Saat Makan Siang

Sejak pertama kali saya ngantor dari jaman dulu banget, saya punya satu kebiasaan yang terpelihara sampai sekarang. Kebiasaan itu adalah makan siang di luar gedung kantor. Setiap kali jam makan siang tiba saya selalu memilih untuk keluar kantor walau cuma ke warteg yang lokasinya persis di depan pagar kantor. Alasan saya sederhana: bosan dikungkung tembok masif plus ac dingin seharian. Saya juga bergeming *nguap* dengan argumen teman-teman soal betapa panasnya, capeknya, malasnya, berkeringatnya, pergi makan siang di luar kantor. Eik kan cewek jagowan. Masa’ cemen sama panas?

Kebiasaan saya ini membawa saya pada kebiasaan baru: mengajak orang untuk makan siang berjamaah di luar kantor. Soalnya walaupun saya memilih makan di luar kantor, saya kan pemalu. Malu aja gitu kalau harus makan sendirian di kantin, warteg, resto, tukang nasgor amigos (agak minggir got sedikit). Malu kalau ada yang deketin terus ngajak kenalan… Balik ke soal mengajak orang makan di luar kantor berjamaah, saya akhirnya sering bergerilya nanyain ke teman-teman, “SAPA YANG MAO MAKAN SIAAAAAAAANG DI KANTEEEEEN? Hadiahnya makan siang bareng gue!”
Lebih sering daripada jarang saya berhasil mendapatkan teman makan. Bahkan beberapa orang yang dulunya paling malas makan keluar kantor dan lebih memilih pesan untuk makan di ruangan sudah berhasil saya geret dengan ikhlas ke kantin atau warteg. Malah beberapa dari mereka justru nyari-nyari saya duluan untuk diajak makan siang. Hebat kan saya? *kedip-kedip*

Dari makan siang berjamaah itu saya mendapatkan banyak hidayah huehehehe… Yang namanya makan siang berjamaah, kadang saya sebagai organizer juga enggak tahu siapa yang mau diajak hari itu. Jadi seringkali sesi makan siang saya itu dihadiri oleh orang-orang dari beberapa kelompok aliran kepercayaan yang berbeda yang seringkali di dalam kantor sana malah enggak kompak. Ada yang percaya kerja itu tergantung besaran gaji, ada yang percaya kerja itu tergantung passion, ada yang percaya kerja itu pengisi waktu luang, macam-macam aliran kepercayaan lah. Yaaa… harus terima jadi. Namanya juga diajak gue! Kalau situ yang ngajak, situ boleh milih sama siapa situ mau makan. Sesederhana itu.
Tapi dari seringnya orang-orang berbeda aliran kepercayaan itu makan siang bareng lama-kelamaan ada semacam understanding. Witing trisno jalaran soko kulino. Yang artinya?! Huehehehehe… artinya dalam konteks ini kira-kira semakin sering bertemu dan berbincang semakin cair ketegangan maka semakin mudah pertukaran pendapat berbeda diutarakan dalam suasana damai dan kondusif. Bahasa gue, bo!

Lalu, apakah jamaah makan siang saya itu jumlahnya semakin hari selalu bertambah?
Ya, enggak juga. Kadang ramai, kadang sepi. Kadang 1-2 departemen bisa turun semua, kadang saya makan siang cuma berdua. Ada yang jadi peserta setia, ada yang jadi penggembira saja. Ada yang cocok sampai terus-terusan minta diajak makan siang, ada yang kapok lalu diam-diam melipir. Saya sih orangnya asik-asik ajaaaa…

Kemarin persis saya dan seorang peserta setia makan siang sedang duduk manis menyeruput soto ayam ketupat di kantin. Biasanya obrolan saya dengan teman ini ngalor ngidul. Dari soal penting urusan negara seperti siapa buronan KPK yang tertangkap kemarin sampai soal sepele macam gantungan kunci toilet yang dari Belanda itu dipecahin sama si X. Baru beberapa menit saya menyeruput kuah soto, ada sosok gempal berkemeja hijau muncul dengan menu makan siangnya di meja sebelah sambil senyum-senyum manis. Ooooh, rupanya penghuni baru departemen sebelah.
“Makan yuk,” sapanya basa-basi.
“Sini duduk sini aja. Bareng,” panggil saya.
Dia senyum agak malu gitu.
“Udah gak usah malu-malu gitu deh. Mendingan duduk sendirian atau bareng gue hayo?”
Akhirnya dia pun menggeser pantatnya ke meja kami. Persoalan baru muncul. Ngobrolin apa ya sama dia? Maka pertanyaan standar pun keluar.
“Gimana rasanya ngantor di sini?”
“Oke.” Jawaban standar. Catet.
“Jauh dong dari rumah?” Padahal saya enggak tahuuuu rumahnya di mana.
“Iya lumayan jauuuuh deh.”
Selamat. Atas pertanyaan soal jarak rumah itu obrolan kami berlanjut sampai 15 menit kemudian. Menit ke-16 obrolan beralih ke jualan sate.
“Gue pengin beli ruko deh. Mau jual sate. Sate kampung aja,” kata saya enggak jelas gitu.
“Emang suka banget sate ya?” tanya dia.
“Sapa sih yang enggak suka sate?” timpal teman saya.
Lalu 15 menit selanjutnya kami membahas daging binatang apa yang enak di sate.
“Kalau enggak melanggar hukum sih, gue pengin juga nyate orang. Enak kali ye…”
“De!”
Maap.

Obrolan siang itu lompat-lompat dari lokasi rumah, isi kepalanya supir metromini, daging binatang apa yang enak disate, sampai susunan daftar kecelakaan yang pernah dialami kami bertiga. Setelah satu jam duduk manis di kantin, si peserta makan siang baru ini pun pamit duluan.
“Gue duluan ya. Enggak enak lama-lama.”
“Tenang aja. Teman-teman lo dulu juga suka lama-lama kok kalo makan siang?” kata teman saya nyamber.
“Oh ya? Mereka suka makan siang di luar juga?” Kata dia dengan nada perih karena -mungkin- enggak pernah diajak makan siang bareng 🙂
Saya mengunci mulut rapat-rapat. Teman saya terkikik-kikik.
“Jadi, biasanya kalau makan siang janjian dulu atau gimana?” tanya dia.
Saya makin mengunci mulut rapat-rapat. Dia melirik ke saya dan teman saya bolak-balik dengan wajah penasaran.
“Biasanya sih janjian pake whatsapp. Dulu ada yang bikin grup disitu. Tapi elu jangan kuatir. Grupnya udah engak eksis kok. Baru kemarin tuh pada cabut dari grup itu.”
Alis mata saya naik satu. Mata saya melotot plisdeh ke teman saya yang duduk di seberang.
“Ha? Kenapa pada cabut dari grup?”
“Yah itu lah dinamika hidup,” kata teman saya lagi.
“HAH?” Dia malah makin bingung terlihat dari cengar-cengirnya yang enggak jelas gitu.
“Kagak usah pusing,” potong saya. “Kalau besok mau makan siang bareng, samperin aja gue di ruangan. Atau kesini aja. Kali aja gue lagi makan di sini. Oke oke oke?”
Dia pun mengangguk lalu pergi.

Lah ya ngapain juga pusing? It’s just a 1-hour lunch in the middle of 8-hour job. People come and go. Better take care those who stay. Iya toh?

Leave a Reply