Top Gear, Ada Apa Dengan Cinta? dan Barb

Kalau anda bisa menyamakan persahabatan anda dengan satu film tv, film apakah itu?
Beberapa orang menyebutkan cara bersahabat Cinta dan teman-temannya dalam AADC? sebagai contoh bagaimana bersahabat itu seharusnya dilakukan. Sahabat saling bertukar kata lemah lembut, sahabat saling merangkul, sahabat saling memperlihatkan wajah manis permen…

Ceritanya beberapa hari lalu saya harus pergi ke sebuah gedung di daerah SCBD. Hari itu saya ada pertemuan penting. Saya sudah menyiapkan segalanya untuk pertemuan penting itu. Tapi ada satu masalah: saya tidak tahu lokasi, jalan, dan bagaimana caranya ke gedung pertemuan itu! Maklum, saya ini termasuk manusia bloon soal arah dan lokasi. Saya bisa tahu suatu gedung itu dimana, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya kesana. Dan bepergian ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi, SENDIRIAN, adalah siksaan yang menghasilkan kepanikan bagi saya.

SCBD? SCBD elu gak tau? Gedung itu ada di situ! Elu naik busway turun di halte Polda terus masuk ke tunnel yang menuju ke bla bla bla bla…
Begitu itu reaksi 101 teman saya yang saya tanya gedung A di SCBD ada dimana dan bagaimana caranya kesana selain naik taksi (karena jam macet) atau nyupir sendiri (karena 3in1).

Papap dan tiga orang teman baik saya yang tahu bagaimana pentingnya pertemuan ini untuk saya mencoba untuk mengajari saya cara pergi ke gedung itu.
Papap: “Kamu naik busway aja turun di seberangnya senayan.”
Saya: “Gedungnya disitu?”
Papap: “Ya enggak. Jalan dulu ke bla bla bla… Ngerti?”
Saya: “Enggak.”
Papap, jengkel: “Bawa mobil aja deh. Biar kamu bisa nyari jalannya!”
Saya: “Naik bis aja aku nyasar, malah disuruh bawa mobil?! Cuti aja deh kamu biar bisa nganterin aku!”

Teman 1: “Elu tau Pacific Place? Good. Gedung itu di seberangnya.”
Saya: “Terus cara ke Pacific Place gimana?”

Teman 2: “Elu naik busway aja. Elu tau komdak kan? Nah, elu bilang aja mau turun di halte Polda. Abis itu elu tanya orang-orang gedung A dimana. Gak jauh kok.”
Saya: “Busway dari sini ke halte Polda langsung kan? Gak naik turun bis lagi?”
Teman 2, dengan dahi berkerut: “Gak langsung! Elu turun di halte Dukuh Atas dulu terus elu ikutin jembatan busway sampai ke seberang…”
Saya: “Halte Dukuh Atas ada dimana?”

Teman 3: “You what?! Ya elaaaaaah?! Sampe hari ini elu belum tau juga gimana caranya kesana?”
Saya: “Belum.”
Teman 3: “Gue turun deh ke ruangan lo. Ntar gue gambarin jalannya. ”
Dia melakukan itu satu jam sebelum saya harus -HARUS- pergi ke gedung itu.

Teman 3 itu bernama Barb. Sobat karib saya yang juga tempat sampah saya. Kalau saya lagi senang, saya jarang inget dia. Kalau saya lagi susah dan butuh sesuatu segera, wajah dia adalah yang pertama terpampang di mata saya.
Seperti janjinya, Barb datang ke ruangan saya dan langsung menggambarkan jalan menuju gedung A. Lengkap dengan instruksinya.
Saya, yang sudah frustasi karena tetap tidak bisa membayangkan jalan memutuskan untuk menyerah dan naik taksi: “Gue naik taksi aja deh.”
Barb : “Kalau elu naik taksi, elu jangan belok di entrance SCBD pertama. Elu suruh supirnya belok di entrance kedua karena gedung itu lokasinya bla bla bla…”
Saya mengerang: “Emangnya SCBD punya berapa entrance?!”
Barb, setengah mengomeli saya: “Banyak!”
Di depan Barb, saya memandangi peta gambaran Barb dengan frustasi. Entah karena kasihan atau karena jengkel dengan kebebalan saya, Barb memutuskan sesuatu. “Elu tunggu bentar deh. Gue ambil tas dulu.”
“He? Elu mau ngapain?”
“Gue anterin elu sampe sana.” Barb pun bergegas untuk mengambil tasnya.

Beberapa menit kemudian, dia muncul dengan tasnya dan segera menggeret saya pergi. Beberapa menit kemudian, dia sudah ada di busway bersama saya. Setengah jam kemudian, dia sudah menemani saya mencari taksi di bawah halte Dukuh Atas. Beberapa menit setelah itu, dia sudah menunjukkan jalan masuk ke gedung pertemuan penting saya. Beberapa menit setelah itu, dia mengajari saya cara melewati petugas keamanan di gedung. Beberapa menit kemudian, dia sudah ada di lift menuju ke lantai 16 tempat tujuan saya. Beberapa menit setelah itu, di lantai 16, setelah mengantarkan saya dengan selamat sampai di kantor yang saya tuju, dia pamit untuk pergi lagi ke tempat lain.
“Okay. Good luck,” katanya sebelum pergi. Bahkan sebelum dia benar-benar pergi, dia sudah memastikan saya tahu jalan pulang saya.

Barb, sobat saya itu, sudah bersahabat dengan saya lebih dari 10 tahun. Walau lebih dari 10 tahun saya bersahabat dengannya, orang-orang masih menyangka kami adalah musuh bebuyutan karena saking seringnya kami bertengkar. Seringkali saat kami beradu argumentasi, teman-teman kami menyingkir karena menyangka kami sedang mendemonstrasikan perang Bharatayuda. Mungkin karena persahabatan saya dengan Barb bukan model persahabatan Cinta dan teman-temannya di AADC?. Persahabatan saya dan Barb lebih seperti persahabatan yang diperlihatkan Jeremy, Richard, dan James pada serial tv Top Gear.
Ketika Richard memaki Jeremy dengan, “You’re a bloody idiot!” Jeremy bukannya tersinggung malah tertawa ngakak.

Begitu juga dengan saya dan Barb. When one of us behave so idiotic, the other would just say it in front of her face. Saya dan Barb tidak pernah saling merangkul dalam tangisan saat salah satu sedang kesusahan. Saya dan Barb tidak pernah mengiklankan diri kami sebagai model sahabat sejati di segala suasana. We don’t say sweet things just for the sake of friendship.

Kalimat favoritnya saat mengomel pada saya adalah, “ya elu pikir aja yang bener…”
Kalimat favorit saya saat mengomel padanya adalah, “nah, elu juga geblek…”

Hari ini, Barb berulang tahun. Saya ingin berterima kasih padanya karena dia bersedia membiarkan saya menjadi diri saya sendiri saat saya menjadi sahabatnya. Saya ingin berterima kasih padanya karena rasa sayangnya pada saya bahkan disaat saya berulah sangat menjengkelkan. Dan terutama, di hari ulang tahun Barb ini, saya ingin berterima kasih padanya karena dia sudah mau menjadi sahabat saya.

picture: wikipedia

Leave a Reply