Saatnya Menangis Di Bawah Hujan

Sudah lama sebenarnya saya ingin menulis tentang ini. Kira-kira sejak 3 tahun lalu. Tulisan ini menjadi semacam hutang saya terhadap beberapa teman dan juga kepada diri saya sendiri. Hutang untuk mungkin bisa membantu orang lain yang berada di perjalanan yang sama seperti saya. Ohya. Tulisan ini akan jadi panjang dan mungkin bersambung. You have been warned 🙂

Hampir tiga belas tahun yang lalu setelah saya melahirkan Hikari melalui proses panjang, menyakitkan, melelahkan, dan traumatis, saya sempat mengalami kondisi di mana saya menangis sama seringnya dengan Hikari menangis dan saya tidur sama jarangnya dengan Hikari tidur. Badan saya lemah karena proses kelahiran yang berat (and don’t dare get back to me saying all delivery is hard). And Hikari was not an easy baby. Ditambah sifat saya yang maunya serba perfect, serba rapi, serba sesuai aturan membuat kondisi tidak menjadi mudah. Di bulan-bulan pertama kelahirannya, Hikari terus terbangun di jam-jam luar biasa, jam 2, jam 3. Menangis tidak berhenti sampai dua jam kemudian. Kalau pun dia bisa tertidur karena dia ada di gendongan saya. Maka bermalam-malam, saya tidur duduk sambil menggendong dia dengan jarik. Saat-saat tengah malam itu, saat-saat saya melihat orang lain bisa tidur sementara saya harus menggendong Hikari, saya akan menangis tidak berhenti. I thought I was in my lowest point. Nine years later I found out it could be lower than lowest. Dengan Hikari, saya menjadi over protective sekaligus menjadi over sensitive. Dan saat itu saya tidak punya support system yang baik. Hanya ada saya dan Papap sebagai ortu baru, dan orang tua yang tidak berhenti bingung. Yang bisa membuat saya bangkit lagi karena dukungan si Papap yang tidak pernah berhenti. Orang-orang yang mendengar cerita saya bilang saya terkena baby blues. Tapi pada suatu kali di sebuah forum, seorang dokter kandungan laki-laki berkata baby blues hanyalah mitos. That is very comforting coming from someone who never gives birth 😀
Continue reading