Mungkin. Mungkin juga tidak.

Kemarin malam tanpa direncanakan saya menonton film Grey’s Anatomy. Di episode Valentine itu dr. Meredith Gray dan the great dr. Bailey harus mengoperasi seorang perempuan muda berusia 32 tahun yang baik hati dan baru menikah dengan lelaki super baik. Karena penyakitnya, pasien tersebut harus diangkat ovariumnya. Itu artinya membuat seorang perempuan menjadi mandul. Jadi lah para dokter ini menghadapi dilema. Perempuan baik ini akan menjadi mandul atau mati. Dr. Meredith Grey tidak sampai hati melakukan operasi yang akan menghapus impian indah sepasang pengantin baru akan keluarga bahagia bersama anak mereka. Komentar dr. Bailey lah yang nancep di saya.

It’s always the 32, the kind-hearted, the good one, somebody’s better half, who has to suffer. Brave yourself.

Pernah dengar ekspresi sejenis di masyarakat kita? Orang baik selalu berumur pendek. The good ones die young.

Tadi sore saya baru mengalami kecelakaan. Cerita lengkapnya bisa baca di sana. Kecelakaan lalu lintas biasanya terjadi pada pengemudi-pengemudi ugal-ugalan. Tapi saya bukan pengemudi ugal-ugalan. Saya bisa dengan lantang bilang saya pengemudi patuh peraturan. Saya menyalakan lampu sen setiap kali akan berbelok bahkan di tempat yang sepi dan tidak ada orang/kendaraan lain. Saya berhenti di lampu merah bahkan di tengah malam saat mobil-mobil sepi dan saya bisa dengan santai menerobos lampu lintas. Saya selalu memakai seatbelt dan menggunakan earphone saat mengemudi. Saya tidak pernah melintas di jalur Transjakarta bahkan saat jalur sepi itu terlihat menggoda. Setiap kali pulang kantor melewati jalan tol sejauh 20an km, saya memilih mengemudi di jalur lambat paling kiri dengan kecepatan 80-100 km/jam karena kondisi badan yang tidak lagi fit untuk tarik-tarikan di jalur kanan. Tetap saja setiap kali saya diberi lampu besar oleh pengemudi tidak sabaran yang memilih jalur lambat untuk ngebut dan pindah-pindah jalur. Saya pengemudi taat aturan. Apa saya tidak pernah ngebut? Pernah. Sering. Tapi saya ngebut di jalur saya sendiri dengan kecepatan yang sama dengan orang lain. Saya bukan jenis pengendara yang doyan ambil resiko tak perlu pindah-pindah jalur demi semenit dua menit waktu sampai. Lalu kenapa saya bisa mengalami kecelakaan lalu lintas yang bukan cuma satu, dua, atau tiga kali?!

Suatu kali saya berhenti perlahan di sebuah zebra cross karena ada orang-orang yang akan menyeberang. Tiba-tiba dari arah belakang mobil saya disundul motor yang berusaha menyalip mobil lain dengan kecepatan tinggi. Motor itu kabur.
Atau kali lain saya sedang berhenti tenang-tenang menunggu lampu hijau. Tiba-tiba brak! spion mobil saya ditabrak motor yang ingin menerobos lampu merah.
Atau saat saya mengantri keluar gerbang tol yang padat. Baik-baik saya mengantri dari ujung. Tiba-tiba mobil di belakang saya menyundul bemper saya hanya karena dia tidak mau gilirannya disalip truk.
Dan terakhir tadi sore. Karena saya membawa Hikari di dalam mobil dan jalanan sore tadi seperti biasa macet padat, saya memilih jalan perlahan di sisi kiri dengan kecepatan 60 km/h. Di depan saya mobil-mobil berjalan lambat karena jalur kiri sore tadi menjadi milik truk-truk pengangkut barang. Baik-baik saya berjalan pelan mengikuti antrian di depan tiba-tiba mobil saya diseruduk bis Angkatan Darat yang mencoba berpindah-pindah jalur bahkan di jalanan yang padat!

Why me?
So much for trying to be a good driver.
Lalu pertanyaan Why Me saya pun melebar: so much for being a good person, so much for doing something good, so much for doing the right thing.

Seperti dr. Bailey bilang, “it always happens to a good one.”

Lalu apakah itu artinya kita sebaiknya tidak perlu muluk-muluk bermimpi jadi orang baik?

It could have been worse, itu menurut saya. Mungkin -mungkin- bila saya tidak menaati aturan atau jadi salah satu pembalap di jalan raya, kecelakaan yang saya alami akan lebih parah? Mungkin, bila saya memutuskan untuk tancap gas dan bukannya berhenti sabar di lampu merah, saya yang justru akan menabrak orang lain? Mungkin, bila saya tergoda mengambil jalur Transjakarta yang kosong yang akan saya terima bukan hanya sempritan Polisi tapi juga hak orang lain yang harusnya melewati jalur itu seperti para penumpang bis atau bahkan ambulan? Mungkin, mungkin, mungkin.

Yang tidak mungkin adalah saya berpikir berusaha menjadi orang taat aturan hanya akan membuat saya jadi korban. Lagipula, umur kan di tangan Tuhan. Eh?

Leave a Reply