Menjadi Yogi #10

Disclaimer: saya belum bukan lah seorang yogi (atau yogini). Bukan pula ahli dalam dunia per-yoga-an (lihat kalimat pertama). Tulisan di seri β€˜Menjadi Yoga’ ini merupakan pengalaman saya sendiri untuk catatan sendiri.

STILL HERE, MATE
Dua bulan persis sejak postingan yoga kesembilan di bulan Maret lalu. I’m still here, mate. Belum menyerah pada yoga. Mungkin malah yoganya yang hampir menyerah sama saya hihihihi…

Satu setengah tahun sejak saya ikut yoga dan saya belum juga jadi celebrity yoga. Boro-boro jadi seleb yoga. Punggung saya aja masih rounding dan belum bisa lurus selurus jalan pertobatan. SATU SETENGAH TAHUN guru yoga masih teriakin saya untuk “LURUSIN SPINE-NYA, MBAK DEEEE!” Kalau kalian merasa itu bukan suatu hal yang memalukan, mungkin sekali kali bisa nyobain dipanggil namanya belasan kali dalam jangka waktu 1 jam πŸ˜€ . Berasa anak kesayangan guru…

Guru-guru yoga saya baru akan menyerah neriakin bila saya sudah nyungslep di matras.

Di bulan April lalu, saya nambah tempat latihan yoga. Bukan, bukan nambah frekuensi latihannya, tapi nambah tempat latihannya πŸ˜› . Jadi, teman-teman se-kantor berinisiatif untuk manggil guru yoga ke kantor setiap Selasa. Merasa ini adalah cara termudah untuk mencari motivasi latihan, tentu saya mendaftar dan kemudian menyesal karena jadi nggak bisa bolos kantor tiap Selasa. Selain itu, jadwal pulang kantor saya sering enggak ramah untuk pergi ke sanggar yoga langganan dekat rumah. Akhirnya jadi bolos terus…excuse excuse excuse…Jadi, selain latihan Iyengar dan -kadang-kadang banget- Swing Yoga di sanggar dekat rumah, saya ikut latihan Iyengar juga di kantor.

Latihan di kantor cenderung lebih dasar dibanding di sanggar. Ya iyalah udah satu setengah tahun di sono masa’ masih mau dasar ajaaaa, Fergusoooo! Kesel sendiri πŸ˜€ . Iyengarnya fokus benerin postur yang mana tentu saja saya selalu gagal dengan sukses. Kemarenan itu saking saya bosennya disuruh ‘Naikin chestnya! Naikin chestnya!’, saya hampir balas teriak ‘mau naek ke mana lagiiiii, Maliiiiih?!’ Bener-bener ngetes emosi…

Kalau dihitung, saya sudah berguru pada 4 guru yoga berbeda. Guru pertama, si mbak guru yoga saya itu yang menurut saya paling cocok. Walau disiplin dan keras, dia paham dengan kekurangan postur saya. Jadi di saat dia nyuruh kami, anak didiknya, untuk menyempurnakan pose, dia juga akan bantu kami yang memang punya kelainan tulang dengan alat. Sudah gitu, setiap dia menyontohkan gerakan atau bahkan gerakan otot, kelihatan jelas si otot itu berubah bentuk. Dewa banget dah.

Pernah suatu kali dia menyuruh kami untuk handstand yang jelas saya gagal melulu. Ternyata, dia jelaskan di depan yang lain, karena tulang saya rounding dan skoliosis. Jadi, dia bantu saya dengan balok sehingga saya bisa mengangkat badan dengan sempurna. Wooohooo my first handstand! Dengan dia juga, saya belajar back care. Cara membetulkan postur skoliosis tanpa operasi. Sayangnya, sesi dia berubah jadwal dan saya nggak pernah lagi latihan sama dia πŸ˜₯

Guru kedua saya ini si mbak guru swing. Luar biasa lah dia kalau mulai swing swing gitu. Udah kayak kampret kalong. Sampai bulan lalu terakhir saya ikut swing, saya masih berasa ingin muntah. Belum dapat enaknya gelantungan. Mungkin karena saya latihannya jarang-jarang jadi badan belum dapat menyesuaikan. Terakhir latihan saya sudah bisa jungkir balik. Terus terang, di Swing Yoga ini, perkara jungkir balik itu lebih gampang dibanding di Iyengar misalnya. Kenapa? Karena pakai kain/alat. Saya lebih bisa jungkir balik di Swing dengan santai daripada di Iyengar. Di Iyengar itu saya merasa takut tangan tidak bisa menahan badan lalu jatuh kepala duluan. Gak ada helm kan?! Mana badan saya berat….

Dulu pernah begini.
Guru selanjutnya adalah guru cowok suami si Mbak Guru Yoga Pertama. Dia ngajarin saya Iyengar sampai basic Hatta. Karena dia asalnya dari Gym, latihan dia lebih berat. Kayaknya tiap keluar dari kelas dia, saya berasa nambah otot lengan sekilo dua kilo…. Walau buat saya rate si Mas Guru ini yaaa biasa aja, saya enggak punya banyak pilihan kelas karena hanya kelas Iyengar dia yang jadwalnya cocok. Tapi si Mas Guru ini sabar dan selalu menekankan pada napas. Dia ngajarin kekuatan kita ada di napas yang terlatih. Dan memang untuk yoga, kalau enggak melatih napas, boro-boro itu kaki bisa mak pelanting ke atas.

Guru saya yang terakhir ya yang di kantor. Masih muda. Galak, kalau kata teman-teman saya. Kata saya sih biasa. Kayaknya galakan saya πŸ˜€ . Sesi dia lambat sekali karena satu-satu pose dibenerin sebener benernya. Dia ini yang sering nyuruh saya tarik dada lurus ke depan supaya punggung saya tidak rounding. Berbeda dengan guru-guru yoga saya yang lain yang ‘menerima’ bahwa setiap orang punya bentuk tulangnya sendiri, si mbak guru ini cenderung ingin sempurnah. Maka keluarlah teriakan, “tarik ke depan lagi dadanya, Mbaaaaaak!” Dan kalau saya sudah setengah mati masih diteriakin juga, saya akan berhenti melakukan pose dan tolak pinggang hahahahaha…. Mau apa lo?!

Kesimpulan saya sih sebaiknya memang berguru pada banyak orang supaya inputnya juga beragam. Pasti lah ada satu dua yang jadi favorit tapi yang namanya berguru ke banyak nggak akan ada ruginya. Seenggaknya jadi tahu mana yang nyebelin mana yang nyenengin πŸ˜› .

Kesimpulan saya lainnya, jangan berguru dengan youtube thok! Mereka tidak ada di dekat kamu ketika kamu melakukan pose. Kadang bisa berbahaya. Kadang misleading. Kenapa misleading? Karena kamu pikir posemu sudah benar padahal….pose tidur aja miring hahaha…

Berikut bonus pose saya di Swing Yoga yang setengah mati saya lakukan. Kalau kalian ada yang latihan Swing Yoga, ayok lah berbagi. Gimana sih cara menyukai aliran satu ini?

Leave a Reply