Tanggal 22 Desember seperti tahun-tahun sebelumnya seharian penuh linimasa baik di Fesbuk maupun di Twitter, dan bahkan di Instagram, berisi foto dan daftar masakan favorit anak-anak Endonesia. Bagaimana dengan Fesbuk dan Twitter kalian? Setelah sempat menuliskan fenomena ini di sini, tahun ini sebenarnya saya berharap ada yang cerita-cerita berbeda dalam merayakan Hari Ibu. Cerita-cerita yang bisa membuat saya ikut terkekeh membaca betapa miripnya peristiwa itu dengan yang saya alami. Mungkin saya masih belum bisa move on dari sindrom kenangan masa anak-anak yang tidak pernah berkaitan dengan masakan si Mami 😀 .
Iseng, saya mencoba mencari-cari di linimasa cerita-cerita tentang momen berkesan saat kecil dulu bersama ibu yang tidak berhubungan dengan makanan dan memasak. Menjahit, mungkin? Berkebun? Duh, semuanya domestik ya 😛 . Atau cerita tentang keahlian tertentu yang diajarkan ibu selain memasak? Berkelahi? Kalau itu sih saya.
Sampai kemudian saya melihat video ini di Fesbuk dan ngakak sejadi-jadinya.
I can relate to the story about Asian parents. Well, I’m the Asian parent who educates my kids using the power of raised eyebrows! 😀 😀 😀 .
Waktu kecil, si Mami dan Kumendan jarang berpanjang lebar memberikan penjelasan kenapa saya dan adik-adik saya tidak boleh melakukan sesuatu dalam kategori berbahaya atau membawa masalah di kemudian hari. Saya ingat si Mami paling kesal setiap kali saya memilih untuk tidur, dibanding makan, apabila sudah teramat capek. Dengan kegiatan ekskul yang melebihi jadwal kerja dan kegiatan bergaul si Mami, saya seringkali pulang dengan badan capek dan cuma pengin tidur. Kalau sudah begitu, si Mami akan menegur sekali supaya saya makan. Teguran yang tentu saja saya abaikan. Teguran kedua akan dilakukan si Mami dengan kalimat yang berbeda, “enggak mau makan? Tanggung sendiri kalau sakit ya.”
Dan tentu saya sakit setelahnya….
Dan menurut lo cerita Malin Kundang hanya fiksi?!
Si Mami bukan jenis orang yang akan bilang ‘I told you so’ setiap kali saya sudah merasakan nikmatnya mengabaikan teguran si Mami. Dia hanya akan memandang saya datar dengan wajah yang di mata saya sudah berubah jadi running text di TV berisi daftar sebab akibat dan apa yang harus saya lakukan sendiri sebagai konsekuensinya. Sebagai hasilnya, saya mengerti bahwa anak-anak perlu diajarkan sebab akibat dengan merasakan akibatnya sendiri hahaha… Otak saya sampai sekarang terlatih untuk mengukur sebab dan akibat. Saya sebal luar biasa setiap kali saya dengar kalimat sakti si Mami itu.
Ketika saya punya anak, tanpa sadar dan tanpa diinginkan, saya ternyata menggunakan dan memodifikasi cara si Mami mengajarkan sebab akibat. Suatu kali, saya pulang ke rumah dan mendapati si Mami laporan tentang Hikari yang habis ditegur gurunya karena tertidur di kelas. Belum sempat saya komentar apapun, Hikari sudah bersuara.
“Iya, aku salah. Mamam udah ingetin semalam tapi aku keterusan baca buku jadi tidurnya terlambat.”
Sya kontan ingat kalimat saya semalam.
“Mamam sudah ingatkan loh ya. Kalau besok mengantuk di sekolah, kamu tanggung sendiri akibatnya!”
Tiba-tiba saya terlempar ke masa kecil saya saat si Mami mengucapkan hal yang sama kepada saya.
Apparently, sooner or later, we will all quote our mother.
Selamat Hari Ibu, Mam!