Malam minggu ini kami habiskan dengan makan malam sampah-tapi-enak di salah satu gerai siap saji dekat rumah. Si Papap yang baru pulang dari Surabaya tidak berdaya dirayu Hikari dan -terutama- Aiko untuk jajan di resto ayam Pak Kolonel. Padahal aslinya si Papap paling males makan menu selain nasi putih ngepul, ikan goreng, lalapan, sambal terasi. Tapi semua rasa malas itu luluh dengan manjanya rayuan Aiko dan naggingnya Hikari yang mirip kaset rusak.
Sampai di resto, kami duduk di belakang dua laki-laki dan satu perempuan yang sepertinya usia akhir belasan. Mungkin lulus SMA. Mereka asyik cerita macam-macam yang too much silly personal details dengan suara lumayan kencang tanpa hirau sekelilingnya yang lumayan ramai. Karena saya duduk berpunggungan dengan mereka, semua cerita mereka tanpa bisa difilter nyampe ke kuping saya. Yang membuat saya akhirnya jadi nguping adalah semangat usia muda mereka yang tidak peduli, atau masih terlalu naive, dengan kenyataan dunia gak seromantis sinetron Endonesia. Dan saya tiba-tiba teringat salah satu lirik lagu Adam Levina dalam Lost Stars yang nyuplik dari quote…
Youth is wasted on the young.
Awalnya mereka bercerita tentang pacar ideal, restu orang tua, sampai ke jenis suku si (calon) pacar yang ternyata ada rumusnya menurut mereka. Entah mereka pernah punya pacar atau tidak, obrolan mereka serius sekali. Sampai ke suatu pembahasan mengenai kapan mereka mau menikah. Saya terkesiap mendengar mereka berkata mereka ingin (dan akan/harus/pasti) menikah usia 22 tahun paling lambat!
In what century am I again?!
Don’t get me wrong. I have no problem with people’s getting married young. Dan itu adalah hak semua orang dengan alasan apapun. Agama, kesiapan, cinta berat… Tapi alasan mereka sesederhana ‘udah selesai sekolah trus apa lagi? Nikah dong.’ Di mata saya, mereka tidak terlihat seperti anak-anak muda yang tidak punya kerjaan -selain kawin. Mereka terlihat seperti anak-anak mahasiswa pulang kuliah yang sibuk bergaul. And yet they are already busy thinking about getting married.
Dan saya, di belakang mereka, sibuk mendesah sambil satu kuping mendengarkan Aiko yang ribut cerita tentang ini itu. Lalu Hikari yang cerewet berdebat dengan Papap mengenai pembatasan jam main gagdet. I love my family. And they will too. Tapi membayangkan usia 22 tahun mereka sudah menjadi orang tua, sementara di belahan dunia lain ada yang sedang asyik mengelilingi dunia, bereksperimen dengan hobi, menyenangkan orang tua, ikut volunteer di mana gitu, mencoba menciptakan penemuan baru yang menyejahterakan umat manusia, saya jadi sedih.
Kok saya yang sedih ya?