Barangkali sudah bawaan oroknya masyarakat kita untuk selalu ingin terlibat di hidup orang lain. Sebut saja itu adalah wujud dari perhatian luar biasa kepada kita, atau wujud kasih sayang kepada kita, atau sekadar menunjukkan tingkat selebritas kita. Kalau anda mengikuti cerita-cerita di blog saya sebelumnya, anda pasti ingat bahwa selama hampir 9 tahun ini perhatian yang tertuju kepada saya adalah dalam bentuk pertanyaan, “Kapan punya anak lagi?”
Setelah hampir 9 tahun punya anak cuma semata wayang, dengan kesadaran penuh kami akhirnya memutuskan untuk punya anak lagi. 9 tahun sebelumnya, dengan kesadaran penuh juga, kami memang memutuskan 1 anak saja cukup. Tapi ternyata keputusan untuk punya anak SATU saja dianggap keputusan gila oleh kebanyakan orang di masyarakat kita. Dari mulai dicurigai punya penyakit sampai dicurigai kualat sama Tuhan. Saya sudah kenyang debat kusir dengan orang lain soal anak cuma satu, kenyang diceramahi si Mami, kenyang disuruh berobat para tante, om, bude, pakde, dan seterusnya, kenyang disindir-sindir, kenyang ditanya terang-terangan apakah saya egois atau sekadar gila, kenyang… Satu kali saya bahkan diseret ke depan seorang ustadzah oleh si Mami yang mengadukan saya ke beliau karena berkeras kepala hanya mempunyai satu anak. Si ustadzah lalu menasihati saya panjang lebar perlunya beranak pinak dan berbanyak-banyak di muka bumi. Nobody cares to mind that may be it is none of their business.
Beberapa bulan lalu, begitu berita bahwa saya hamil (lagi) tersebar kemana-mana, dunia di sekitar saya heboh luar biasa. Ada yang terang-terangan mengusap wajah dan mengucap syukur seperti si Mami.
Ada yang tanya: Berobat dimana?
Atau komentar: Udah insyap lo sekarang?
Atau: Akhirnyaaaaaaaa, nyerah juga lo ya?
Atau: Oh? Dia lagi hamil? Dulu kan dia sempat gak mau punya anak lagi!
Atau: Wah, akhirnya ya. Setelah elo marah melulu kalo ditanya kapan punya anak lagi.
Dan bla, dan bla, dan bla…
Setelah saya hamil, perhatian orang-orang belum reda juga. Sekarang, isu terbaru adalah jenis kelamin si jabang bayi!
Usia kehamilan 4 bulan, pertanyaan soal jenis kelamin dimulai.
“Udah USG?”
“Laki atau perempuan?”
“Perutnya kayaknya lebar, perempuan pasti!”
“Tampang lo kusut melulu, laki-laki pasti anaknya!”
“Doyan buah ya? Perempuan deh anaknya!”
“Wuiih, sekarang dandannya feminin loh. Pasti anakmu perempuan.”
“Duuuh, wajah dikau putih. Anaknya perempuan deh!”
Semakin besar perut saya, semakin ramai bursa peramalan jenis kelamin bayi saya. Dari soal bentuk perut saya, makanan yang saya makan, tampang saya sehari-hari, baju yang saya pakai, sampai warna leher saya, dijadikan taruhan jenis kelamin si bayi, sampai mereka lupa kalau pada kehamilan ini saya berjuang untuk tetap waras walaupun badan sudah serontok-rontoknya.
Awalnya saya masih mampu tersenyum dan menjawab sopan soal jenis kelamin ini.
“Laki atau perempuan, De? Sudah USG?”
“Sudah. Belum tau jenisnya.”
Setelah orang-orang berikutnya tidak lagi bertanya soal (sekadar) laki atau perempuan, melainkan sudah menjurus, senyum saya hilang.
“Laki atau perempuan? Saya doain perempuan deh.”
“Kenapa?” tanya saya.
“Biar sepasang dong!”
Atau…
“Laki atau perempuan? Maunya perempuan dong. Kan sudah punya laki-laki!”
Atau…
“Laki atau perempuan sama aja. Tapi kalau laki lagi, ya harus usaha dapat perempuan dong!”
Atau…
“Jangan makan daging-dagingan.”
“Kenapa?”
“Ya nanti anaknya laki.”
“Terus kenapa kalau laki-laki?”
“Ya jangan lah! Biar sepasang, yang kedua mudah-mudahan perempuan!”
Loh kok dia yang repot?
Atau…
“Laki atau perempuan sama aja. Dikau berdoa aja yang rajin supaya dapat yang dimau.”
“Aku gak milih kok.”
“Masa’ gak milih?! Orang tua pasti ada kepengenannya lah.”
Haiyaah!
Komentar soal jender yang paling parah itu adalah waktu si Mami mengadakan pengajian untuk kehamilan saya ini. Waktu pengajian itu, Pak Ustadz memilih hanya membaca surat Yusuf, surat yang lazimnya dibaca bila si ortu ingin anaknya laki-laki. Sebelum pengajian dimulai, Pak Ustadz memberitahu saya surat apa saja yang akan dibaca. Beliau memilih surat Yusuf dengan alasan semua surat baik dan tidak ada pembedaan mana surat untuk jender apa. Begitu Pak Ustadz selesai membaca surat Yusufnya tanpa diikuti dengan surat Maryam, para hadirin berkomentar sengit.”Surat Maryamnya kok gak dibaca, Ustadz? Kali aja ibunya pengen anak perempuan!”
Looh looooh loooh kok? Saya dibawa-bawa?!
Sekarang ini, setelah mendengarkan 101 orang bertanya, “Mau anak perempuan atau laki?”
Saya sudah punya jawaban mantap. Jawaban saya adalah, “Atur aja deh.”