Passport dan Foto Keluarga

Bulan April ini seharusnya jadwal saya memperpanjang passport. Walaupun belum ada rencana ke mana-mana, saya kapok deg degan karena masa berlakunya passport yang kurang dari 6 bulan lalu tiba-tiba saya harus jalan ke mana gitu. Tapi rencana sejak 2 bulan lalu gagal total lah gara-gara Covid-19. Lagian, mau kabur ke mana juga pakai passport wong pesawatnya di-grounded semua ๐Ÿ™ .

Urusan bikin dan perpanjang passport ini urusan pelik buat saya dan keluarga. Pertama, buat saya. Pelik. Ini karena nama saya yang enggak ada bau-bau Indonesianya. Bawaannya curiga aja itu petugas kantor imigrasi. Biasanya saya akan dipelototin dari atas sampai bawah untuk memastikan iya bener ini orang Indonesia. Buku Nikah, Kartu Keluarga orang tua saya, semua dilihatin lama-lama. Pelik kedua itu saya alami baru aja saat membuat passport anak beberapa bulan lalu. Ini cerita antara ngeselin dan konyol sih.

Beberapa bulan lalu saya dan si Papap harus bikin passport Aiko dan memperpanjang passport Hikari (judulnya perpanjang tapi sama seperti bikin baru). Ini passport pertama Aiko. Kami berangkat ke salah satu kantor imigrasi besar di Jakarta.

Sampai di sana, prosesnya cepat. Papap yang saya bikin sibuk ngurusin prosesnya anak berdua itu. Saya cuma kebagian isi formulir. Itu juga karena kaca mata dia ketinggalan. Sejak ambil formulir sampai antri wawancara, semua ditungguin si Papap. Sampai waktu wawancara satu persatu anak, si Papap juga yang dampingi. Saya? Main hape.

Kelar lah urusan hari itu dengan baik dan lancar. Beberapa hari kemudian passpotnya jadi. Di sini masalah dimulai.

Karena si Papap berhalangan ambil passport dua anak itu, diutus lah saya ke kantor imigrasi. Agak sebel juga sih karena harus bangun pagi hehe…enggak relevan memang. Nah, di persyaratan ambil passport itu saya hanya perlu bawa bukti pembayaran dan pembuatan passport. Saya tidak lagi perlu bawa segala dokumen yang pernah dikasih unjuk saat pembuatan passport. Aman lah. Tinggal ngambil doang.

Setelah nunggu antrian, nama Aiko dan Hikari pun dipanggil petugas. Saya maju ke loket sambil menyerahkan bukti pembuatan passport. Si Bapak Petugas melayani saya sambil matanya tertuju ke berkas-berkas di tangannya. Dia enggak sekali pun melihat ke saya walau kami bercakap-cakap.
“Atas nama Aiko? Hikari?”
“Iya, Pak, 2 anak.”
“Bukti ambilnya?”
“Ini Pak.”
Gitu lah.
Lalu si Bapak mendongak dan melihat wajah saya. Tangan dia yang awalnya siap menyerahkan berkas ke saya mendadak berhenti di udara. Berkasnya dia tarik lagi ke dadanya. Saya kontan curiga. Perasaan tadi saya mandi dan dandan baik-baik aja. Kenapa dia? Apa ada Kuntilanak di belakang saya?!

Si Bapak mengernyit gitu ke saya.
“Ibu…ambil passport siapa?”
“Aiko, Pak. Dan Hikari. Tadi kan Bapak panggil.” Laaah?
“Ibu siapanya?”
“Ibunya.”
“Masa?!”
Laaaaah.
“Buktinya mana?”
“Ha? Bukti apa maksudnya? Ini bukti ambilnya, Pak.” Saya sodorkan bukti pembuatan passport.
“Nama Ibu siapa? KTP dan KK mana?”
Lah kok makin gak beres?!
“Saya…(saya sebutkan nama lengkap). Ini KTP saya. KK saya enggak bawa kan di situ enggak ada persyaratan bawa KK.”
Si Bapak membolak balik passport anak-anak saya. Dia pelototin foto Aiko dan Hikari. Lalu dia pelototin saya lagi.
“Ibu benar ibunya?”
“Ya ampun, Pak. Iyaaaa. Ada apa sih Pak?”
“Nama Ibu…(dia sebutkan nama lengkap saya). Ini anaknya Aiko dan Hikari?”
“Iyaaaa!”
“Ibu kembali lagi bawa berkas lengkap aja ya.”
Waaah naik pitam saya di situ. Si Bapak Petugas tidak percaya kalau saya ibunya anak 2 itu karena nama saya beda banget daaaaaaan fisik saya beda dengan Aiko dan Hikari yang putih sipit…. Ya Loooord….

Saya menolak untuk pulang lagi dan bawa berkas lengkap. Saya ngotot kalau seluruh berkas sudah benar dan lengkap saat wawancara. Untungnya saya simpan softcopy dokumen semacam KK di Dropbox yang saya akses dari hape. Sekalian saya sodorin foto keluarga di hape.
“Ini loooh Paaak ini foto saya sama anak-anak. Tuuuh lihat fotonya di passport sama kaaan?” Sambil senderan di loket saya ajak si Bapak lihat-lihat album foto keluarga di hape.
“Oooh iya ya Bu sama ya dengan di foto itu…” Si Bapak akhirnya manggut-manggut. Dia pakai menghela napas gitu pulak! Ahelah. Terus dia bilang, “Bu, Ibu tanda tangan di sini aja deh pakai nama jelas dan kalimat pernyataan bahwa benar Ibu adalah orang tua kandung dari anak-anak ini.”

Agak ebuset gitu sih yaaa tapi daripada saya lebih lama lagi ada di situ sambil ditonton orang seruangan saya iyain aja. Kalimat pernyataan saya tulis CAPSLOCK semua. Emosi. Akhirnya saya bisa pulang membawa passport anak-anak.

Keluar dari kantor imigrasi, saya telpon si Papap.
“Woy, Pap, lain kali kamu aja yang urusan sama imigrasi. Aku kapok. Ogah. Nehi. Gak mau!”
Si Papap yang lagi di kantor itu hanya bisa ber-Ha? Ha?
“Kenapa memang, Mam?”
“Masa aku gak dipercaya jadi ibunya Aiko sama Hikari cuma gara gara mereka putih sipit aku iteeeem?!”
Di ujung sambungan si Papap ketawa ngakak ngakak enggak berhenti.

Besok-besok ke imigrasi saya bakal bawa foto keluarga terbaru. Bete.

1,985 thoughts on “Passport dan Foto Keluarga

  1. Attractive section of content. I just stumbled upon your weblog and in accession capital to assert that I acquire in fact enjoyed account your blog posts. Any way I will be subscribing to your feeds and even I achievement you access consistently rapidly.
    https://englishmax.ru/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *