Anak Magang

Saya kira 8 dari 10 anak magang sebenarnya menderita menjadi anak magang. Kalau bukan karena syarat kelulusan, mereka pasti mikir 100x untuk menyerahkan diri menjadi anak magang di perusahaan yang isinya orang-orang dewasa dengan hobi ngatur. Deskjob-nya anak magang biasanya nggak beda jauh dengan office boy dan tukang fotokopi. Saya pernah jadi anak magang, tapi saya beruntung. Soalnya saya magang di kantor si Mami dan nggak ada orang di dunia ini yang berani sama Mami saya hehehe….

Di kantor saya ini sering sekali menjadi tempat mahasiswa magang. Entah karena business nature kami yang lagi ngetren yaitu media, atau karena kami mudah memberikan akses untuk magang, atau karena para karyawan di tempat saya keren dan pintar. Mungkin yang terakhir. Selama dua bulan ini, kami punya anak magang laki-laki yang berasal dari salah satu universitas ngetop di Bogor.  Sejak awal, kami sudah diberi tahu oleh bagian SDM tentang kedatangan anak magang ini. Manajer SDM di tempat saya secara khusus memberi tahu saya bahwa si anak magang akan ditempatkan di tempat saya, bagian redaksi. Pertanyaan saya waktu itu hanya satu dan spesifik: laki atau perempuan?

Manajer SDM: Mbak, hari Senin anak magangnya mulai masuk ya. Nanti dibimbing di tempat Mbak ya.
Saya: Laki atau perempuan, Pak?
Manajer: Ha? Laki sih, Bu. Kenapa?
Saya: Soalnya kalau perempuan saya nggak mau.
*di latar belakang ada teman-teman saya yang ketawa ngakak*
Manajer: Kenapa?
Saya: Redaksi saya isinya perempuan melulu. Bosen saya liatnya.
*adegan teriakan berikutnya kita lewati saja ya*

Akhirnya, hari Senin itu pun tiba. Si anak magang sudah datang jauuuuuuh lebih pagi dari semua staf, kecuali office boy kantor. Dia juga sudah dikasih tempat duduk di pojokan ruang redaksi yang berbentuk segi empat.
Saya datang paling siang.

Begitu datang, teman saya langsung laporan.
“De, ini si anak magang.”
“Pagi, Bu, saya…”
“Pagi? Kamu yakin ini masih pagi?”
“Eh, siang, Bu…”
“Ibu? Enak aja saya dipanggil ibu. Emangnya saya ibu-ibu?”
“Eh… maksud saya… Mbak?”
“Nama kamu siapa?”
“Kiki, Bu. Eh, Mbak.”
“Ya sudah, Kiki. Kamu push up dulu!”
“Mbak Deee………..” jerit si Manajer SDM. “Kok disuruh push up sih?”
“Loh, dia magang jadi apa?”
“Redaksi! Bukan satpam!”
“Oh, iya…”
Sampai disini satu kantor sudah sakit perut ngakak-ngakak.
“Jadi, kamu magang di redaksi?”
“Iyyaa… Mbak.”
“Mau ngerjain apa kamu di redaksi? Saya aja nggak punya kerjaan!”
“Maksud lo?!” Nah, itu teriakan Redpel saya 🙂

Hari pertama dan hari-hari berikutnya bisa dilewati Kiki dengan selamat, walaupun dia masih sering keselek setiap kali harus nyebut Ibu atau Mbak. Untung ada Pemred majalah tetangga yang baik hati dan sering menghibur dia.

Saya juga mengajak si anak magang ini untuk rapat redaksi. Setiap kali saya mengumumkan ada rapat redaksi, wajah si Kiki pasti pucat pasi. Ini yang biasa terjadi di meeting:
“Ki, kamu nyatet ya.”
“Terus diketik ya.”
“Terus dikasih ke kami-kami notulennya.”
“Kok kamu nggak bawa kue buat rapat, Ki?”
“Kamu ngomong dong. Kasih ide. Jangan diem aja.”
“Eeeeh, diem-diem. Si Kiki mau ngomong tuh.”
“Ki, ngasih ide yang cakep loh!”
Padahal saya belum sekalipun buka mulut buat gangguin dia. Itu baru teman-teman saya yang ngomong!

Tapi akhirnya si Kiki ini bisa juga mengikuti ‘irama’ kerja saya dan teman-teman. Dia sudah jarang sakit jantung setiap kali ada yang iseng. Paling-paling dia senyum-senyum nggak jelas gitu walaupun dijadikan bahan ledekan teman-teman saya yang rata-rata sakit jiwa. Sampai suatu hari, dia kelihatan sedang bengong di pojoknya.
“Ki, kamu lagi ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain, Bu, eh, Mbak.”
“Mau saya suruh-suruh biar nggak bengong?”
“Mau deh. Saya disuruh liputan aja, Mbak.”
“Liputan ya?”
“Iya.”
“Kalau gitu kamu saya tugasi melipuuuuuuuut Cherry Belleeeee!”
“APA? Cherry Belle? AAAAhhhh NGGAAAAAK MAAAAUUUUUUUUU!” jerit si Kiki yang bikin kami semua terjengkang-jengkang dari kursi.
Rupanya si Kiki alergi berat dengan penampilan para Chibi-chibi 🙂 Dia lebih memilih untuk pergi meliput sebuah sekolah akting di daerah yang terkenal penuh preman daripada pergi ke tempat Cherry Belle manggung 🙂

Hari Jumat kemarin adalah hari terakhir si Kiki magang di tempat kami. Dari hari-hari sebelumnya teman-teman saya sudah mewanti-wanti dia untuk bawa masakan ibunya -yang katanya enak- ke kantor supaya dia dikasih nilai bagus sama saya.
“De, besok Kiki mau bawa masakan ibunya buat perpisahan.”
“Perpisahan buat kamu, Ki. Buat saya syukuran.”
“Nilai buat dia nanti tergantung bawaannya dia, De.”
“Maksudnya?”
“Kalau bawaannya enak, nilai buat dia dikasih bagus.”
“Emang yang ngasih nilai dia siapa?”
“Ya, elu. Makanya gue kasih tau dari sekarang peryaratan nilainya.”
Kan! Kurang ajar teman-teman saya itu!

Ketika akhirnya hari Jumat itu datang, Kiki memang bawa makanan enak. Tapi bukan buatan ibunya. Kiki beli JCo.
“Mbak, makanan yang saya bawa kan lebih enak dari makanan Ibu saya. Jadi nilainya bagus kan ya?”
“Enak aja. Kalau begitu ujiannya nambah.”
“Ha? Apaan, Mbak?”
“Sekarang kamu harus pilih. Dari sekian jenis donat ini, donat rasa apa yang paling saya suka?”
Pak Manajer SDM saking nggak kuat hatinya langsung memilih untuk kabur keluar kantor. Sementara teman-teman saya yang lain merubung di sekeliling meja redaksi untuk menyemangati Kiki untuk memilih donat.
“Jangan lupa baca doa Al Fatihah dan Al-Al yang lain, Ki.”
“Ki, menurut hadist, kalau sudah berikhtiar dan berdoa, hasilnya di tangan Tuhan…”
“Kamu harus inget-inget lagi, si De itu suka makan apa aja selama dua bulan elu di sini.”
“Dia sih suka makan orang…”
“WOY!”
Kiki pun dengan meringis-ringis mempersembahkan donat rasa kopi buat saya. Pilihan si Kiki disambut dengan teriakan huuuuuu panjang dari sepuluhan orang yang ada di situ.
“Kegampangan sih ujiannya!” Ada yang teriak kecewa.
Saya pun mengucapkan selamat pada Kiki.
“Selamat. Kamu bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini.”
“Terima kasih, Bu.”
“APA? Elu panggil gue IBU?!”
“Haduuuh, maaap… maksud saya, Mbak.”
“Kurangin nilainyaaaa…” kata teman-teman saya rame-rame.
“Mudah-mudahan kamu mengerti bahwa yang kami lakukan disini adalah untuk kekuatan mental kamu.”
“Ospek satpam kali.” Ada aja yang iseng komentar.
“Mudah-mudahan kamu bisa menyelesaikan skripsi dengan lancar.”
“Makasih, Mbak. Saya pasti bakal kangen sama kantor sini.”
“Jangan cuma ngomong doang. Tulis itu di skripsi kamu.”
“Siap, Mbak!”
“Kan! Elu emang lebih cocok jadi satpam…”

Jam 5 sore, Kiki pun berpamitan pada kami semua dengan wajah sembab. Dia menyelesaikan magangnya dengan selamat tanpa kurang satu organ tubuh pun.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *