Semua penulis yang pernah mempublikasikan ceritanya, baik yang sudah ngetop maupun yang baru akan ngetop, pasti pernah menerima satu pertanyaan ini: “Kamu nulis tentang aku ya?” atau yang lebih njelimet lagi, “Kamu kok nulis tentang aku nggak minta izin dulu?”
Seorang David Nicholls menulis acknowledgements untuk novelnya ‘One Day‘ seperti ini:
It is in the nature of this novel that certain smart remarks and observations may have been pilfered from friends and acquaintances over the years, and I hope that a collective thank you -or apology- will be enough.
David Nicholls yang sudah menulis belasan novel yang juga sudah difilmkan mengakui bahwa dia terinspirasi dari orang-orang di sekitarnya -yang mereka lakukan dan yang mereka katakan. Seorang penulis pada dasarnya seorang pemerhati yang tekun, baik direncanakan atau tidak, baik sengaja atau tidak. Orang-orang di sekitar saya penulis dan peristiwa yang terjadi bisa memicu sebuah ide atau malah ide-ide. Tapi…berasumsi bahwa penulis menulis tentang kamu, iya kamu secara spesifik, agak…kepedean sih 😀 . Why do you think you are that interesting to be in my writing? Eh.
Saya mau cerita sedikit bagaimana kebiasaan melamun observasi saya berproses menjadi sebuah setting di novel A Wish for Love.
Waktu itu saya sudah punya ide cerita, ada si X lalu ada si Y kemudian masuk si Z dan tambah si…duh habis alfabetnya…si A. Masalahnya, latar belakang si X yang bisa memperkuat karakter dia masih kurang pas. Saking kurang pasnya di hati, saya sampai berhenti menulis. Suatu hari, teman yang lama tinggal di negeri orang pulang liburan ke Jakarta dan kami janjian makan siang. Ngobrol ngalor ngidul panjang lebar tak karuan, sampailah pada cerita dia tentang orangtuanya dan kenapa dia harus pulang ke Indonesia waktu itu. Sepanjang cerita, peran saya otomatis sebagai teman. Mendengarkan saja, nggak punya pikiran macam-macam. Boro-boro nyatet ini itu saat orang ngomong -ah mitos ini sih!
Bagian bawah sadar otak saya rupanya merekam percakapan kami dan mesin-mesinnya seperti terolesi minyak. Pulang dari makan siang dan hari-hari setelahnya, tanpa saya sadari mesin-mesin yang sudah terlumasi meletupkan ide ini itu. Saya kontak teman saya, tanya ke dia apakah saya boleh menggunakan cerita tentang orangtuanya di dalam novel saya, tentu akan ada penyesuaian di sana sini. Dia tidak keberatan, dan beberapa lembar kemudian, karakter X saya punya latar belakang orangtua dan keluarga yang pas. Setelah selesai menulis, saya bisa katakan kecocokan cerita saya dengan cerita teman saya paling hanya 1% saja, aaand it can be everyone’s family. Dia bilang begitu, tidak merasa saya menyalin cerita asli kehidupan dia.
Di situasi lain, saya bisa juga menulis karakter yang personality traits-nya seperti A, penampilannya seperti B, latar keluarganya seperti C, dan pekerjaannya seperti mbak/mas yang ketemu saya nggak sengaja di lift waktu saya mau makan siang. Mirip Victor Frankenstein waktu menciptakan the Creature.
Apakah seorang penulis selalu meminta izin untuk menggunakan cerita yang terinspirasi dari orang lain? Dalam kasus di atas, saya merasa harus bertanya karena saya tahu ide itu datang spesifik dari percakapan kami tentang orangtua teman saya. Di banyak situasi lain? Boro-boro saya ingat siapa melakukan/mengatakan apa. Memori itu terekam saja, muncul bila diperlukan. Mudahnya, ketika kita nonton film yang isinya relatable banget lalu kita bilang ‘ih itu gue banget!’, apakah artinya penulis skripnya terinspirasi dari kita? Ketika kita nonton Thor sedang bertengkar dengan Loki yang merasa kurang kasih sayang sebagai anak kedua yang punya kakak lebih ganteng, lebih kekar, lebih budiman, apakah Stan Lee terinspirasi dari kita juga yang punya kakak ngeselin kek gitu? Eh, pede amat 😛 .
The point is our life story is universal. It might not happen to friends we know, but it might happen to someone in the other end of the globe. Jadi, kurang-kurangilah menghubung-hubungkan cerita di novel/cerpen yang kalian baca dengan diri kalian, apalagi kalau kalian kenal dengan penulisnya. Setiap kali saya, yang cuma penulis musiman ini (lebih banyak musim nggak nulisnya), ditanya seperti ini, jujur bikin saya 🙄 .
Menurut saya, seorang penulis yang baik adalah mereka yang mampu mereplikasi dan memproyeksikan sebaik mungkin apa yang terjadi di hidup orang banyak. Bukan kah sebuah tulisan itu tujuan akhirnya untuk membuat pembaca merasa ‘ih iya gue juga merasa begitu!’? It’s supposed to be relatable. Bahkan di novel-novel yang karakternya dikejar-kejar kendaraan yang bisa berubah jadi robot seenak jidatnya, ada momen yang berkaitan banget dengan kita sehari-hari -punya pacar cakep yang bisa ngebengkel, mungkin?
Tentu saja seandainya kisah hidup kalian begitu khas dan tiba-tiba jalan cerita yang sama persis sampai ke nama-nama dan titik komanya muncul di novel yang ditulis oleh teman kalian, kalian bisa bertanya, dan wajar merasa keberatan. Saya pernah baca seorang penulis termasyur yang punya banyak duit tapi tidak punya banyak teman karena kebiasaannya yang menggunakan nama dan kehidupan teman-temannya di novelnya sampai semua orang tahu dia lagi ngomongin siapa. Ini masuknya ke etika dan integritas penulis jadi taruhannya.