Drama Mom

Saya sering membayangkan pada satu hari saat saya sedang duduk di kursi penumpang, pengemudi di sebelah saya, laki-laki muda yang ganteng dan baru mendapatkan SIM-nya berbicara ke saya dengan nada malu-malu.
“Ma, besok malam aku pinjam mobilnya, ya. Boleh kan?”
Dan sebelum menjawab, saya mengingat-ingat bahwa besok malam adalah malam minggu.
“Mau ke mana?”
“Ke rumah teman,” katanya masih malu-malu dengan pandangan mata menghindari mata saya.
“Teman? Siapa?” tanya saya kekeuh.
“Ayu.”
“Teman atau pacar?”
Saya membayangkan wajah pengemudi di sebelah saya memerah malu.
“Masih teman.”
“Ooooh. Sebentar lagi jadi pacar?”
“Nnnngggak tauuu…”
“Kamu suka dia, Nak?”
“Hmmm iya sih.”
“What do you like about her?”
“Hhmmm… Dia cantik…”
“Jangan cuma cantiknya aja yang dilihat, Nak. Kalau cari perempuan cantik, ada banyak, Nak. Tapi perempuan yang cantik, pintar, sholehah, keren, baik hati, seperti Mamamu ini, yaaaa cuma sedikit……”
Dan saya membayangkan sepanjang jalan itu saya akan menceramahi anak saya yang sudah menjadi perjaka tampan nan baik budi itu dengan panjang dan lebar mengenai kriteria pacar idaman.

Saya tidak pernah membayangkan saya akan membicarakan soal pacar idaman dengan anak umur sepuluh tahun yang masih pergi sekolah pakai celana pendek….

Rabu malam kemarin saya baru selesai menjemput Hikari dari les musiknya. Anak laki kinyis-kinyis yang walau ganteng juga baru kemarin ulang tahun ke-10, duduk di sebelah saya asyik main game di tablet. Mobil kami baru saja memasuki gerbang komplek ketika tiba-tiba suara mungilnya mengejutkan saya.
“Mama, aku pikir aku sedang fall in love dengan teman perempuanku…”
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!
Kaki saya reflek menginjak rem. Saya banting setir masuk ke area parkir ruko.
“Fall in love?” tanya saya setelah menghitung dalam hati 100 kali.
“Iya.”
“Sama siapa?”
“Sama temanku.”
“Siapa namanya?”
“Rania.”
“Rania teman kamu di kelas empat?”
“Iya.”
Saya menghitung dalam hati lagi. 200 kali!
“Kok tau kamu jatuh cinta? Rasanya gimana?”
“Ya aku suka aja, Ma. Dia baik dan pintar.”
Sedetik saya bangga karena dia tidak menyebut kata cantik. O-M-G! My boy can see through physical being!
“Iya sih…” kata saya setengah syok, “Rania memang anak baik. Sholehah lagi.”
Saya tahu Rania. Gadis manis yang pendiam itu terkenal pintar.
“Kamu pintar milih suka sama orang, Nak,” kata saya setengah sadar.
Hikari hanya mengangguk-angguk.
“Rania tau kamu suka dia?”
“Seperti belum tahu, Ma. Aku pikir aku akan tunggu sampai aku dewasa gitu baru aku akan menyatakan aku suka ke dia.”
“…………”
“Ma, kok mobilnya dimatikan?”
“Mama…mau…keluar…”
“Mama mau beli sesuatu?”
“Iy-yah.”
Pintu mobil saya buka.
“Mama mau beli apa?”
“Beli galon air, Nak……”
“Buat apa?”
“Buat diminum sampai habis…..”

Leave a Reply