Sudah beberapa tahun ini saya berhenti menonton film-film mikir. Dan itu artinya saya juga sudah berhenti menonton (hampir) semua film pemenang Oscar. Movies affect me very much. Kalau itu film-film mikir dan cenderung punya storyline yang membuat depresi, maka saya akan mikir berhari-hari dan bahkan sampai ke fase gloomy. Sejak mengalami PPD, saya sebisa mungkin menghindari pencetus depresi yang bisa membuat saya babak belur. Sekarang ini saya cuma mau nonton film ringan ringan yang sekali nonton kelar enggak kepikir lagi. Untung saya masih tahan baca buku serius dan mikir, karena kalau enggak, man, secetek apa nanti diri ini hehehe…
Sejak dunia memberlakukan karantina Covid-19, saya yang tadinya enggak sempat nonton Netflix, jadi terpaksa nyari nyari film di sana. Film pertama yang saya download itu The Crown. Kenapa The Crown? Karena jalan ceritanya udah ketebak aja lah. Amaaan, buat saya. Kemudian Season 3 kelar dan lanjutannya belum ada. Meh banget.
Setelah itu saya nyari referensi dari teman-teman veteran Netflix untuk film film lain. Seperti sudah diduga rekomendasi mereka jauh dari ekspektasi film ecek ecek saya. Kalau enggak film serius, mikir, horror, heavy action atau…drakor. Ya wajar aja kan orang nyari film bermutu, adu nyali, atau….drakor. Saya terpaksa harus cari sendiri, dan enggak ketemu-temu. Eh ketemu deh film adaptasi novelnya Jenny Han. Dua film serial To All the Boys I’ve Loved Before aseliiiii enteng. Setelah nonton tuh kayak abis makan coklat beli di minimarket. Padahal sebenarnya kalau digarap beneran bisa jadi film yang bagus sih…Mendingan baca novelnya. Untungnya, music soundtrack film ini keren abis.
Kelar film remaja percintaan yang manisnya bikin sakit gigi itu, saya pusing lagi nyari film apa yang non mikir, non serius, non horror, dan non drakor. Setelah meninggalkan The King, Versailles, Elizabeth di awal-awal film, saya nyasar ke film Lucifer. Di kondisi normal, saya enggak akan mau nonton film dengan judul model begini. Film supernatural yang saya sanggup tonton itu cuma Constantine itu pun karena yang main Keanu Reeves. Monmaap. Tapi karena sudah desperate nyari film dan kok poster Lucifernya ganteng gitu ya sudah lah saya klik episode pertama.
Beracun memang Lucifer tu! Setelah itu saya maraton nonton sampai Season 4 tidak berhenti dan karena Season 5 belum keluar saya tonton ulang lagi 67 episodenya. Belum cukup nonton ulang, dong. Setiap kali di scene ada dialog-dialog yang bikin ngakak parah, saya ulang. Setiap kali Lucifer ngomong panjaaaang dengan bahasa Inggris level IELTS 10 dalam satu tarikan napas, saya ulang. Words do amuse me.
Sejak nonton Lucifer, saya penasaran dong dengan sosok aktornya, Tom Ellis. Saya penasaran ini aktor kok enggak pernah saya lihat. Maka saya melakukan investigasi cukup mendalam film-film apa saja yang sudah dia bintangi untuk kemudian menyesal karena telat menemukan film TV keren lucu jenius banget ‘Miranda‘. Di Miranda, Tom Ellis masih muda pake banget dan…gak seganteng dia yang sudah setengah baya di Lucifer. Whoa! Ya okay mudanya juga cakep sih tapi, gurl, he is aging like wine!
Wine, ladies and gents.
Setelah kelar dengan Miranda, saya nyari film Tom Ellis lainnya sampai kepentok film adaptasi novel Agatha Christie ‘Poirot‘. Film Poirot itu mengkonfirmasi pengamatan saya bahwa Tom Ellis memang gantengan pas tua setengah bayanya. Setelah Poirot, saya iseng nyari film lainnya yang membawa saya ke film adaptasi novel Charles Dickens ‘The Life and Adventures of Nicholas Nickleby‘.
Tujuan awal saya nonton Nicholas Nickleby memang untuk mencari Tom Ellis, tapi saya malah berakhir melototin James D’Arcy, si aktor yang menjadi Nicholas. Melototin dia dengan tidak percaya kenapa di sini dia gantengnya gak sopan padahal pas jadi Edwin Jarvis di seri TV Agent Carter si James ini enggak gitu amat gantengnya kenapa kenapa kenapaaa? Saya kenal James, halah kenal, ini pas dia jadi Edwin Jarvis memang. Sempat lihat dia di Dunkirk tapi hanya berkesan aktingnya bukan gantengnya. Eh.
Dari menonton film non serius dan non mikir (eh Nicholas Nickleby ada moral lessonnya deh), saya jadi kepikiran soal age dan wine. Tom Ellis saat ini di usia kepala 4 malah terlihat lebih ganteng lebih pas di umurnya dibanding saat dia muda dulu. Jadi mirip cerita si Benjamin Button. Sementara si James D’Arcy, yang tipe gantengnya waktu muda seperti baru keluar dari novel klasik Charles Dickens atau Jane Austin, adalah perwakilan kita semua yang menjadi dewasa dan menua jalannya beriringan.
Oke, sebelum kalian mikir tulisan saya ini udah panjang lebar malah cetek banget (which is yes absolutely 😀 ), saya kasih tahu apa yang membuat saya sampai kepikiran soal Tom Ellis, James D’Arcy dan urusan umur dengan wine. Ini bukan sekadar tampilan fisik. Ini soal kedewasan. About being content with life.
Banyak dari kita yang punya masa muda dan kemudaan tapi belum mencapai fase pas di usianya. Masih mencari masih tidak nyaman dengan dirinya dengan tubuhnya. Begitu kita mencapai usia tertentu, let’s say above 30, baru kita bisa meresapi apa arti cukup, arti puas. Kita jadi lebih mengerti tentang diri kita. In the end, we feel better at a certain ‘old’ age and we look much much much better at that age than when we were younger.
Untuk kalian yang masih resah kenapa rasa nyaman dengan diri sendiri itu belum juga datang seiring dengan usia yang bertambah, ingat Tom Ellis. You’ll be there.
Photos: internet, imdb.