Ribuan Jarum di Sebelah Kepalaku

As someone living with chronic migraine (and long history of allergies), days like those in the picture when I could function as a person are most cherished. When migraine strikes, it always feel like I’ve never known days without pain. Knowing that migraine can strike me anytime forces me to be ‘meaningfully present’ in those pain-free hours, especially with my kids. Having a book-reading before bedtime, or chatting about school, or dining together, or listening to their stories, or even laughing…are out of questions since every nerve in my body aches from sound, light, stimulation. My head feels like thousand needles are fighting inside my head. Trying to be positive about life is a struggle when being in pain. . . My thoughts and prayers for those who suffer from more serious illnesses. My pain is nothing compared to yours. . ? @naldsaerang #migraines #migrainelife #deepinthought #beingpresent #painstory #migrainestrikesagain #painfuldays

A post shared by dmariskova (@dmariskova) on


Continue reading

Nyasar Berfaedah di Sydney

Teman sekolah saya dulu pernah komentar. “Biar si De dikasih penggaris, pasti gambar garisnya bakal mencong juga!”
Nah. Hubungan saya dengan GPS itu sebelas dua belas dengan hubungan saya dengan penggaris. Level kacaunya tingkat dewa.

Sebulan lalu saya tiba di Sydney di kondisi musim panas yang dingin 🙄 . Sejak pertama datang, saya sudah diajarin bernavigasi di kota itu dengan metode yang harusnya fun dan gampang diingat: pergi belanja ke supermarket terdekat. Harusnya sih gampang ya karena tata kota Sydney teratur blok per blok. Kalau kita jalan lurus ikuti jalan ya sampainya di ujung jalan sebelah sonoan. Coba jalan di Jakarta. Udah baik-baik jalan lurus, sampainya bisa di pinggir kali 😀 . Kenyataannya, saat disuruh pulang belanja sendiri saya nyasar dengan sukses padahal cuma jalan jarak beberapa blok, lurus aja enggak pakai belok, dan masih pakai google map.
Continue reading

To Make Passport, or Not to Make Passport

Sebagai warga Jakarta pinggiran tulen, ada 3 hal yang sebisa mungkin saya hindari: makan di lapak Amigos (agak minggir got sedikit), macet akibat banjir, dan bikin passport. Hal pertama dan kedua masih bisa dibikinkan strategi supaya tidak terlalu membawa bencana. Hal ketiga…well

Passport kedua saya sebenarnya sudah expired sejak setahun lalu. Dan mengenang perjuangan membuat passport pertama dan kedua tersebut cukup untuk bikin saya terkapok-kapok untuk balik ke kantor imigrasi lagi. Bukan hanya soal antrinya yang dari kantor belum buka sampai kantor tutup -pun masih harus bolak balik!- juga karena dua kali datang menyerahkan dokumen ke petugas resmi selalu dikembalikan dokumennya dan ditambahkan kalimat ‘Lebih baik pakai calo supaya bisa selesai.’ Yup.
Toh, seperti juga laporan pajak tahunan itu, suka nggak suka, trauma nggak trauma, akan ketemu saatnya kita harus membuat/memperpanjang passport.

Seperti hari ini.
Continue reading

Bahagia pun salah

Ketemu teman yang jarang-jarang ketemuan (baca: sebulan sekali dua).

Dia bilang, “eeih, sekarang gemukan loh. Bagus deh!”

Saya: “Makasih.”

Dia, pertanyaan aneh: “Kok bisa naik berat badannya?”

Saya: “Bahagia sih.”

Dia langsung diam enggak ramah gitu. Saya nyengir.

Begitu pisah saya baru nyadar betapa langsing dirinya. Ups!

Veteran

Beberapa waktu lalu, saya dan seorang teman bertemu dengan klien kantor kami. Dua orang bapak-bapak yang usianya jauh di atas kami. Di awal pertemuan, si bapak yang kemungkinan berumur 2x lipat saya, bertanya berapa lama saya dan teman saya itu bekerja di perusahaan ini.
Saya jawab setengah nyesel. 12 tahun. Nyesel kok saya masih mauuuu aja disitu.
Tapi diluar dugaan si bapak malah memuji.
“Wah, mbaknya veteran ya?”

Continue reading

The Science of Unhappiness

We -my friends and I- were sitting there, at the back of the room, behind hundred of conference participants, listening to an ELT figure talking about being a teacher while being happy. We -my friends and I- are teachers with additional work, and so we were supposed to be happy too.

The presentation was the last session of the day, and the day was the last day of the event. That means we -my friends and I- were at the end of a couple of months, and weeks, and hours of mental deprivation. Please reread and underline if necessary the words: a couple of months, and weeks, and hours.

Then, it was only normal that when we finally finished the day, we decided to go out in the middle of the night to take a walk. We thought taking a walk could release us from stress and as a result we were cured from our mental deprivation. Of course, we thought wrong. And by the end of the walk, we realized that we had been unhappy too long to be cured by a one-hour motivational speech.

So, instead of feeling sorry for our unhappy state, we came up with the Science of Unhappiness. We might not be happy people but at least we have a brain like a rocket scientist’s.

The Science of Unhappiness

by the six of us

  1. Unhappy people are pessimistic. And it is good to be pessimistic because it means we don’t exaggerate things. It keeps people in perspectives.
  2. Unhappy people are sharp. They never overlook small mistakes.
  3. Unhappy people are motivated people because they are driven by anger, hatred, revenge, and bad experiences.
  4. Unhappy people always find ways for improvement because they are not easily forgiving.
  5. Unhappy people are sensitive to comments, opinions, inputs, suggestions, etc. Being sensitive makes unhappy people perfectionists. And the best people at work are the perfectionists.
  6. ……………. (fill in the blank with your sentences)

Hikari dan konsep menabung

Ada banyak cara bagi Hikari untuk mendapatkan rejeki. Mengaji bener sedikit, dia dapat limaribu. Latihan karate bagus sedikit, dia dapat lima ribu. Cium pipi Eyang Kakung sedikit, dia dapat sepuluh ribu. Pijet-pijet Eyang Uti sedikit, dia dapat duapuluh ribu.

Malam ini Hikari kembali dapat limabelas ribu dari Eyang Uti karena sudah mencium pipi Eyang Uti kiri dan kanan. Uang itu langsung dikasih ke Mama. Kata Hikari uang itu untuk main kartu Animal Kaiser di mall. Mendengar itu, papap langsung komentar.

Papap: Hikari, uangnya dikumpulin dong. Tadi kan baru aja bilang mau beli buku.

Hikari: Kan uangnya cuma limabelas ribu. Bukunya kan enampuluh ribu. Uangnya cuma cukup untuk main Animal Kaiser.

Mama: Makanya dikumpulin. Kan kalau dikumpulin, sedikit-sedikit lama-lama…?

Hikari: Lama-lama dibawa ke BNI.