Blog ini sudah berdebu.
Dan mungkin mengecewakan banyak pengunjung yang hanya disuguhi cerita-cerita lama.
Salam-salam pun tak terbalaskan.
Semua karena alasan…tidak ada waktu menulis.
Ah. Waktu.
Alasan yang klasik. Dan biasanya basi.
Sejak dulu, sejak SD, saya menulis karena menulis membebaskan (perasaan) saya.
Dari rasa terlalu penuh. Penuh bahagia atau penuh sedih. Penuh kesal. Penuh.
Menulis membuat saya menemukan perspektif. Yang paling mendasar, menulis membuat saya jujur pada perasaan saya yang tidak sanggup saya hadapi sendiri.
Ibu saya, si Mami, pernah sampai menangis membaca tulisan saya di diary sewaktu saya SD. Menangis karena saya jujur menuliskan perasaan kecewa saya saat itu. Si Mami bilang saya harusnya bicara kalau merasa kecewa. Yang si Mami tidak tahu di luar sana saya tidak sanggup memperlihatkan rasa kecewa. Seakan-akan saya membiarkan diri saya kalah. Itu waktu saya SD. Bayangin tuanya saya.
Sampai beberapa waktu lalu menulis masih tetap membebaskan.
Sampai suatu saat perasaan-perasaan saya terlalu sakit, terlalu gelap, terlalu menyedihkan untuk dituliskan.
Dan kebebasan itu menjadi suatu yang mengerikan.
Saya takut saya tidak bisa mengendalikannya.
Saat ini saya tahu. Bukan (ketidak adaan) waktu yang membuat saya tidak menulis.
Tapi kekuatan sekaligus kepedihan kegelapan keresahan sebuah tulisan yang membuat saya menahan diri.
Saya membiarkan diri saya tidak bebas. And it is so painful.
Sekarang saya kangen menulis.