Sudah seminggu ini waktu saya terbuang sia-sia di depan laptop tanpa berhasil produktif sama sekali. Draft cerpen yang harusnya tayang minggu lalu (kemudian molor tengah minggu, terus molor lagi sampai akhir minggu) hanya bisa saya pelototin bolak balik. Saya cuma sanggup ngotak-ngatik teknisnya: pilihan kata, tanda baca, tanpa bisa maju ke hal yang lebih substansial: isi cerita dan endingnya, sisssss! Frustasi rasanya.
Setelah di minggu-minggu sebelumnya saya menyelesaikan setengah dari cerpen itu dalam jangka waktu beberapa hari aja, kena blok seperti ini sangat menyebalkaaaaan, Rosalinda! Tidak ada kemajuan sama sekali menuju ending, padahal saya sudah menyiapkan semua faktor pendukung dari ruangan, waktu, kondisi aman nyaman dingin, kopi, musik, sampai ambil cuti segala. Yang biasanya dengerin musik bikin mood naik, ini malah bikin saya ngelamun. Nulis enggak, nelangsa iya. Siyal.
Di waktu yang sama, saya sedang menyelesaikan buku How To Be A Stoic tulisannya Massimo Pigliucci. Di Chapter 12 itu ada deskripsi lucu tentang seorang filsuf, yang senangnya menyendiri, ngelamun, pura-pura berpikir serius sambil memandangi bintang-bintang terus kalau ngomong pakai bahasa yang puitis gak bisa dimengerti orang lain. Kayaknya Pigliucci lagi ngomongin seorang penulis heehehehehe….
Kalau mau jujur sih proses menulis saya mirip-mirip kayak gitu minus bahasa puitisnya. Kadang kalau lagi mikirin karakter dan plot, saya bisa bengong lama gitu. Kalau sudah rame di kepala, susah diajak balik dunia nyata, seperti siapa yang harus antar anak les atau kenapa anak ijo saya pada mati semua saking saya lupa nyiram. Kalau saya dalam kondisi trance gitu, ide nulis mengalir terus. Yang jadi masalah kalau pengin trance tapi waktunya gak ada karena harus mencari sesuap nasi dan sekarung berlian. Sekarang justru sebaliknya. Saya sudah siapkan waktu, trance-nya enggak muncul-muncul. Rasanya kayak pengin neriakin karakter-karakter di draft ini! Come on, guys!
Karena dipaksa juga enggak bisa, saya akhirnya memasrahkan diri dengan baca buku lagi, nonton film lagi, sambil merhatiin lirik-lirik lagu. Kesannya nyesal ya pasrah gitu padahal sih kenyataannya malah enggak beranjak dari depan TV kalau pas ketemu aktor ganteng film kecintaanku. Balik baca buku pun merusak mood nulis draft sendiri karena saya kalau baca buku harus sampai habis baru bisa move on ke urusan lain. Kalau bukunya bagus dan endingnya bikin trauma seperti One Day-nya David Nicholls, saya bakal stuck di situ sambil menghela napas berkali dan mengutuk si penulis. Kenapa begini banget sih Bro?! Boro-boro mau balik ke draft sendiri. Yang ada mau meratapi nasib si karakternya David aja.
Kemudian ada persoalan musik pendukung mood.
Tiap kali saya mulai nulis draft baru (draft doang, kelarnya enggak. Jangan ditagih dulu mana produknya), saya bikin playlist lagu khusus untuk mood draft itu. Kemarin bikin cerpen ini, playlistnya sendu semua huaaaa. Repot emang anak satu ini. Kenapa saya harus bikin playlist gini? Karena 1) musiknya, dan 2) liriknya. Ya liriknya.
So, I’m really a sucker for beautiful words. Maksudnya, kalau ada lirik lagu yang bagus walaupun musiknya enggak banget, saya bisa terkagum-kagum gitu. Gila dia bisa dapat aja seuntai kalimat itu, man! Kalau buku kan banyak ya yang bisa dikutip saking hebatnya si penulis merangkai kata. Beberapa artis musik atau song writers punya kemampuan puitis luar biasa juga dan saya kagum banget. Some lyrics are ingenious! Di lagu yang dibawakan Keira Knightley di film Begin Again ini saya stuck di satu baris lirik. Di salah satu lagunya Hamilton (iya Hamilton yang Broadway play itu), saya terkagum-kagum dengan lirik lagu Wait for It. Love doesn’t discriminate. Between the Sinners and the Saints. Abis dengar itu, saya menghela napas panjaaaaang banget. Enggak, saya enggak bohong. Emang kalau lagi jadi drama queen ya gitu itu. Lin-Manuel Miranda jenius banget lah bikin play dan lagu-lagunya.
Menyadari betapa saya begitu terpengaruhnya dengan kalimat dan kata-kata indah nan dahsyat itu, saya jadi reflektif sendiri. Jangan-jangan tulisan saya mandek karena saya terobsesi menciptakan kata-kata seperti itu? Kemudian saya jadi teringat omelan teman saya lewat Zoom (di online aja saya masih bisa diomelin) yang bilang saya terlalu overthinking. Seharusnya saya nulis aja terus baru edit belakangan. Pokoknya nuliiiiis terus. Urusan bagus/jelek belakangan saat mengedit.
Iya ini sih rumus dasar menulis ya tapi emang lebih gampang yang ngomong dari pada yang nulis sih. Huh!