Niat. Yang penting niatnya.
Sebenarnya saya sudah lama berniat melanjutkan draft-draft cerpen yang terbengkalai. Ya niat doang. Belum pernah saya laksanakan dengan berbagai alasan. Salah satunya karena saya takut berkomitmen waktu untuk menulis (saja). Menulis itu butuh banyak faktor pendukung selain mood. Ada faktor ketenangan lingkungan yang sangat penting, faktor kenyamanan tempat menulis, faktor bebas gangguan, dsb dkk dll. Kalau saya sudah berkomitmen untuk menulis, artinya saya akan menjadi sangat selfish. Tidak mau diganggu selama jam-jam saya menulis. Tanpa adanya ruangan sendiri yang bebas gangguan, kondisi ini sulit kecuali saya menulis dari tengah malam sampai dini hari. Coba setiap hari gini, minggu kedua tipes langsung kan?
Continue reading
Writer’s Block Moment
Ide Mentok itu Real, Kawan
Sudah seminggu ini waktu saya terbuang sia-sia di depan laptop tanpa berhasil produktif sama sekali. Draft cerpen yang harusnya tayang minggu lalu (kemudian molor tengah minggu, terus molor lagi sampai akhir minggu) hanya bisa saya pelototin bolak balik. Saya cuma sanggup ngotak-ngatik teknisnya: pilihan kata, tanda baca, tanpa bisa maju ke hal yang lebih substansial: isi cerita dan endingnya, sisssss! Frustasi rasanya.
Continue reading
Ngambek
Kalau Hikari lagi kumat moody-nya, dia akan mulai cari-cari lawan berantem. Tentu saja yang terprovokasi adalah -urutan pertama- si Papap. Kalau ada Eyang Kung, urutan kedua ya Eyang Kung. Lalu setelah itu Eyang Uti. Saya? Gaya nyari lawan Hikari tidak mempan untuk saya.
Hikari: Aku bosan! Aku mau pergi berpetualang saja.
Papap: Kemana?
Hikari: Ke hutan! Aku bosan!
Papap: Hutan mana?
Hikari: Ya, ke hutan! Kamu dengar tidak aku tadi bilang ke hutan? (nada tinggi)
Papap: Iya, Papap dengar! Papap kan tanya ke hutan mana?! (nada tinggi juga)
Saya: Penting ya, Be? (sambil ngeloyor)
Biasanya setelah itu ada adegan Papap ngomel dan Hikari mewek.
Walau sudah pake acara sahut-sahutan dengan si Papap, Hikari biasanya belum mau mengalah.
Hikari: Aku mau bawa bajuku. Semuanya! Aku mau bawa baju ditaruh di kain. Terus aku pasang kainnya di kayu. Aku mau ke hutan!
Papap: Nih, Papap kasih uang buat naik angkot ke hutan.
Hikari: mewek
Biasanya setelah itu, saya melotot ke Papap, lalu meraih tangan Hikari dan mengajaknya jalan keliling blok walaupun hari itu sudah larut malam sekalipun. Biasanya dia akan berjalan dengan manyun, ngomel, nendang-nendang batu, sampai lari kencang meninggalkan saya. Setelah manyunnya hilang, dia akan balik lagi mencari saya yang masih berjalan santai lalu… memeluk saya erat-erat. Pemandangan yang biasanya dibalas Papap dengan ledekan sirik… karena saya enggak pernah mau dipeluk Papap kalau lagi jalan-jalan di sekitar rumah…
Beda Hikari, beda Papap.
Kalau Papap sedang ngambek -yang datangnya seperti tahun kabisat: 4 tahun sekali- saya malah pasang tampang jengkel. Soalnya, Papap kalau ngambek itu belagak diam. Kalau ditanya, jawabnya sepotong-sepotong. Kalau disindir ngambek, enggak mau ngaku. Akhirnya, saya malah balik ngomel. “Ya sudah! Terserah kamu ajah!” adalah kalimat sakti saya. Setelah itu, biasanya Papap menyerah dengan mengeluarkan kalimat dua potong.
Kalau saya yang ngambek?
Pilih jawaban di bawah ini:
a) Diam seribu bahasa selama beberapa hari
b) Marah-marah
c) Nangis
d) Semua yang ada di atas. Serius lo?!
e) ……. (isi sendiri)