
“Nulis cerpen tuh gampang. Pendek pula. Belum sempat kehabisan ide sudah harus the end.”
“Nulis novel lebih gampang. Ide tidak dibatasi. Banyak hal yang ingin dicurahkan, bisa dicurahkan.”
Let me tell you something. Para penulis bisa berdebat sepanjang masa karena soal itu tadi.
Buat saya yang pernah menulis 4 novel, 4 antologi, satu dua buah cernak, feature articles, editorial articles, menulis cerpen susah. Diulang ya. SUSAH!
Apa susahnya menulis cerita 3 halaman sementara saya sudah 4 kali menulis cerita 200-sekian halaman?
Susahnya adalah membatasi ide-ide yang membludak, keinginan narsistik untuk mengulas semua, menaruh banyak karakter yang bisa mewakili tiap emosi, detil latar belakang yang overwhelming, pada 3 halaman kertas. Oh ya, ada catatan tambahan: cerita 3 halaman itu harus, HARUS, padat berisi dan meledak!
Ketika beberapa bulan lalu saya punya banyak waktu luang di rumah, saya mencoba membuat beberapa tulisan pendek. Cerpen. Lalu cerpen-cerpen itu saya kirim ke korban-korban saya yang harus membaca cerita mentah milik saya itu (untuk kemudian mengerutkan jidat, mulas, muntah-muntah, emosi, dsb.). Kalau hidup ini kejam, teman-teman saya pembaca cerita mentah tulisan saya itu lebih kejam 🙂 Beberapa cerita lolos uji. Beberapa lagi harus direvisi total, eh, ditulis ulang, eh, diganti.
Lalu, pada suatu hari yang cerah, saya berhasil menyelesaikan revisian dua cerita fiksi. Sebelum saya kehilangan keberanian, saya minta Papap mengirimkan tulisan tersebut hari itu juga. Lewat pos. POS!
Semingguan lalu saya mendapatkan email dari Majalah Femina. Mereka ingin menerbitkan salah satu cerita saya. Okay. Saya jejingkrakan. Akhirnya ada orang lain yang berpikir cerita pendek saya layak tampil! Hehehehehe…
Kemarin, saya iseng beli majalah Femina. Saya pikir cerpen saya ada di majalah di minggu berikutnya. Eeeeeh… gak taunya…..
Yay! Yay! Yay!
Cek Majalah Femina No. 5 Edisi tanggal 1-7 Februari ya. Kalau sempat, boleh loh kasih kesan dan pesan atas cerpennya hehe…