Setelah menunggu beberapa bulan dan dijadwal ulang berkali-kali, akhirnya saya dan Hikari benar-benar jadi divaksin kemarin siang. Rasanya lega luar biasa. Bukan cuma lega, saya bersyukur luar biasa. Mengingat pandemi yang gak kelar-kelar dan kesempatan mendapat vaksin sangat langka untuk golongan usia, pekerjaan, latar belakang, dsb, dst, dll, saya dan anak bisa divaksin itu bisa masuk kategori yang bisa di-sujud-syukur-i.
Continue reading
Pandemic
Setahun Pandemi
Yup, setahun sudah umur pandemi Covid-19 ini dengan segala dampaknya. Maret ini setahun sudah saya kerja di rumah dengan hanya satu kali (1x!) saja pernah balik menginjakkan kaki di kantor pada suatu hari Minggu untuk mengambil peralatan kerja. Setahun pula anak-anak sekolah dari rumah. Setahun! Will this ever end?
Setahun pandemi ini juga berarti saya kehilangan satu tahun umur saya di pandemi. Benar-benar satu tahun! Setahun lalu karantina pandemi dimulai sesaat setelah saya merayakan ulang tahun bersama keluarga di daerah pegunungan. Pulang dari situ, dunia berubah. Hari ini umur saya berubah satu angka, dan ini pertama kali saya bisa pergi ke luar bersama keluarga, merayakan bertambahnya lilin di kue ulang tahun, di pantai. Isn’t this something, though small, that we should be grateful for? Walaupun jalan-jalan ke pantai harus cari spot terjauh dari pengunjung lain. Walaupun barang yang dibawa ke penginapan menjadi lebih banyak karena ditambah dengan sanitiser, disinfektan, dsb. Walaupun tiap foto lupa kalau mukanya tertutup masker. Walaupun kalau mau makan, hanya bisa take away dan menghindari restoran penuh dan/atau tertutup. Semua walaupun ini dilakukan demi bisa mengecap sedikit kenormalan masa lalu.
Setahun ini setidaknya mengajarkan untuk menyukuri apa yang masih kita punya atau masih kita bisa dan bukan menyesali apa yang tidak kita punya atau tidak bisa kita lakukan.
Hang in there, people.
Cara untuk Tetap Waras
Sebelas bulan sudah pandemi ini. Bulan depan tepat satu tahun perayaan karantina rumah sejak Covid-19 muncul Maret tahun lalu. Bulan depan tepat satu tahun saya kerja dari rumah, anak-anak sekolah dari rumah. Maret tahun lalu saya berpikir bulan Juli, atau mid 2020, saya bakal balik ke kantor dan 4 bulan di rumah terasa membahagiakan karena terbebas dari bangun pagi buta untuk mengejar-kejar bis ke kantor. I thought, ‘let’s enjoy this’. Kapan lagi bisa ngerasain kerja dari rumah pakai kaos butut dan celana pendek dengan mata belekan selama satu, dua, tiga…bulan. Sudah gitu masih bisa begadang nonton Netflix tiap malam. Maret tahun ini, saya bahkan tidak berani berharap saya sudah bisa duduk di bis pada bulan Juli 2021. What a shitty world.
Setelah hampir setahun berusaha keras disiplin supaya terjaga dari berinteraksi langsung dengan lingkungan Covid-19, bulan lalu saya harus mengalami langsung berurusan dengan pasien-pasien Covid-19 di lingkungan keluarga sampai harus kehilangan satu anggota keluarga. Sungguh menguras emosi, pikiran, tenaga, dan dana.
Saat ini, rasanya saya hanya ingin berbaring di tempat tidur, bodo amat dengan dunia.
Continue reading
Not Everything Should be Meaningful
Seven months living in global pandemic. More like living in a fish bowl, actually. See things and hear things from the perspective of a glass bowl. Unable to go anywhere (well, in my case, I choose not to). Haven’t been outside the 5-kilometer perimeter from home. Haven’t been to the office. My spirit changes from yes-we-can-do-this to glad-we-have-time-to-relax-at-home-a-bit to shit-when-will-this-be-over and finally the question of are-we-there-yet on repeat.
As someone who constantly feels like I need a meaningful outcome in my day-to-day life, the pandemic has robbed me that. Yes, I still have a job and yes, I still have to supervise my kids’ studying from home, but I can’t help questioning ‘what’s the use?‘
Continue reading