekuk, tapi dia tidak protes lagi.
Anak si ibu yang malah protes dengan ngedumel.
Si ibu tertawa enteng. “Aaaah, enggak pa-pa. Pilek batuk doang. Emang lagi musim kok. Gak apa-apa kok main aja.”

Waaaaat?!

Ngaku saja saya sebenarnya heran kenapa saya masih heran mendengar komentar si ibu. Sebenarnya ibu itu bukan pertama kali itu berkata begitu dan bukan pula orang pertama yang punya pandangan serupa.

Sewaktu beberapa bulan lalu Hikari terkena cacar, saya sempat konsultasi dengan gurunya di sekolah. Saya yakin benar Hikari tertular cacar dari sekolah. Waktu itu guru Hikari bilang di kelasnya -setidaknya- tidak ada anak yang cacar. Curiga? Tidak percaya? Ya, saya setengah tidak percaya, but, hey, positive thinking saya tahu ada 101 cara dan tempat Hikari bisa kena cacar selain di sekolah.

Karena cacar itu, Hikari hampir sebulan tidak sekolah. Dokternya mewanti-wanti supaya Hikari masuk sekolah ketika lukanya sudah mengering! Dokternya tidak ingin Hikari jadi penular cacar di sekolah, dan saya setuju.

Sewaktu saya mengantar Hikari ke sekolah setelah lama absen itu saya bertemu dengan ortu siswa lain. Si ibu menanyakan kenapa Hikari tidak sekolah.
“Oh cacar? Anak saya kena juga tuh. Si ini si itu si dia juga kena,” katanya enteng.
“Kapan?” Saya kaget setengah mati. Bukankah si guru bilang murid kelasnya tidak ada yang kena cacar.
“Ya kira-kira sebelum Hikari lah. Lagi musim.”
Kepala saya berputar-putar. Abis ini ada yang bakalan kena semprot saya nih!
“Anak saya itu gak betah banget kan. Jadi pas panasnya turun dan dia sudah bisa lari-lari, dia minta sekolah lagi.”
“Terus?” “Ya udah, saya masukin sekolah lagi. Daripada di rumah nyebelin banget.”
“Emang udah hilang bekasnya?”
“Ya belum. Yang penting demamnya sudah hilang.”
Jantung saya berhenti. “Gurunya tau?”
“Saya sih cuma bilang dia demam.”
“Tapi kan kalau lukanya baru kering itu masih nularin.” Saya protes.
“Enggak ah kayaknya. Mamanya si itu juga gitu. Si itu gak mau lama-lama di rumah jadi begitu demamnya turun ya masuk sekolah.”

Adegan di rumah saat saya nyumpah-nyumpah sebaiknya tidak saya ceritakan demi perdamaian dunia.
Damn! When will they realize that being responsible is not only for you and your family but most importantly for the people around you?!

Orang-orang yang punya pendapat di atas itu adalah orang-orang yang sama yang tahu kalau membuang ludah sembarangan itu jorok, batuk itu harus ditutupi mulutnya, flu Singapur itu menular, imunisasi itu harus dilakukan di umur sekian dan sekian, dan sebagainya.
Mereka juga orang yang sama yang mengendarai mobil bagus, berhape BB, langganan koneksi internet, liburan ke Bali atau malah Singapur tiap tahun.
Pendidikan dan strata sosial ternyata tidak menjamin tingkat tanggung jawab seseorang. Dan kenapa gitu saya sewot banget soal ini? Coba bayangkan kalau yang tertular penyakit itu adalah anak anda yang sudah setengah mati anda jaga kebersihan dan keamanannya. Coba bayangkan kalau penyakit itu bukan cuma sekadar batuk pilek…

Leave a Reply