What’s in it for me?

Sepertinya saya salah memilih hari ini untuk berangkat ke kantor dengan naik angkutan umum. Pagi sudah agak siang -jam setengah sebelas- saat saya berada di pinggir jalan dan melambaikan tangan ke arah bis jurusan Cileungsi-Senen. Saya baru saja dicuekin oleh minibus ke arah UKI yang herannya jam segitu masih penuh. Kebetulan di belakang minibus itu, bis Cileungsi-Senen berjalan lambat mencari penumpang. Saya senang dengan bis arah Senen ini. Sudah berpendingin, jarang ada penumpang, dan tertib administratib tidak pernah ngetem di pinggir jalan. Jadi, begitu bis berhenti di depan saya, dengan semangat saya langsung mencangklong tas gede berat dan tas tangan berisi lunch box dan buku-buku saya lalu naik ke atas bis.

Semangat saya ke kantor langsung menguap begitu berada di dalam bis. Rasanya seperti tertipu berat. Sepanjang mata memandang, bis itu penuh. Hampir penuh. Hanya ada sekitar 6 kursi kosong di dalam. Bis itu pun berisi penumpang yang jarang saya lihat ikut serta: anak-anak dan orang tua mereka. Biasanya penumpang bis hanya orang-orang yang mau kerja. Apapun kerjaan mereka. Musim liburan begini, bis yang menuju daerah tujuan liburan (Pasar Senen) ternyata mendadak dikerubuti penggemar.

Kondektur bis lalu menunjukkan bangku di deretan kedua dari depan yang berisi seorang bapak membawa barang segede tivi gede dan seorang laki-laki muda gempal. Si kondektur menyuruh mereka berdua menyempitkan pantat mereka supaya saya bisa duduk di ujung bangku. Dengan usaha kondektur seperti itu pun saya tetap hanya mendapatkan jatah setengah bangku. Saya mencoba ikhlas. Daripada duduk di belakang dengan rombongan laki-laki yang enggak jelas antara tidur atau ngiler, lebih baik saya duduk setengah bangku.

Baru juga berjalan 3 kilometer, di depan sebuah mal bis itu berhenti, lalu berhenti lagi, lalu berhenti lagi, lalu berhenti lagi. Dalam jangka waktu tidak sampai 5 menit, bis itu mendadak penuh. Ibu-ibu dengan anak-anak mereka yang langsung merengek begitu melihat penuhnya bis terpaksa duduk menggelar koran di lantai bis di sebelah supir.

Bis belum lagi mencapai pintu tol Cibubur ketika seorang nenek dan perempuan belia naik. Kondektur menyuruhnya berdiri di bagian tengah bis tapi nenek itu tidak mau. Saya lihat tangannya mencengkram erat sandaran bangku penumpang di depan saya karena takut jatuh. 5 menit saya melihatnya begitu. Laki-laki yang duduk di sebelahnya, di depannya, di belakangnya, semua bergeming. Saya membayangkan si Mami, si Papi, Eyang Kung, almarhum Eyangti…

Saya colek si nenek dan mempersilahkannya duduk. Pemuda di sebelah saya membuang muka ke arah jendela. Nenek itu tersenyum lebar dan langsung duduk dengan lega. Tidak ada terima kasih. Dia malah menarik perempuan belia yang menemaninya untuk duduk berhimpitan berempat dengan laki-laki muda itu dan bapak yang membawa barang gede. Saya beringsut ke arah belakang bis. Seorang ibu yang duduk di depan saya memperhatikan saya dari atas ke bawah. Dia lalu memperhatikan barang bawaan saya yang berat. Pandangannya menatap saya antara kasihan dan membodohi. Bodoh karena saya mau-maunya berdiri bersumpal-sumpalan dengan penumpang lain padahal saya punya hak untuk tetap duduk.

Bis berhenti di halte terakhir sebelum gerbang tol Cibubur. Penumpang sudah memenuhi lorong bis sehingga satu-satunya tempat berdiri yang tersisa adalah di tangga tepat di tempat pintu bis. Penumpang terakhir yang naik adalah laki-laki tua berambut putih seluruhnya. Dia memandang berkeliling mencari pijakan yang lebih nyaman. Tidak ada. Matanya sempat melirik ke laki-laki gagah yang duduk nyaman tepat di depannya. Laki-laki itu membuang pandangannya keluar jendela. Seandainya saya punya dua kursi, satu kursi lagi pasti akan saya berikan padanya.

Sekarang, anda pasti berpikir saya sudah melakukan hal yang benar kan? Berdiri untuk memberi tempat pada orang lain yang lebih membutuhkan. Si ibu yang sepanjang jalan menatap saya dengan pandangan membodohi itu jelas tidak berpikir begitu. Juga para laki-laki bertenaga kuat yang sadar hak. Mereka pikir saya bodoh. Mau-maunya berkorban. Toh, kalau keadaan di balik, saat saya butuh bangku itu, belum tentu ada yang mau memberi. Hey, hari gini? You take care of yourself! Selamatkan diri sendiri dulu deh!

Suatu hari di jaman kuliah dulu di kereta KRL Jakarta-Bogor, saya menyaksikan seorang laki-laki usia 30an bertengkar mulut sepangjang perjalanan dengan serombongan anak SMA perempuan hanya gara-gara menentukan siapa yang harus berdiri memberi tempat kepada seorang nenek yang baru naik. Nenek itu sampai terisak mengomeli mereka.

“Kenapa kalian jadi bertengkar?” katanya. “Saya kan enggak minta tempat duduk kalian?!”

Yang akhirnya memberi bangku pun bukan orang-orang yang bertengkar tadi melainkan penumpang lain. Perempuan lain.

Saya tidak pernah lupa kejadian itu. Seperti juga manusia biasa lainnya, mendapatkan bangku di bis yang penuh buat saya adalah suatu kenikmatan. Melepaskan kenikmatan itu tentunya susah. Alasan saya rela melepas kenikmatan itu bukan untuk jadi pahlawan. Saya sudah jadi pahlawan tanpa tanda jasa di kantor. Alasan saya rela memberikan bangku saya kepada orang lain yang butuh dimana pun saya berada semata-mata karena saya teringat orang tua saya. Seandainya pada suatu waktu di suatu tempat mereka membutuhkan bangku itu, saya berharap akan ada orang lain -seperti saya- yang rela memberikannya kepada mereka. Itu saja.

Leave a Reply