Karena Semua Kita adalah Loki

Entah kenapa sejak saya nonton Thor Ragnarok beberapa bulan lalu saya masih aja keinget si Loki. Ya, oke, saya kebayang-bayang si Chris Hemsworth juga sih selama beberapa hari. Ya ganteng gitu loh πŸ™„ dan aksennya mengingatkan saya pada celotehan orang-orang di kantor πŸ˜€ . Saya makin ingin bahas si Loki di blog setelah beberapa waktu lalu di mall dekat rumah saya sempat memergoki seorang bapak memarahi menasehati anaknya yang sepertinya masih usia SD kelas 4 atau 5. Entah sudah melakukan apa sih anak laki itu tapi nasehat si bapak terngiang-ngiang di saya. “….nanti sampai gede kamu jadi begitu terus! Mau?!”

Oke. Itu bukan menasehati sih. Lebih ke meramal masa depan. Ya masa’ meramal masa lalu?!

Thor Ragnarok ini sekuel dari dua film Thor sebelumnya yang anehnya saya sudah tonton semua. Selesai nonton Thor Ragnarok, saya sampai bela-belain nonton film pertama dan keduanya hanya untuk menyegarkan ingatan saya ini film Thor sebenarnya tentang apa πŸ˜€ . Setelah nonton semua sekuelnya dan teringat kembali jalan cerita di dua film sebelumnya (aslik cerita di film pertama nyebelin dan Natalie Portman sungguh gak berguna ada di situ), ujungnya saya malah pengin pentung Si Odin AllFather pake wajan. “Bro, elo belajar parenting dari mana sik? Namanya AllFather tapi punya 3 anak kagak ada yang beres gitu, dulu waktu lahir disajenin nggak, Bro?”

Di Thor Ragnarok ini ceritanya si Thor pulang berantem dan menemukan bapaknya dibikin nyasar di bumi oleh Loki. Sementara si Loki sendiri pura-pura jadi Odin. Thor pun memaksa Loki untuk menemani dia mencari Odin the AllFather. Setingkat Dewa bisa nyasar di bumi sih enggak heran lah. Di mall aja saya rentan nyasar. Cobain deh masuk ke Mall Kelapa Gading. Masuk mall pagi, keluar malam cuma buat nyari pintu keluar doang. Singkat cerita supaya enggak dibilang spoiler, mereka bertemu dengan bapaknya. Susah payah nyari Bapak Odin, mereka hanya menemukan si Bapak enggak mau diajak pulang πŸ™„ . Bukan cuma itu. Odin the AllFather kemudian malah ngasih tahu kalau Thor dan Loki ternyata punya kakak perempuan, sebelum dia kemudian melarikan diri ke tidur abadi. Pak, Bapak sehat?

Hela, si kakak perempuan Thor dan Loki, rupanya gagah berani dan ratu sadis. Hela ini hasil didikan bapaknya, sebelum Odin insyap dan punya anak Thor. Xena, the princess warrior, aja kalah kualitas. Thor dan Loki tidak mampu menandingi kesaktian Hela. *nyanyi lagu Who Run the World* Supaya bisa menang, mereka akhirnya setuju untuk bekerja sama.

Naaaaah, di bagian ini nih yang bikin saya kepikiran sama Loki terus. Loki is Loki. Jadi di awal-awal film Loki selalu dikasih lihat karakternya yang manipulatif. Kayaknya kalau dia nawarin segelas air minum dingin di tengah hari yang panas orang juga enggak mau terima. Bawaannya curiga sama motif si Loki. Di sepanjang film pun penonton disuguhi banyak adegan-adegan simbolik yang bikin penonton deg-degan. Ini si Loki tulus atau enggak ya? Mukanya sih tulus. Eeeeh ya ampun dia ngorbanin abangnya sendiri! Etapi itu strategi aja kayaknya. Eh beneran enggak sih?!
You got the idea, ya.

Di satu adegan Loki akhirnya bantuin Thor keluar dari penjara. Di lift (di sana ada lift juga, cyn), si Thor bilang gini ke Loki:
β€œLoki, I thought the world of you. I thought we were gonna fight side by side forever but at the end of the day, you’re you and I’m me.”
Terjemahannya kira-kira, “Gue tuh sayang sama elo, Ki. Gue pikir kita bakalan saling bantu selamanya, tapi ujung-ujungnya ya elo adalah elo yang kayak gini dan gue ya gue.”

Jadi menurut Thor, si Loki memang dari sononya punya karakter nyebelin, jahat, manipulatif. Dalam kondisi apapun, dia bakalan balik lagi memenuhi karakternya. Enggak bakal tiba-tiba Loki insyap dan punya belas kasih seperti malaikat. Gituh.

Saya sakit hati nontonnya. Apalagi pas lihat Loki melirik Thor dengan sedih. Kelihatan Loki tidak terima dicap, dilabeli, diingatkan, dirinya selalu jahat, tapi dia diam saja. He chooses to live up to his label. Dan itu salah siapa sodara-sodaraaaaa? Salah abangnya Loki.

Seringkali kita kasih label ke anak atas satu tindakan kurang baik yang dia lakukan. Apalagi kalau tindakan itu diulang-ulang. Sekali, dua kali, tiga kali. Lama-lama, labelnya nancep dan berubah menjadi jati diri. Padahal seringkali juga orang atau anak yang kita labeli diam-diam patah hati tapi tidak kuasa menolak. Akhirnya mereka malah bertingkah sesuai labelnya. They live in people’s perception about them. Sedih kan?

Jadiiiii….setelah panjang-panjang saya nyeritain filmnya, ini loh yang saya mau bahas. Anak kecil yang diramal bapaknya di mall tadi bakal berpikir masa depannya bakal sama persis seperti yang bapaknya bilang. Why not? It’s my father doing the talking. Cerita anak yang tidak bisa keluar dari labelnya saat dia dewasa bertebaran baik di dunia nyata maupun di novel-novel. Kita sendiri, label apa yang masih menetap di kepala kita dan kita jalani sampai sekarang karena lebih mudah begitu?

So, please stop. Stop ignoring the fact that people can change. Stop thinking that we are our label(s). Stop sticking labels to people. Labels are for bottles, not people.

And parents, remember, don’t be like Odin.

Images are from the internet.

Leave a Reply