Hidup itu Seperti Rute ke Kantor

Hidup itu seperti rute jalan yang saya ambil dari rumah untuk bisa sampai di tempat kerja, di Jakarta.

Tadi pagi saya bangun tidur dengan kaget gara-gara hape yang selalu saya taruh di bawah bantal -berfungsi sebagai alarm- bunyi kencang sekali. Suara nyaring Ken Hirai menyelepet saya sampai bangun. Rupanya si Papap menelpon dari Bandung.
“Mam, lagi di bis ya?”
Bis? Bis apa? Bi…s?
O MAI GAAAD SAYA KESIANGAN BANGUN!

Bukannya menjawab pertanyaan si Papap saya malah jejeritan di hape. Sudah pukul 6:30 pagi dan saya masih di tempat tidur.
Setelah telpon mati, saya tidak segera bangun. Mandi atau balik tidur lagi ya? 

Bukan. Ini bukan persoalan malas. Ini adalah logika berpikir logis. Jalur perjalanan dari rumah saya di perbatasan Bekasi-Bogor-Jakarta ke pusat Jakarta pada jam 5:30 sampai jam 9:00 adalah jalur neraka jahanam. Jam 6:30 saya baru bangun sementara jam 8 pagi sudah harus absen jari adalah suatu wishful thinking, kecuali saya punya Pintu Ajaibnya Doraemon. Bila saya paksakan berangkat jam 7 pun, baru 2.5-3 jam kemudian sampai di kantor. Lalu buat apa datang bila hanya untuk pulang 6 jam kemudian? Iya kan?

Tapi akhirnya saya tetap berangkat. Lupakan berangkat naik bis shuttle komplek perumahan saya tujuan Komdak dengan bonus bisa nambah jam tidur di atas bis. Bila saya pilih naik bis pada jam segitu, saya bisa sampai di kantor tepat waktu…keesokan harinya. Akhirnya saya menyiapkan mental untuk menyetir sendiri ke kantor. Yup, I hate driving…to the very heart of Jakarta. Tapi menyetir sendiri membuat saya punya lebih banyak pilihan rute. So, Bismillah, then I left.

Rute saya awalnya adalah Cibubur-tol Jagorawi-Cawang-mikir lagi. Bisa keluar tol ke arah UKI atau nekat masuk ke tol dalam kota. Belum lagi sampai di ujung tol Jagorawi, rute terpaksa berganti. Warna merah gelap di aplikasi lalu lintas di hape saya membuat nyali saya ciut. Rute berganti ke tol Jagorawi-keluar TMII-masuk Halim-mikir lagi. Pada akhirnya rencana rute saya benar-benar hanya sampai persimpangan jalan untuk kemudian mikir lagi: ke kanan, kiri, lurus, balik pulang? Belok TMII, atau lurus UKI, atau ke kiri Pancoran, atau lurus Rawamangun, atau #pasrahajahdehya.

Singkat cerita rute yang akhirnya saya ambil adalah Cibubur-tol Jagorawi-keluar TMII-masuk Halim-keluar Kebon Nanas-lurus Bypass-belok Utan Kayu-teruuuuuuus sampai ke Proklamasi lalu Diponegoro lalu dua jam dan dua tahun kemudian saya sampai di Kuningan. Begitu saya menginjakkan kaki di kantor orang-orang langsung menghindar melihat muka saya. The power of Jakarta traffic!

Ribuan kali saya ditanya kenapa saya masih betah tinggal di perbatasan Jakarta dan tidak hijrah ke pusat kota. Ribuan kali juga saya menjawab ‘some people just don’t have that privilege.’ Siapa sih yang gak kepengin punya rumah di sebelah kantor? Atau punya kantor di sebelah rumah? Lalu biasanya kalimat berikut adalah saran bahwa saya sebaiknya memilih punya rumah jauuuuuuh lebih kecil di tengah kota daripada gila di jalan walau rumah lebih besar. Saya harap pilihannya bisa sesederhana itu. Well, life is never that simple. Because if it is, nobody would blog anymore.

Begitu pun hidup saya. Walau tidak serumit banyak orang yang saya kenal, hidup saya juga bukan jalan lurus bebas hambatan yang bisa langsung sampai ke depan pintu tujuan. Seandainya hidup saya seperti jalan lurus bebas hambatan, saya sekarang pasti sudah seperti apa yang saya cita-citakan saat SD: jadi orang kaya yang rumahnya di tepi pantai dan ada kolam renangnya dan setiap hari pergi naik pesawat ke luar negeri. Hidup saya persis seperti rute dari rumah ke kantor saat rush hours. Setiap kalinya harus di-reroute dan dikalibrasi ulang. Tapi, yang saya pelajari dari mengubah dan menyesuaikan rute perjalanan, saya jadi menemukan jalan-jalan kecil yang lebih lega, lebih sepi, lebih aman untuk dilewati. Dan yang pasti, saya jadi lebih handal dalam menyusun strategi.

Halah. Sok bijak beuuud! 😀

Leave a Reply