Antologi Cerpen – Sebuah Niat untuk Terus Menulis

Cerpen Majalah Femina
Niat. Yang penting niatnya.
Sebenarnya saya sudah lama berniat melanjutkan draft-draft cerpen yang terbengkalai. Ya niat doang. Belum pernah saya laksanakan dengan berbagai alasan. Salah satunya karena saya takut berkomitmen waktu untuk menulis (saja). Menulis itu butuh banyak faktor pendukung selain mood. Ada faktor ketenangan lingkungan yang sangat penting, faktor kenyamanan tempat menulis, faktor bebas gangguan, dsb dkk dll. Kalau saya sudah berkomitmen untuk menulis, artinya saya akan menjadi sangat selfish. Tidak mau diganggu selama jam-jam saya menulis. Tanpa adanya ruangan sendiri yang bebas gangguan, kondisi ini sulit kecuali saya menulis dari tengah malam sampai dini hari. Coba setiap hari gini, minggu kedua tipes langsung kan?
Continue reading

Ide Mentok itu Real, Kawan

Sudah seminggu ini waktu saya terbuang sia-sia di depan laptop tanpa berhasil produktif sama sekali. Draft cerpen yang harusnya tayang minggu lalu (kemudian molor tengah minggu, terus molor lagi sampai akhir minggu) hanya bisa saya pelototin bolak balik. Saya cuma sanggup ngotak-ngatik teknisnya: pilihan kata, tanda baca, tanpa bisa maju ke hal yang lebih substansial: isi cerita dan endingnya, sisssss! Frustasi rasanya.
Continue reading

Setahun Pandemi

Yup, setahun sudah umur pandemi Covid-19 ini dengan segala dampaknya. Maret ini setahun sudah saya kerja di rumah dengan hanya satu kali (1x!) saja pernah balik menginjakkan kaki di kantor pada suatu hari Minggu untuk mengambil peralatan kerja. Setahun pula anak-anak sekolah dari rumah. Setahun! Will this ever end?

Setahun pandemi ini juga berarti saya kehilangan satu tahun umur saya di pandemi. Benar-benar satu tahun! Setahun lalu karantina pandemi dimulai sesaat setelah saya merayakan ulang tahun bersama keluarga di daerah pegunungan. Pulang dari situ, dunia berubah. Hari ini umur saya berubah satu angka, dan ini pertama kali saya bisa pergi ke luar bersama keluarga, merayakan bertambahnya lilin di kue ulang tahun, di pantai. Isn’t this something, though small, that we should be grateful for? Walaupun jalan-jalan ke pantai harus cari spot terjauh dari pengunjung lain. Walaupun barang yang dibawa ke penginapan menjadi lebih banyak karena ditambah dengan sanitiser, disinfektan, dsb. Walaupun tiap foto lupa kalau mukanya tertutup masker. Walaupun kalau mau makan, hanya bisa take away dan menghindari restoran penuh dan/atau tertutup. Semua walaupun ini dilakukan demi bisa mengecap sedikit kenormalan masa lalu.

Setahun ini setidaknya mengajarkan untuk menyukuri apa yang masih kita punya atau masih kita bisa dan bukan menyesali apa yang tidak kita punya atau tidak bisa kita lakukan.

Hang in there, people.

Cara untuk Tetap Waras

Sebelas bulan sudah pandemi ini. Bulan depan tepat satu tahun perayaan karantina rumah sejak Covid-19 muncul Maret tahun lalu. Bulan depan tepat satu tahun saya kerja dari rumah, anak-anak sekolah dari rumah. Maret tahun lalu saya berpikir bulan Juli, atau mid 2020, saya bakal balik ke kantor dan 4 bulan di rumah terasa membahagiakan karena terbebas dari bangun pagi buta untuk mengejar-kejar bis ke kantor. I thought, ‘let’s enjoy this’. Kapan lagi bisa ngerasain kerja dari rumah pakai kaos butut dan celana pendek dengan mata belekan selama satu, dua, tiga…bulan. Sudah gitu masih bisa begadang nonton Netflix tiap malam. Maret tahun ini, saya bahkan tidak berani berharap saya sudah bisa duduk di bis pada bulan Juli 2021. What a shitty world.

Setelah hampir setahun berusaha keras disiplin supaya terjaga dari berinteraksi langsung dengan lingkungan Covid-19, bulan lalu saya harus mengalami langsung berurusan dengan pasien-pasien Covid-19 di lingkungan keluarga sampai harus kehilangan satu anggota keluarga. Sungguh menguras emosi, pikiran, tenaga, dan dana.

Saat ini, rasanya saya hanya ingin berbaring di tempat tidur, bodo amat dengan dunia.
Continue reading

Not Everything Should be Meaningful

Seven months living in global pandemic. More like living in a fish bowl, actually. See things and hear things from the perspective of a glass bowl. Unable to go anywhere (well, in my case, I choose not to). Haven’t been outside the 5-kilometer perimeter from home. Haven’t been to the office. My spirit changes from yes-we-can-do-this to glad-we-have-time-to-relax-at-home-a-bit to shit-when-will-this-be-over and finally the question of are-we-there-yet on repeat.

As someone who constantly feels like I need a meaningful outcome in my day-to-day life, the pandemic has robbed me that. Yes, I still have a job and yes, I still have to supervise my kids’ studying from home, but I can’t help questioning ‘what’s the use?
Continue reading

I Love You Most Ardently


Three months into home quarantine and I found myself hooked (again, and again) on Pride and Prejudice, movie and book. This time, I have been re-watching the 2005 version of P&P every night and day for more than a week already 😳 . Well, everyone who’s known Mr Darcy would not think I’m insane, right? Mr Darcy has totally set the standard of women’s expectation of men for centuries. Quite an impossible standard, I must admit 😀 . For those of you who are familiar with Mr Darcy, I’m sure you know what I mean.
Continue reading

Officially a Published Writer

Tepat 12 tahun dan 1 bulan yang lalu (oke ini saya udah ngitungnya pakai kalkulator), novel pertama saya Hair-Quake resmi diluncurkan di 13 April 2008. Setelah sebelumnya cuma jadi penulis blog, jurnal, diary, komen blog orang, laporan kantor, Alhamdulillah sudah bisa merambah ke profesi penulis novel. Sejak itu saya sudah menulis 4 novel Metropop dengan GPU, 3 novel antologi dengan Lingkar Pena, 1 buku cerita anak antologi dengan Blogfam, dan 2 cerpen di Majalah Femina. Belum seberapa memang.

Pertengahan tahun 2013, A Wish for Love, novel yang keempat diterbitkan. Sejak itu karir penulisan novel saya berhenti sampai 7 tahun kemudian di tahun 2020 ini dan saya hanya sanggup menelurkan 2 cerpen di Majalah Femina. Kenapa berhenti? Sibuk, Bambaaaang 😀 .
Continue reading

Passport dan Foto Keluarga

Bulan April ini seharusnya jadwal saya memperpanjang passport. Walaupun belum ada rencana ke mana-mana, saya kapok deg degan karena masa berlakunya passport yang kurang dari 6 bulan lalu tiba-tiba saya harus jalan ke mana gitu. Tapi rencana sejak 2 bulan lalu gagal total lah gara-gara Covid-19. Lagian, mau kabur ke mana juga pakai passport wong pesawatnya di-grounded semua 🙁 .

Urusan bikin dan perpanjang passport ini urusan pelik buat saya dan keluarga. Pertama, buat saya. Pelik. Ini karena nama saya yang enggak ada bau-bau Indonesianya. Bawaannya curiga aja itu petugas kantor imigrasi. Biasanya saya akan dipelototin dari atas sampai bawah untuk memastikan iya bener ini orang Indonesia. Buku Nikah, Kartu Keluarga orang tua saya, semua dilihatin lama-lama. Pelik kedua itu saya alami baru aja saat membuat passport anak beberapa bulan lalu. Ini cerita antara ngeselin dan konyol sih.
Continue reading