Kalau anda merasa kemampuan berhitung anda pas-pasan, tidak bisa berhitung cepat di atas angka seratus, terserang panick attack bila harus berhitung dengan diplototin orang banyak, maka saya sarankan anda menghindari naik angkot minibus warna coklat jurusan Cileungsi-UKI!
Entah apa yang salah dengan sel kelabu di kepala saya yang seharusnya bekerja untuk melakukan hitung-menghitung. Adik saya bilang bagian otak saya yang itu rusak karena sewaktu kecil saya sering jatuh. Dia lupa kalau saya sering jatuh mencelakai dengkul saya –ditandai dengan jahitan disana sini– dan bukannya mencelakai kepala saya. Si Papi bilang saya tidak bisa berhitung karena sering ketiduran di kelas sewaktu pelajaran matematika. Papi saya tidak tahu kalau seumur hidup guru matematika saya selalu punya karakter galak dan ganas. Si Papap bilang saya tidak bisa berhitung karena saya lebih bisa menulis. Si Papap lupa kalau satu sebab akibat itu harus berhubungan. Si Mami saya simply bilang saya tidak berhitung karena saya manja. Maunya dihitungin melulu. Untuk menghindari percakapan berkepanjangan, saya setuju saja sama si Mami. Toh hidup saya masih aman walaupun sel kelabu bagian berhitung itu agak-agak damaged.
Sewaktu saya balik ke Indonesia, pindah rumah, dan mulai mencoba naik angkot tertentu dari rumah ke kantor, saya baru merasakan betapa kemampuan berhitung itu penting untuk menjaga kelangsungan hidup sekaligus penting untuk… HARGA DIRI.
Sebagian besar atau bahkan hampir semua penduduk daerah Cileungsi, Cibubur dan sekitarnya mengenal betul angkot minibus nomor 56 berwarna coklat dengan jurusan Cileungsi ke UKI. Angkot itu lebih besar dari angkot biasa dan berkapasitas 21 orang di belakang, 2 orang di depan, plus 1 supir. Gak pernah ada lebih dari 1 supir. 21 orang di belakang itu duduk di:
- 9 duduk berdempetan di sisi kanan
- 2 duduk berpanasan di sisi kiri belakang kursi penumpang depan
- 5 duduk bertumpukan di sisi kiri
- 5 lagi duduk berpegangan erat pada apapun yang bisa dipegang di bangku kayu panjang yang ditaruh di tengah-tengah angkot. Walau pantat mungkin masih bisa nyangkut di bangku, kaki belum tentu. Bisa jadi kaki para 5 penumpang di bangku tengah nyangkut di kaki para penumpang yang lain.
Jadi, di total-total, penumpang angkot itu adalah 21+2+1 supir = (ambil kalkulator) 24 orang. Bila angkot itu tanpa AC, penumpang harus bayar Rp. 4000. Bila angkot itu punya AC sepoi-sepoi, penumpang harus bayar Rp. 4500. Bayangkan berapa kali berapa itu jumlah uang yang harus ditarik si supir setiap rit-nya!
Problem dimulai di acara tarik menarik ongkos ini. Entah bagaimana mulainya dan entah siapa yang punya ide cemerlang, angkot sebesar itu berjalan jauh belasan kilometer TANPA kenek. SOP yang dilaksanakan adalah saat angkot mulai masuk ke dalam tol, penumpang mengumpulkan uang kepada SATU penumpang lain yang harus berpikir siapa kembali berapa, siapa ngutang sama siapa, siapa yang belum bayar dan harus ditagih, siapa yang bayarnya kurang, untuk kemudian menyerahkannya kepada si supir yang bisa dengan semena-mena berteriak dari depan, “KURANG NIH ONGKOSNYA!”
Balik lagi ke hari-hari pertama saya naik angkot 56 ini, saya memilih duduk di tempat yang strategis: di sekitar pintu. Alasannya jelas, anginnya banyak, tidak tergencet di ujung bangku, dan paling cepat keluar.
Pertama kali saya naik angkot itu, saya terkesima ketika seorang perempuan yang duduk di depan saya di bangku tengah sigap mengumpulkan ongkos penumpang. Waktu itu saya cuma membatin, ‘angkot ini manusiawi juga. Keneknya cewek dan boleh duduk di kursi penumpang!’
Kedua kalinya saya naik angkot, seorang perempuan yang naik paling akhir dan duduk di sebelah saya kembali berperan mengumpulkan ongkos. Keren, pikir saya. Angkot ini ternyata keneknya perempuan. Sungguh suatu pemberdayaan kaum perempuan.
Ketiga kalinya saya naik angkot, saya kembali mendapat tempat duduk di bangku strategis. Tapi entah kenapa, saya tidak melihat ada keneknya. Sebagian besar yang menumpang adalah laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di sebelah saya adalah ibu-ibu wangi necis yang jauh banget dari tipe kenek. Sembari melirik-lirik menduga-duga siapa keneknya, saya mengeluarkan uang Rp. 5000an. Begitu sehelai duit limaribuan itu terlihat oleh orang-orang, serentak seluruh penumpang mengeluarkan uang mereka daaaaaaaaaaaaaaan…………. mereka menyerahkan duit mereka kepada SAYA!
Wajah saya syok pastinya. Tanpa sempat bernapas, belasan orang itu mulai memaksakan lembaran uang mereka ke tangan saya. Lalu suara-suara mulai terdengar…
“Kembali seribu.”
“Saya lima setengah.”
“Ini bayar tiga!”
“Kembaliannya mana?”
“Uang saya mana?”
“Ini saya bayar sama yang itu.”
“Ada lima ratusan enggak?”
“Bla bla bla bla….”
Mulut saya melongo dan saya melotot ke ibu-ibu wangi necis di sebelah saya.
“Apa-apaan nih, Bu?” tanya saya bingung.
“Mbak kumpulin ongkosnya. Sekalian dihitung kembalian orang-orang,” kata dia setengah bingung setengah jengkel. Masa gitu aja gak tau!
“Saya bukan keneknya!” tolak saya gondok.
“Disini gak ada keneknya,” balas dia.
Kerongkongan saya mulai kering. Suara-suara minta uangnya dikembalikan mulai ramai. Keringat dingin mulai mengucur dari seluruh kepala saya. Setengah mati saya mencoba berhitung lima ribu dikurangin empat ribu limaratus pun saya tidak bisa!
Saya nengok lagi ke si ibu di sebelah saya.
“Saya gak tau ongkosnya berapa. Kalau minta dikembaliin, satu-satu sebut aja ke saya jumlah pastinya!”
Sedetik dua detik angkot itu menjadi hening. Lalu tiba-tiba ada suara laki-laki yang nyeletuk dari ujung.
“Lain kali jangan duduk disitu, mbak!”
Sompret!
Tiga tahun sudah berlalu tapi sampai sekarang saya selalu terngiang-ngiang celetukan itu setiap kali saya harus naik angkot 56. Sejak saat itu, saya memilih duduk di ujung bangku. Kejepit-kejepit dah. Yang penting harga diri saya masih utuh begitu turun di UKI.