Beberapa minggu lalu di salah satu majalah wanita negeri ini ada pertanyaan: berapa banyak undangan buka puasa yang anda terima setiap tahunnya? Jawaban responden lumayan bikin saya takjub. Rata-rata mereka mendapat 8-12 undangan bukber! Kapan tarawehannya coba? Untung saya bukan salah satu respondennya. Jawaban saya bisa menyedihkan soalnya 🙂
Kegiatan buka bersama biasanya sih jadi satu agenda dengan reuni. Karena sebelas bulan dalam setahun masing-masing orang terlalu sibuk to catch up with friends, buka bersama di bulan puasa jadi semacam background theme untuk reuni satu tahun sekali. Ini dia masalahnya. Saya jaraaaaaaaaaaaang hadir buka bersama. Apalagi reuni.
Sebagai manusia yang jarak antara tempat-tempat gaul di Jakarta dan rumah saya bisa muterin satu bumi sendiri, pakai macet pulak, saya selalu mikir ratusan kali untuk mengiyakan ajakan reuni atau bahkan semacam hang out kecil-kecilan. Untuk bisa melakukan kegiatan gaul ini saya harus melakukan persiapan matang: berangkat jam berapa, naik apa, berapa lama di sana, pulang naik apa, jam berapa pulang, masih ada taksi kah, bisa nebeng kah, anak-anak ditemani siapa, besoknya bisa bolos kah, dan sebagainya dan sebagainya. Pusing dan ribet saya mikirnya. Apalagi yang ngajak kan? I really am not a spontaneously social creature.
Tapi toh setiap kali bulan puasa datang masih banyak teman saya yang ternyata sayang dan ingat pada saya dan mau repot membujuk saya reuni dengan alasan buka bersama. Dari teman SD sampai kuliah sampai mantan teman kerja, semua mengadakan acara bukber plus plus. Plus reuni plus aplot foto ke fesbuk. Dari sekian undangan, tiap tahunnya paling-paling yang saya datangi…cuma tiga. Bagaimana saya memilih yang tiga dari yang sekian?
Kalau kebanyakan orang justru memilih kelompok bukber atau reuni yang orang-orangnya paling jarang mereka temui, saya justru sebaliknya. Saya sering merasa awkward kalau harus bertanya soal-soal yang personal padahal kalau kita jarang ketemu atau malah baru ketemu di reuni itu, pertanyaan-pertanyaan personal kan yang muncul.
“Hai apa kabar? Kerja di mana sekarang?”
“Anaknya udah berapa?”
“Kelas berapa anaknya?”
“Tinggal di mana sekarang?”
“Istrinya udah berapa?”
dan semacamnya.
Seandainya ada formulir data diri peserta reuni yang bisa dibagikan untuk mengurangi kewajiban bertanya seperti ini. Yang saya bayangin gimana kalau orang itu ternyata baru saja di-PHK? Atau bertahun-tahun belum punya anak? Atau baru saja bercerai? Pppfffff….
Jadi, saya memilih mendatangi kelompok bukber aka reuni yang anggotanya paling sering saya temui. Di kelompok-kelompok semacam itu pertanyaan yang pertama keluar gak lagi “Anaknya umur berapa?” Tapi, “Sakit apaan lagi lu kemaren? Tipus lagi?!” You know what I mean?
Kalau saya boleh milih, daripada ikutan reuni, saya lebih memilih kongkow kecil-kecilan. Supaya lebih personal. Supaya lebih akrab. Supaya saya gak salah sangka menyangka si A yang mukanya berubah dari jaman sekolah dulu itu pacaranya si X dan bukannya pacar si Y. Hmmm, masalahnya si X yang mana, si Y yang mana?