Kalau sayang, panggil aku…

Tante saya yang paling bungsu itu cuma bisa meringis lebar. Suara ha-ha-ha yang keluar dari mulutnya bukan suara tawa senang. Kontras dengan suara tawa terbahak-bahak orang-orang di ruang keluarga Eyang saya. Satu-satunya orang yang tidak tertawa -bahkan tidak mampu membuat garis tertawa di wajah- adalah saya. Oh, ada satu orang lagi yang tidak tertawa: sepupu kecil saya bernama Faiz yang baru berusia 3 tahun. Faiz sedang mengeluarkan suara kesal-marah-hampir menangis karena digoda oleh om-om dan tante-tante nya yang berjumlah lusinan. Beberapa menit setelahnya, suara tangis Faiz menggema ke seluruh ruangan. Dia berlari ke pelukan sang mama yang cuma bisa menggendongnya pergi.

Entah kenapa, menggoda anak balita menjadi salah satu kesenangan bagi orang dewasa. Mungkin melihat para balita merengutkan wajah, marah-marah, ngambek, atau malah menangis bisa mebuat hati orang dewasa senang. Kesenangan macam apa ya? Rasanya kok seperti orang sakit jiwa? Kembali ke Faiz, dia menangis karena diledek: si item, si pesek, si botak. Padahal Faiz itu lucu dan pintar menyanyi sambil berjoget mengikuti lagu-lagu jaman sekarang. Iya sih dia berkulit sawo matang. Iya juga hidungnya tidak mancung-mancung amat. Dan memang rambutnya dipotong pendek hampir botak. Terus kenapa?

Sewaktu saya tanya ke tante bungsu saya itu kenapa dia tidak menyuruh kakak-kakaknya menghentikan ledekan mereka, tante saya bilang, “Percuma. Nanti juga begitu lagi.” Memang benar. Saya pun sejak kecil kenyang dengan ledekan mereka sampai akhirnya kebal sendiri. Tapi begitu saya punya anak, jangan pernah coba-coba meledek anak saya! Si Mami mencoba me-logika-kan kelakuan adik-adiknya dengan satu kata: sayang. Karena rasa sayang itu, mereka punya panggilan kesayangan yang… luar biasa. Ya benar. Para Tante dan Om saya itu sayaaaaaaaaaang luar biasa dengan si Faiz. Apapun yang diminta Faiz, pasti dipenuhi. Sayangnya Faiz belum bisa bilang, “aku mau kalian semua berhenti meledek aku!” Setiap kali mereka mencari Faiz, yang keluar dari mulut mereka pasti, “Si item mana?” atau “Si pesek mana?” Bayangkan kalau Faiz sudah agak besar dan mengerti arti kata Percaya Diri. Seumur hidupnya dia mungkin akan berpikir dirinya jelek, pesek, hitam…

Faiz yang jadi korban rasa sayang itu tidak sendirian. Saya ingat di komplek rumah (ortu) saya yang lama, ada tetangga di seberang rumah yang selalu sanggup membuat wajah si Kumendan merah padam. Tetangga ini punya 4 orang anak yang masih kecil. Setiap kali marah DAN setiap kali gemas-gemas-sayang pada anak-anaknya, si Ibu selalu memekik, “Dasaaaaaaar, anak monyet!” Bayangkan, 4 orang anak Mayor dipanggil anak monyet oleh ibunya sendiri!

Masyarakat kita sepertinya memang sangat permisif atau bahkan menyukai menggunakan kata-kata ejekan sebagai panggilan ‘sayang’ kepada anak-anak kita. Mungkin maksudnya sayang tapi tidak memanjakan? Supaya harga diri orang dewasa tidak turun derajat? Atau panggilan-panggilan itu dimaksudkan untuk ospek, gitu?

Seringkali sewaktu orang-orang dewasa di sekitar saya mendengar saya memanggil Hikari, mereka membuang muka menelan ludah. Panggilan saya kepada Hikari memang bervariasi. Kadang saya panggil dia: Nak, Pintar, Ganteng, Sayang, Sholeh, dan segala hal yang saya pikir dia berhak disebut demikian. Well, he deserves it! Lagipula, itu kan doa orang tua untuk anaknya? Hikari mungkin bukan anak paling pintar, atau paling ganteng, atau paling sholeh, tapi saya ingin mendoakan dia seperti itu. Salahkah? Masa’ saya doakan anak saya sendiri dengan si endut, si manja, si ompong?!

Jujur saja, saya tumbuh dengan panggilan sayang si Hitam dari keluarga besar saya. Sampai sekarang, tanpa saya sadari saya telan bulat-bulat imej diri saya bahwa saya tidak secantik sahabat saya yang putih bening. Mungkin karena itu kalau ada orang yang memuji saya berdasarkan penampakan fisik, saya tidak terlalu gembira. Rasanya -rasanya- seperti mendengar suatu kebohongan. Saya lebih merasa terapresiasi bila saya dipuji pintar, atau apapun yang berkaitan dengan otak. Bagaimana dengan anda?

Jadi, sekarang, pesan moral saya adalah:

1. Coba hilangkan panggilan-panggilan sayang yang hanya akan membekaskan rasa penghinaan bagi anak-anak polos ini. Memanggil anak 5 tahun dengan “si cengeng” walaupun dengan nada penuh cinta dan tatapan gemas penuh kasih tidak akan terdengar indah di telinga anak itu. Yang akan dia bawa sampai besar adalah betapa cengengnya dirinya. Mau punya anak cengeng seumur hidup?

2. Bila nama adalah doa, maka begitu juga fungsi panggilan yang kita berikan kepada seorang anak. Memanggilnya dengan kata-kata yang indah akan menumbuhkan rasa percaya dirinya. Bukan anak kita sendiri? Terus kenapa? Toh mereka akan jadi anak Indonesia yang besarnya juga bisa menyusahkan atau memudahkan kita sebagai generasi tua renta.

3. Didik sekeliling kita. Jangan hanya gara-gara takut imej melorot lalu ikut-ikutan memanggil anak kecil dengan ledekan tidak perlu. Kalau kita tidak bisa menemukan satu kata indah pun untuk dikeluarkan, tidak ikut meledek saja sudah cukup.

4. Jangan biarkan orang lain memberikan panggilan ledekan kepada anak kita. Anak kita tidak bisa melawan. Kita yang harus melawan demi anak sendiri. Tidak enak hati? Pilih tidak enak hati (kita) sendiri atau pilih anak kita terluka batin sampai besar?

5. Suatu kebiasaan di masyarakat walaupun sudah berakar urat sedemikian dalam, kalau salah ya salah. Kita punya pilihan untuk memperbaiki. This is children, we are talking about.

illustrasi: istockphoto.com

214 thoughts on “Kalau sayang, panggil aku…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *