Dulu sekali saat muncul berita Dewi Persik menampar seorang laki-laki karena melecehkan dirinya di muka umum, satu forum yang saya ikuti ramai. Maksud saya ramai adalah sebagian besar peserta forum ramai-ramai menghujat Dewi Persik. Bukan karena tamparannya tapi karena pakaian yang dikenakan. Para pemberi komentar sepakat, Dewi Persik patut mendapatkan pelecehan tersebut karena dia selalu berpakaian berani.
Setelah beberapa saat membaca komentar orang-orang, saya mulai gerah. Lalu saya menulis, kira-kira:
Pelecehan -apapun alasannya- tidak boleh dimaklumi! Perihal Dewi Persik mau pakai baju minim atau malah tidak pakai baju sama sekali bukan alasan seseorang untuk merasa berhak melecehkannya. Itu sama saja dengan berkata seorang perempuan patut diperkosa bila dia berpakaian minim atau berperilaku mengundang.
Anda tahu apa yang saya dapatkan setelah menulis itu? Saya dihujat!
Menurut sebagian besar peserta forum, tindakan Dewi Persik mengundang. Jadi ada aksi ada reaksi. Pakaian minim, ya pantas kalau laki-laki jadi tergoda untuk menggoda. Saya tidak sependapat. Saya lihat perempuan memakai rok-rok pendek sepaha di Jepang, tapi tingkat pemerkosaan disana jauh lebih rendah dibanding disini. Bagi saya aksi boleh ada, reaksi belum tentu perlu diperlihatkan. Orang lain boleh ngajak berantem, kan kita tidak perlu harus melayani dia berantem? Setiap individu punya pilihan untuk bereaksi atau tidak.
Pendek cerita, saya kalah suara di forum itu. Tidak masalah. Disitu saya belajar bahwa banyak orang kita yang masih melemparkan tanggung jawab karena telah bereaksi kepada orang lain. Saat satu jari menunjuk ke orang lain, kita lupa ada empat jari yang menunjuk ke diri kita. Eh, tapi kenapa sih saya tiba-tiba ngomongin Dewi Persik?
Beberapa hari yang lalu saya dapat sms dari salah satu ibu dari temannya Hikari di sekolah. Anak ini termasuk salah satu teman baik Hikari. Si Boy -sebut saja- anak yang paling sering dijauhi teman-temannya. Dia termasuk anak yang lumayan pintar, tapi dia anak yang paling cengeng di kelas. Teman-teman Hikari memanggilnya Boy Bayi.
Saya pikir ibu si Boy dalam hati menyadari kemanjaan anaknya. Di usianya yang 8 tahun, si Boy masih sering merengek-ngamuk bila kemauannya tidak dituruti, masih sering menguntit teman-temannya kemana saja, masih sering mengabaikan tanggung jawab personal dan komunitas, atau masih sering menangis iri bila dia tidak diikutkan dalam satu kegiatan dimana teman-temannya ikut. Tapi, alih-alih memperbaiki cara dia mendidik Boy atau memperbaiki tingkah laku Boy, si ibu memilih untuk meminta lingkungan Boy memaklumi anaknya. Pada saya, dia minta Hikari untuk selalu main dan menjaga Boy (Bo, anak lu lebih gede dari anak gue!). Dia juga minta saya untuk mengajari Boy tanggung jawab (“Bereskan mainan setelah selesai main atau tidak boleh main disini lagi!” Lah, emaknya siapa?!). Dari kelas 1 sampai kelas 3, dia minta guru-guru si Boy untuk menegur anak-anak yang menolak main dengan Boy atau yang mengatai Boy dengan Boy Bayi, si Cengeng, atau lainnya.
Belakangan ini, keengganan teman-teman Boy untuk main bersamanya semakin jelas terlihat. Dan julukan-julukan pun makin sering dilemparkan. Sebagai latar belakang saja, anak-anak di sekolah Hikari tidak punya banyak kosakata hinaan. Mereka tidak tahu kalau nama binatang bisa dijadikan nama panggilan kesayangan. Walau begitu, dengan keterbatasan kosakata hinaan, mereka mampu membuat si Boy menangis tiap pulang sekolah dan si ibu mengancam untuk pindah sekolah.
Si ibu lalu sms saya. Intinya dia minta saya bilang ke Hikari untuk menegur teman-temannya bila mereka mulai mengejek si Boy. Dia minta Hikari untuk menjaga Boy dari ulah bullying teman-temannya.
What?!
Sore itu begitu saya sampai di rumah saya langsung mengajak Hikari bicara. Apa yang terjadi di sekolah? Siapa yang mengganggu si Boy? Kenapa dia diganggu? Apa yang dilakukan kepada si Boy? Dan seterusnya dan seterusnya…
Kata Hikari: “Si A panggil Boy si Bayi soalnya waktu si Boy disuruh tunggu giliran main, dia nangis. Si B bilang si Boy begini. Si C bilang si Boy begitu…”
“Kamu ikut mengejek?”
“Enggak sih.” Hikari menunduk. “Tapi aku ikut tertawa.”
“Menurut Hikari ikut menertawakan Boy itu baik?”
Hikari menggeleng. “Tidak.”
Sedetik kemudian Hikari menatapkan matanya bulat-bulat pada saya. “Tapi Boy memang tidak menyenangkan sih. Dia nangis waktu disuruh tunggu giliran main, jadi si A marah. Terus dia malah mendorong C sewaktu C bilang itu giliran C. Jadi teman-teman bilang si Boy Bayi.”
Saya paham sekali logika Hikari. “Nak,” kata saya, “lain kali, kalau si Boy membuat kesal kalian lagi, bilang ke Boy: Kalau kamu tidak mau giliran, aku tidak mau main dengan kamu.”
“Kalau si Boy tetap tidak mau giliran?”
“Tinggal pergi.”
“Kenapa?”
“Si Boy sudah berlaku tidak baik. Kalau Hikari membalas dengan mengejek dia itu artinya Hikari menjadi tidak baik juga.”
Hikari terdiam. Dia mungkin tidak mengerti sepenuhnya apa maksud saya tapi saya sudah bertekad untuk membuat Hikari melihat bahwa setiap diri punya pilihan. Melihat aksi mungkin tidak bisa terhindarkan. Tapi bereaksi adalah satu pilihan untuk dilakukan atau justru tidak dilakukan.
Kepada si Ibu, saya menjawab, “Hikari sudah diberi tahu supaya tidak ikut mengejek Boy. Si Boy sudah diberi tahu supaya mengubah tingkah lakunya supaya kooperatif waktu bermain dengan yang lain?”
Sms saya tidak dibalas.