Rumus Matematika Sebuah Bangku Bis

Bus APTBBis APTB (bis penunjang daerah pinggiran dengan halte bis Transjakarta) jurusan Blok M-Cileungsi sore itu lumayan padat. Seperti biasa saya naik dari halte TJ Kuningan. Seperti biasa pula saya langsung bergeser ke ujung belakang sekadar mencari ruang sedikit lega sekalian memberi tempat bagi penumpang lain. Saya mendapatkan tempat berdiri di sebelah seorang perempuan yang kelihatannya lebih tua dari saya. Dia sudah lebih dulu naik entah dari mana. Paham bahwa penumpang bis berjarak jauh ini jarang ada yang turun cepat, saya girang juga begitu penumpang yang duduk di depan saya persis bersiap-siap turun beberapa kilometer setelah saya naik. Si Mbak pemilik bangku itu pun tersenyum pada saya seperti minta ruang untuk berdiri sekaligus mempersilahkan duduk. Saya balas tersenyum.
Begitu si Mbak meninggalkan bangkunya, sisi kanan saya tiba-tiba terasa disikut. Saya menoleh ke perempuan yang tadi berdiri di sebelah saya. Daaaaan dia melototin saya, sodara-sodara! Dia mendongak (karena dia pendek) dan melotot segede-gedenya matanya ke saya!

Saya buka masker yang sedari tadi menutupi mulut saya, mendekati wajah saya ke dia, menaikkan satu alis saya, “Ibu mau duduk? Duduk aja silahkan.”
Pelan-pelan dia duduk di bangku yang kosong. Wajahnya cemberut dan matanya melengos. Sepanjang jalan berpuluh kilometer ke Cibubur saya pastikan saya berdiri persis di depan dia sambil memastikan dia pantengin muka kece saya sepanjang jalan! Lo pikir enak ngeliatin muka gue mulu selama 2 jam?! 🙂

Saya baru sebulan setengah naik Bis TJ dan bis APTB jurusan Cileungsi-Blok M. Itu pun gak setiap hari. Bukan cuma sekali kejadian ngeselin konyolisme kayak gitu terjadi. Kejadian bangku kosong di depan saya persis diserobot orang pernaaaaaah. Atau tiba-tiba ada (biasanya) ibu-ibu menclokin pantat di antara dua bangku yang berpenghuni juga adaaaaaa. Atau ada (biasanya lagi) ibu-ibu yang nyolek dengan muka lempeng sambil bilang, “Dek, berdiri dong. Saya mau duduk!” juga adaaaaaa.

Sebenarnya sih saya jarang berharap bisa dapat tempat duduk di bis laris manis ini. Selama sehat, saya santai aja berdiri sekitar dua jam dari Kuningan ke Cibubur. Asal masih bisa berdiri dengan nyaman, saya bersyukur bisa sampai di depan komplek rumah saya tanpa ribet harus gonta ganti bis. Lagipula, awak bis ini punya empati tinggi. Begitu bis kosong sedikit, kondektur bis akan mempersilahkan penumpang berdiri untuk duduk lesehan di lantai bis loh!
Selain itu ngerebutin bangku bis kok ya rasanyaaaaa yaaaaa gimanaaaa gitu. Rebutan patjar gitu masih oke lah. #eh

Tapi selama menumpang bis APTB ini saya memperhatikan satu orang perempuan yang saya juluki ‘Mbak Hoki Berkostum Hijau.’ Panjang ya, cyn :).

Saya kasih si Mbak julukan begitu karena hoki dia besar banget. Sama-sama naik dari halte yang sama, dia selalu dapat bangku! Selalu! Dan dia dapat bangku sungguh tanpa perjuangan! Di mana pun dia berdiri, orang di depannya selalu turun duluan (eh itu hoki apa serem ya?). Atau kalaupun tidak ada penumpang di depannya yang turun, pasti ada orang yang kasih jatah bangkunya ke si mbak HBH! Pasti! Satu-satunya penumpang di bis APTB yang bisa bikin saya dongkol ya si Mbak Hoki itu!

Sewaktu saya cerita soal Mbak Hoki itu ke teman saya, dia komentar, “kali aja amalan dia banyak. Makanya dimudahin.”
“Trus kalo kasus gue?!” Panas juga dibilang amalan saya lebih sedikit!
“Kalo elo sih gak pernah dapat bangku ya antara terlalu baik atau terlalu bego.”

Rese.

Leave a Reply