Sudah beberapa tahun ini saya berhenti menonton film-film mikir. Dan itu artinya saya juga sudah berhenti menonton (hampir) semua film pemenang Oscar. Movies affect me very much. Kalau itu film-film mikir dan cenderung punya storyline yang membuat depresi, maka saya akan mikir berhari-hari dan bahkan sampai ke fase gloomy. Sejak mengalami PPD, saya sebisa mungkin menghindari pencetus depresi yang bisa membuat saya babak belur. Sekarang ini saya cuma mau nonton film ringan ringan yang sekali nonton kelar enggak kepikir lagi. Untung saya masih tahan baca buku serius dan mikir, karena kalau enggak, man, secetek apa nanti diri ini hehehe…
Continue reading
Words of Wisdom
Kartu di Mejanya ‘Cek Toko Sebelah’
Membaca judul posting ini, bagi yang sudah nonton Cek Toko Sebelah pasti langsung mikir saya ngomongin Geng Capsa yang fenomenal di film Cek Toko Sebelah. Hehe… Bukan. Saya sedang ngomongin perasaan saya yang baper setelah nonton film CTS ini.
Awalnya saya dan Papap agak ragu mau nonton film CTS ini karena kami pernah trauma nonton film komedi dari sutradara Indonesia lain yang beritanya heboh sejagat maya. Kami pikir film ini sama dengan komedi itu yang rupanya menyasar para abege, bukan orang dewasa seperti kami. Saya pikir sih yang salah kami karena tidak bisa tertawa bareng abege yang memenuhi bioskop 😀 . Naaah, kami pikir CTS ini sama. Komedi = abege = suram nasib kami. Tapi, akhirnya kami memberanikan diri untuk nonton karena……ada Kaesang Pangarep di filmnya 😀 😀 😀 . Cetek banget.
Continue reading
Merayakan Harinya Profesi Paling Penting Sedunia
Sejak pagi, Facebook saya penuh dengan 1 tema: Hari Guru.
Secara saya pernah jadi guru dan kebanyakan teman-teman saya masih guru, kemudian hampir semua orang yang ada di Friend list saya pernah punya guru, ucapan Selamat Hari Guru dan kata-kata mutiara mengenai mulianya seorang guru bertaburan tak berhenti di linimasa akun Facebook saya.
Komen-komen di Facebook hampir beragam. 99% mengelu-elukan profesi guru dan 99% berusaha memberi nama dan wajah pada sosok guru yang mereka elukan. 1% komen menanyakan kapan saya balik menjadi guru lagi… 🙂
Continue reading
Bagaimana Seorang Guru Ingin Diingat?
Dua tahun lalu, di akhir bulan September, saya mendapatkan kabar sedih. Wali kelas Hikari di Kelas 1 meninggal dunia. Ibu Siti, nama wali kelas Hikari itu, masih sangat muda. Kesehatannya memang tidak terlalu baik tetapi tetap saja kabar itu mengejutkan kami, orang tua dari murid-murid yang pernah diajarnya.
Ibu Siti mengajar Hikari dan 8 murid lainnya di kelas 1 itu. Kelas itu kelas 1 yang cukup menantang bila dibandingkan dengan kelas 1 lain yang menjadi paralelnya. Memang hanya ada 9 anak di kelas itu tapi semuanya mempunyai keunikan masing-masing. Saat 9 pasang orang tua dari 9 muridnya bertemu di rapat PTA pertama kali, kami memberi Ibu Siti daftar panjang tentang betapa uniknya anak-anak kami. Ibu Siti tersenyum menenangkan dan berjanji pada kami bila diijinkan Tuhan dia akan melakukan yang terbaik untuk anak-anak kami.
How do you end a year?
How do you end a year? I mean really end it and feel like you have put it behind you?
Do you go out and party?
Do you stay home and pray?
Or you just don’t care because it always feels the same? The sun still shines tomorrow. Or the past still haunts you tomorrow.
I cannot, or haven’t been able to really say goodbye last year and welcome new year. What is it to good-bye and to welcome? Life will be like it is. On some months it will be improving, on some days it will be devastating. What’s new?
Resolutions? Being better? Sure. But do you need a new year to really say ‘I’ll be a better person next year, but since next year is still a week away I’ll take my time being whatever!’
Resolutions are thought because you just experience something terrible. It’s like an enlightenment. You did or experienced something bad, you had enough, and then you promised yourself you’d be a better person. New year is just not it. Not with all the trumpets and fireworks, of course.
So, friends, bitter as my post might feel, let me console you. If you cannot find one, two, a hundred New Year’s resolutions, don’t feel bad. It only shows you are human, you are normal, you are not fake, you are you. But, if you cannot find even one thing, ONE THING(!), to improve in your life every time you get up from your bed every morning… then you need to consider how to revolutionize your life!
Happy New You!
Bungkusnya, bukan isinya
Si Mami dan saya bukan lah pasangan standar ibu-anak perempuan yang biasa ditemukan di dunia. We are not best friends, although we are not enemies either. Saya dan si Mami bukan jenis pasangan ibu-anak perempuan yang biasa saling curhat. Saya bukan jenis anak perempuan yang ngintilin si Mami, atau nangis bombay ke Mami karena patah hati, atau manis manja ke si Mami saat sedang minta perhatian, atau merengek ke si Mami saat sakit, atau belanja baju berdua lalu saling memilihkan baju masing-masing, bahkan bukan juga jenis anak perempuan yang apabila diwawancara reporter akan bilang, “Oh, Ibu saya adalah pahlawan saya. Dia idola saya. Saya gak bisa tidur tanpa Ibu saya.”
Wangsit dari Toilet
Sudah tiga jam saya muter-muter mencari ide. Buku-buku bertebaran di atas kasur, beberapa keping audio cd sudah bolak-balik pasang, kamus sudah penuh berisi tempelan kertas warna-warni, pensil dan penghapus juga sudah semakin tipis, tapi ide di kepala masih belum muncul juga. Padahal saya sudah menyisakan sedikit ruang di kepala saya dengan cara menghapus file-file berisi -misalnya- cara memperbaiki rantai kalung yang putus, cara menegur staf dengan lebih halus, cara marah kepada bos dengan lebih sopan, cara menyimpan gosip panas sehingga bisa saya gunakan di masa depan, dsb. Ruang kosong di kepala saya itu memang saya maksudkan untuk hal-hal yang lebih penting.
The Science of Unhappiness
We -my friends and I- were sitting there, at the back of the room, behind hundred of conference participants, listening to an ELT figure talking about being a teacher while being happy. We -my friends and I- are teachers with additional work, and so we were supposed to be happy too.
The presentation was the last session of the day, and the day was the last day of the event. That means we -my friends and I- were at the end of a couple of months, and weeks, and hours of mental deprivation. Please reread and underline if necessary the words: a couple of months, and weeks, and hours.
Then, it was only normal that when we finally finished the day, we decided to go out in the middle of the night to take a walk. We thought taking a walk could release us from stress and as a result we were cured from our mental deprivation. Of course, we thought wrong. And by the end of the walk, we realized that we had been unhappy too long to be cured by a one-hour motivational speech.
So, instead of feeling sorry for our unhappy state, we came up with the Science of Unhappiness. We might not be happy people but at least we have a brain like a rocket scientist’s.
The Science of Unhappiness
by the six of us
- Unhappy people are pessimistic. And it is good to be pessimistic because it means we don’t exaggerate things. It keeps people in perspectives.
- Unhappy people are sharp. They never overlook small mistakes.
- Unhappy people are motivated people because they are driven by anger, hatred, revenge, and bad experiences.
- Unhappy people always find ways for improvement because they are not easily forgiving.
- Unhappy people are sensitive to comments, opinions, inputs, suggestions, etc. Being sensitive makes unhappy people perfectionists. And the best people at work are the perfectionists.
- ……………. (fill in the blank with your sentences)