Ketika Kutu Bertahta

Bagaimana perasaan anda ketika di jaman smartphone dan perang nuklir anda menemukan ada kutu (atau kutu-kutu) bersarang di kepala anak kesayangan anda yang ganteng nan rupawan?

Perasaan saya terhina. Reaksi saya? Mau ambil gunting dan silet untuk mencukur rambut Hikari. Suara jeritan yang diikuti tangis meledak Hikari yang membuat saya membatalkan niat menggundulinya. Eh bukan. Setelah diingat lagi, si Papap lah yang berhasil menghalangi saya berbekal pengetahuannya bahwa di luar sana masih ada apotik yang jual obat kutu walau di jaman maju seperti sekarang.

Sebenarnya saya sudah curiga ada masalah dengan kepala Hikari begitu dia jadi sering menggaruk-garuk rambut tebalnya. Tapi gak pernah kepikiran hari gini masih ada wabah kutu! Jadi saya hanya bisa menyeret dia ke kamar mandi untuk keramas lebih sering. Hari Sabtu lalu kecurigaan saya semakin menjadi saat melihat Hikari tidak berhenti menggaruk kepala. Saya tarik dia untuk mengecek rambutnya. Yang terpikir di kepala saya cuma…ketombe. Tapi, begitu saya sibak rambut tebalnya…
*adegan selanjutnya kena gunting sensor*

Maka dimulailah segala kehebohan dan teriakan serta jeritan menangis.
“Potong rambut! Botakin kepalamu!”
“Jangan, Mamaaaa! Ampun Mamaaa!”
Mmmm…jangan salah sangka dulu. Hikari nangis bukan karena takut sama saya. Dia nangis karena ngebayangin rambut kewrennya yang bikin dia ditaksir cewek-cewek bakal hilang. Itu doang sebabnya. Kesaktian di rambutnya itu.

Untung ada dewa penyelamat Hikari. Si Papap datang dengan solusi memakai obat penghilang kutu. Papap juga mau bersusah-susah mengolesi kepala Hikari, membebat kepala dengan handuk, mencuci kepala Hikari sehari 3x, sampai membeli sisir serit dan menyisiri Hikari. Sementara saya bergeming: 3 hari belum bersih, botak!

Minggu malam Hikari sekali lagi melancarkan rayuannya. Walaupun sisir serit berhasil menemukan 2 kutu, masih banyak telur kutu yang bersarang di rambut Hikari. Hikari was running out of time.
“Ma, 3 harinya kan dimulai Minggu ya?”
“Sabtu!”
“Mama tidak kasihan sama aku kalau aku nanti tidak disukai teman-temanku karena aku botak?”
“Tidak.”
“Mama tidak kasihan sama Papap dan Mbak yang sudah mencari kutu dan telurnya?”
“Mama kasihan makanya kamu dibotakin!”
“Eeeh bukan begitu maksudku…” Nangis.
“Yadeeeh. Aku dipotong rambutnya.”
“Cukur! Bukan potong.”
“Cukur 1 senti aja ya, Ma?”
“1 senti dari kulit kepala!”
“Bukaaaan. Huhuhuuuuu… 1 senti dari ujung rambut.”
“Enggak!”
“Sudah gak usah nangis!” Potong Papap. “Abis ini kamu ke tukang potong rambut sama Papap.”
Wajah Hikari cerah. “Diantarnya sama Papap kan? Iya kan?”
Saya menyipitkan mata. “Diantar Papap!”
Hikari mulai senyum lebar.
“Tapi nanti Mama telpon tukang cukurnya untuk kasih instruksi!”
Hikari jerit-jerit lagi.

Posted with WordPress for BlackBerry.

Leave a Reply