Blogger-ship

Sejak mulai ngeblog di awal Maret 2005, saya jadi punya buanyaaak banget teman. Hal yang luar biasa mengingat di dunia nyata teman saya cuma segelintir, yaitu mereka yang kuat lihat kelakuan saya yang kadang manis lebih sering jutek. Salah satu teman lama yang berawal dari sering berbalas komen di blog adalah FM, pemilik (dulu) blog negerineri. Tanpa putus sejak tahun 2005 itu kami saling komunikasi. Dia di New York, saya di Honjo lalu balik ke Jakarta. Tahun 2022 ini hampir 18 tahun kami berteman tanpa pernah bertemu di darat 🙂 .

Minggu lalu FM akhirnya berkunjung ke Indonesia, dan tentu saja Jakarta. Setelah belasan tahun kami punya kesempatan bisa bertemu muka langsung. Ya jelas saya jalani itu melintasi gunung dan puluhan kilometer demi ketemu perempuan kesayangan satu nusa bangsa. Ya ampuuun rasanya kayak mau ketemu pacar yang lagi LDR-an 🙂 . Saya sampai bilang ke Papap jangan jemput cepat-cepat hahaha… Sebelum ketemuan, FM udah wanti-wanti mau makan bakmi legendaris di dekat Sarinah. Saya sampai mikir lama. Bakmi apaan yang legendaris di Sarinah? Ternyata, oh, ternyata, Bakmi GM hadeuuuh hahaha…

Saya pikir kelanggengan pertemanan saya dengan FM sedikit banyak karena FM orang yang sabar dan sangat pengertian. Dicurhatin apa pun dia lemes aja. Diceritain hal yang nggak penting soal diet kacang-kacangan sampai hal penting seperti wasweswos dia tetap lemes. Sungguh kualitas yang sangat bermanfaat bagi sebuah pertemanan. Sepanjang pertemanan kami, saya belajar banyak dari dirinya. You rock, Nek!

Sungguh nggak pernah saya menyangka kegiatan sebatas tulis menulis blog bisa memberikan saya banyak teman dan banyak sahabat. Ada banyak sekali blogger yang tetap dan terus berteman sampai sekarang. Bahkan tanpa pernah bertemu sekali pun. Sungguh saya beruntung. Walaupun kategori kami sekarang ini masuk ke dalam judul: BLP alias Blogger Lupa Password, kami masih berhai-hari ria di platform media sosial lain. Karena kan, once a fellow blogger, forever a friend.

Hirarki Oleh-oleh

A post shared by dmariskova (@dmariskova) on

Waktu teman saya curhat soal kewajiban membawa oleh-oleh dan kemudian minta diantar ke Paddy‘s untuk beli oleh-oleh, saya spontan menyinyiri karena nyinyir itu lebih mudah daripada membantu mencari solusi. Sebagai orang yang jarang membawakan oleh-oleh, saya lantas menyebutkan pasal 335 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan membawa meme berikut sebagai landasan pengetahuan saya 😛 .

travelographers

Tapi teman saya ini lebih takut dikutuk jadi batu bila pulang kampung tanpa oleh-oleh daripada uang sakunya habis.
“Makan masih bisa minta teman. Hitung-hitung diet. Kalau oleh-oleh masa’ minta teman?”
Lalu dia nambahin. “Sebaiknya strategi alokasi uang saku itu kita belanjakan oleh-oleh dulu sampai puas baru sisanya kita pakai hidup selama di sini. Bukan sebaliknya, bujet oleh-oleh malah sisa uang saku. Dapat apa kita?!”
Dapat lapar dan jadi gelandangan di mari sih. Yakali bisa begitu mikirnya 🙄 .
Continue reading

Bukber yang Mentok

Puasa Ramadan tahun ini sudah memasuki masa sepertiga terakhir. Udah dapat undangan Buka Bersama berapa banyak? 😀
Ada teman saya yang berteori jumlah undangan Bukber berbanding lurus dengan tingkat kepopuleran kita. Kalau teori ini benar, tingkat kepopuleran saya jelas nyungsep…

Sebenarnya saya bukannya enggak pernah diundang Bukber. Diundang Bukber sering, ngikutnya yang hampir enggak pernah. Dengan rumah berjarak antara Bumi dan Pluto, saya bakal sampai rumah tengah malam dan besok sebelum subuh sudah harus jalan lagi ke kantor. Mending kemping di restoran aja kan?

Hal lain yang bikin saya jarang berpartisipasi dalam pengejawantahan Bukber baik di grup teman-teman maupun grup keluarga adalah ini nih…

11 dari 10 undangan Bukber yang saya diundang juga berakhir di ‘Cocokin Jadwal’. Lingkaran saya enggak pernah utuh 😀 .
Continue reading

Reuni

Beberapa minggu lalu di salah satu majalah wanita negeri ini ada pertanyaan: berapa banyak undangan buka puasa yang anda terima setiap tahunnya? Jawaban responden lumayan bikin saya takjub. Rata-rata mereka mendapat 8-12 undangan bukber! Kapan tarawehannya coba? Untung saya bukan salah satu respondennya. Jawaban saya bisa menyedihkan soalnya 🙂

Kegiatan buka bersama biasanya sih jadi satu agenda dengan reuni. Karena sebelas bulan dalam setahun masing-masing orang terlalu sibuk to catch up with friends, buka bersama di bulan puasa jadi semacam background theme untuk reuni satu tahun sekali. Ini dia masalahnya. Saya jaraaaaaaaaaaaang hadir buka bersama. Apalagi reuni.
Continue reading

Define Me

How do you define your friends?

By how good they look? How nice they are to you? How patient they are toward you? How hard they work? How sharp they are when they think? How brave they are when they speak? How loyal they are to you?

Tell me how you want to define your friends. And I’ll tell you if I want to be your friend.

You are how your boss is

Kemarin teman saya ketiban sial. Dimaki-maki seorang bos. Saya bilang sial karena bukan hanya teman saya itu dimaki-maki untuk sesuatu yang bukan salahnya, juga karena si bos itu bukan bos dia sendiri dan tidak pula bekerja di satu perusahaan yang sama dengan teman saya itu. Selesai dimaki-maki oleh bos itu, anak buah benerannya si bos -lewat telpon- berkata, “Sabar ya, Pak.”

Sehabis dimaki-maki dan telpon ditutup, teman saya itu ngomel nggak ada dua di depan saya. Kalimat pamungkasnya adalah, “Dep, kalo elo ntar jadi bos, jangan kayak gitu ya!”

Saya belum bisa mengaku saya seorang bos di kantor, walaupun saya mempunyai beberapa staf. Tapi saya punya banyak bos yang bisa atau malah yang tak sudi saya contoh.

Sebut saja Bos V. Bos V ini expatriat yang sudah keliling dunia dan berpengalaman handal di berbagai perusahaan dengan budaya berbeda. Walau jabatannya Presdir, Bos V ini mau turun tangan mengutak-atik komputer saya yang ngadat saat para staf di bagian IT tiba-tiba menghilang ketika diperlukan. Dia juga mau menjadi mentor para anak buahnya dengan sabar. Saking baiknya si Bos V, dia rela memberi tumpangan anak buahnya saat pulang kantor. Hanya beberapa tahun Bos V di perusahaan multinationally joint venture itu, kontraknya tidak diperpanjang. Menurut gosip yang bisa dipercaya, pemegang saham yang mayoritas orang negeri dan saling bersaudara itu tidak suka kalau Bos V lebih ngetop dari mereka.

Lalu ada Bos W. Bos W ini sudah kaya dari sebelum dia lahir. Seumur hidup sampai setengah bayanya, dia belum pernah disuruh mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri. Kebiasaannya dia yang paling terkenal di kantor adalah menjerit kepada anak buahnya. Jeritannya, “Aaaaaa, tas saya mana?!” atau “Beeeeee, ambilin laundry saya!” atau “Ceeeeeeeeeeee, bawain dompet dan majalah saya ke kantin ya!” atau “Deeeeeeeee, bayarin tagihan kartu kredit saya di bank!” Terakhir saya dengar Bos W ini mau naik pangkat jadi Direktur.

Kemudian ada Bos X. Bos X ini terkenal berhati mulia sejagat raya. Orangnya lurus, halus, ramah, dan pekerja keras. Saking halusnya, Bos X tidak pernah memarahi anak buahnya. Kalau ada anak buahnya yang harus ditegur, dia akan menegurnya dengan sangat halus yang terkadang malah tidak mujarab sama sekali. Bos X mengundurkan diri dari kantor karena tiba-tiba posisinya dipindahkan ke tempat lain. Ke departemen baru yang dibuat manajemen hanya sebagai tempelan dengan job description yang nggak jelas. Walau ada begitu banyak orang -terutama anak buahnya- yang meratapi kepergian dirinya, tidak ada satu orang penting pun yang mau menyelamatkan dirinya. Bos X ternyata tidak punya teman di atas sana. It’s apparently very lonely up there.

Setelah itu ada Bos Y. Bos Y ini mengaku mempunyai visi jauh ke depan. Karena itu dia tidak sudi disuruh mengerjakan hal-hal kecil perintilan yang kata dia tidak penting. Tapi kayaknya hampir semua pekerjaan dia bilang tidak penting. Bos Y selalu bergaya pejabat teras. Tas kantornya minta dibawain. Pintu minta dibukain. Kopi, teh, air putih, makan siang, minta diambilin. Pekerjaan… minta dikerjain orang lain. Bos Y ini hebat sekali gaya cuap-cuapnya. Tanpa mengerjakan pekerjaannya, dia bisa naik pangkat terus.

Berikutnya, ada Bos Z. Katanya, Bos Z ini pintar dan perfectionist. Saking pintar dan perfectionistnya, dia memberikan standar tinggi pada pekerjaan yang harus dilakukan anak buahnya. Jelas, anak buahnya tidak pernah sanggup mencapai standar itu, menurut kaca mata Bos Z. Ujung-ujungnya, anak buahnya semua dianggap tidak becus bekerja dan tidak keras berusaha. Not necessarily in that order sih. Lalu setelah mengatakan bahwa anak buahnya tidak becus dan tidak keras berusaha, dia akan memaksa semua orang untuk mengikuti semua maunya sampai ke titik komanya. Tidak ada protes, tidak ada pertanyaan, tidak ada komentar, apalagi input. Bila ada orang yang berani-beraninya mempunyai ide berbeda, Bos Z tidak akan ragu untuk mengeluarkan aji pamungkasnya: tantrum. Dengar-dengar, Bos Z ini bakal dapat jabatan paling penting di perusahaan.

Katanya sih semua bos itu manusia. Yang sering dilupakan mungkin adalah fakta bahwa anak buah juga manusia. Seorang bos tidak waras seperti yang dihadapi teman saya di atas (gimana bisa dibilang waras? sama karyawan orang lain aja dia bisa maki-maki nggak jelas) pasti akan menghasilkan anak buah yang juga tidak waras. Seorang bos yang ditaktor akan menghasilkan anak buah bernyali kecil. Seorang bos yang melempem akan menghasilkan anak buah yang kurang ajar. Seorang bos yang sering tantrum akan menghasilkan anah buah yang Yes Man melulu.

Pesan moral saya kali ini adalah: sebelum seorang bos –anda, mungkin?– berteriak-teriak betapa tidak becus anak buahnya, coba lah untuk mengaca dulu. Siapa tahu anak buahnya itu hanya sekedar mengikuti tingkah laku si bos.

Pesan moral saya untuk teman saya: I won’t be that kind of boss with you as my friend.

A Hallmark Card for You, Nek!

Nek, if I were a Hallmark Card writer, this was what would appear on your birthday card:

I was wondering what I could give for your birthday.
And I have been doing that for weeks.
Wondering what to give to you, I mean.
I was thinking… books? chocolate? a bucket of flowers? books? Edward Norton’s collection of underwears?
Na-ah.
And then I was thinking about writing a poem.
It turned out that I was not that poetic.
Sigh.
Then, I started to write a story. A very short story.
My story stopped on the first page.
Just like our drafts.
After that, I was thinking about my own book.
But… you know what happened.
It would be too late.

Continue reading