Menjadi Yogi #8

Disclaimer: saya belum bukan lah seorang yogi (atau yogini). Bukan pula ahli dalam dunia per-yoga-an (lihat kalimat pertama). Tulisan di seri β€˜Menjadi Yoga’ ini merupakan pengalaman saya sendiri untuk catatan sendiri.

SETAHUN!

Tidak terasa hampir setahun sejak saya belajar yoga. Gilak! Setahun saya bisa konsisten ikut kelas yoga walaupun kalau ditanya ada kemajuan apa setelah setahun belajar yoga? Jawab saya…enggak ada juga πŸ˜€ .

Tadinya saya pengin pamerin foto progress fantastik setahun saya gitu. Semacam ‘before after’. Setelah mantengin puluhan foto saat saya mencoba pose yoga -bahkan yang paling dasar pun- jidat saya jadi berkerut. Kok enggak ada bedanya setahun lalu dengan sekarang πŸ˜† . Padahal niatnya ikutan jejak para seleb yoga di instagram. Kalau saya lihat foto-foto para yogis di instagram ‘before after’ mereka, saya mah jauuuuh. Tahun pertama, pose mereka masih work in progress, kemudian di tahun kedua, pose mereka udah jago banget gitu. Saya curiga sih sebenarnya para yogi ini sebelumnya penari balet, atlet gimnastik, atau foto ‘before after’nya diambil setelah pemanasan 2 jam. #dengki

No. To be fair, I have progressed. Dari yang sama sekali enggak bisa membungkuk sampai menyentuh jari kaki, sekarang bisa sentuh jari kaki…setelah pemanasan 30 menit. Yang tadinya Vrksasana Tree pose saya semacam penari India, sekarang udah hampir sama seperti pohon ditiup angin sepoi-sepoi.


Lumayan.


Untuk merayakan setahun saya latihan yoga, dua minggu lalu saya memberanikan diri untuk ikut kelas yoga lain dengan guru yang berbeda walau masih di sanggar yang sama. Jadi di tempat yoga saya itu ada beberapa jenis yoga yang diajarkan: iyengar, hatha, bikram, swing -yang saya ingat. Kebetulan di hari yang saya bisa pulang cepat, jadwal yoganya hatha. Setelah gugel-gugel dan nanya ke adminnya, kayaknya saya masih sanggup lah ikut hatha tanpa terlalu kesulitan. Maka, muncul lah saya hari itu di kelas yang jadwalnya ‘hatha yoga’. Mana saya tahu kalau ternyata kelas hatha itu selang-seling dengan swing yoga alias aerial yoga?! Dan dari situ lah petualangan saya dimulai.

Jadi Swing yoga atau Aerial yoga itu jenis yoga yang latihannya menggunakan hammock. Posenya dilakukan di atas kain hammock, bukan di lantai. Melayang-layang gitu. Digantung-gantung. Muter-muter. Bayangin aja berdiri-duduk-tengkurap-rebahan di ayunan… Iya, bayangin gitu. Rasanya gimana? Kalau kalian naik wahana Halilintar di Dufan aja mabok kayak saya lupakan aja deh ngikut Aerial yoga πŸ˜₯ .

Kapok? Iya. Baru hari pertama aja saya sudah digantung dengan pose kaki di atas terlilit kain dan setengah badan serta kepala menggantung beberapa senti di atas lantai. Mau menggantung kakinya aja udah masalah sendiri. Melempar kaki ke atas itu susah, beb! Bayangin setengah badan mengglosor ke bawah sementara kaki harus mak jingkrang ke atas merangkul kain. Beberapa kali percobaan pertama saya…mual. Kaki naik juga enggak, mual iya. Ketika akhirnya kaki berhasil naik, masalah baru timbul: saya ngeri lihat lantai dekat banget sama hidung πŸ˜€ . Mual lagi.

Sebenarnya di kelas Iyengar saya sudah sering dibalik gitu sih. Entah kenapa di Aerial yoga ini tingkat kesulitannya dikali 10. Di Iyengar saya enggak pernah mual walau kaki ke atas kepala entah di mana. Di sini saya mual sampai harus duduk dengan kepala ditaruh di antara kaki. Rasanya udah pengin merangkak keluar ruangan aja kalau enggak malu dengan Aiko yang dengan asyik merekam seluruh kegagalan pose saya…

Untungnya Guru Aerial saya sabar banget. Dia ngasih tau apa yang saya lakukan belum benar sehingga timbul mual dan pose kaki masih mak jingkrang ke seluruh penjuru mata angin. Semacam pencerahan kenapa saya enggak bakal lolos ujian jadi pilot gitu.

Kesalahan saya pertama: Sejam sebelum latihan saya masih ngemil semangkuk bakso. Seperti juga pengalaman naik wahana apa pun yang bergerak di Dufan, jangan pernah makan dan minum menjelang naik wahana. Mending terusin makan bakso dan minum teh botol deh.

Kesalahan kedua: saya tidak mengaktifkan seluruh anggota badan dan terutama tidak mengaktifkan core perut saya. Kunci pose yoga memang di sini. Kita harus menyadari-merasakan pergerakan otot kita. Ketika saya menaikkan kaki ke atas, saya tidak mengencangkan core di perut, menarik otot paha, meluruskan telapak kaki, merenggangkan bahu, meluruskan tulang belakang, dan terutama mengatur napas. Jadinya ya macam untelan guling pengin bisa berdiri tegak lurus.

Setelah diberi pencerahan oleh Guru Aerial, saya mulai mengatur napas…perlahan…konsentrasi… napas perlahan…merasakan gerakan otot-otot saya… dan rileks. Begitu napas bisa teratur dan enggak lagi dihantui rasa takut jatuh, saya mulai bisa konsentrasi ke otot perut dan anggota tubuh lain. Yattaaaa! Berhasil naik tuh kaki ke atas dengan anggun lebih lancar. Malam itu pun saya lumayan puas dengan pencapaian di hari pertama.

Minggu berikutnya saya enggak ikutan lagi.

via GIPHY

Dua minggu berlalu tanpa Aerial yoga. Saya tetap ikut Iyengar seminggu sekali. Aman. Sampai kemudian seorang teman menawarkan yoga mat baru dengan harga super miring dan saya minta si Papap bayarin πŸ˜† . Si Papap bukannya iyain (ya menurut lo, Dep?! πŸ˜€ ) malah ngeledek. “Latihan cuma sekali seminggu aja mau beli yoga mat ala ala yogis seleb.” πŸ™„ Tapi saya akhirnya mikir juga sih. Masa cemen amat saya enggak mau nyoba lagi Aerial yoga?! Akhirnya demi yoga mat baru, saya pun pergi lagi ke kelas Aerial yoga. Hasilnya?

Saya berhasil melakukan pose ‘Wonder Woman’ di atas di sesi kedua Aerial yoga. Tanpa. Mual. Yessss!

Memang intinya sih jangan cepat nyerah gitu yah. Pengalaman pertama belum menyenangkan mungkin karena belum paham. Walau pemahaman saya tentang Aerial yoga ini belum sedalam Iyengar, saya merasakan di beberapa pose (yang sebenarnya sama dengan pose di Iyengar) penggunaan hammock membantu saya yang level fleksibilitasnya nol minus lebih mudah membentuk pose yang hampir sempurna tanpa merasa patah tulang. Triangle pose yang hampir selalu membuat saya berasa rematik, dengan melayang di hammock, saya bisa mencapai pose yang sempurna. Asik kan? Berbeda dengan kelas Iyengar di mana si Mbak Guru selalu menyebutkan nama sansekerta pose-pose yoga kami, di kelas Aerial ini Mbak Gurunya kreatif dengan nama-nama baru. Nama-nama posenya luar biasa: Superman, Wonder Woman, Kepompong, dan lain-lain πŸ™‚

Apakah saya akan coba lagi kelas Aerial? Iya kayaknya. Biar deh puasa dua jam sebelumnya. Saya merasa fleksibilitas terbantu.

Buat kalian yang ingin coba swing-swing di Aerial yoga, ada beberapa hal yang harus diingat sebelum ikutan. Beda dengan Iyengar, Aerial yoga ini tidak diperbolehkan untuk mereka yang punya masalah keseimbangan telinga, tulang belakang, cedera kepala, dan rasa takut ketinggian. Untuk kalian yang naik Gajah Beleduk Dufan aja mual, nah, mending jangan deh. Atau, coba dengan hati-hati. Kalau perlu lewati dulu pose-pose terbalik. Enggak usah gengsi gitu.
Kalau sudah coba pose paling mudah dan tetap mual? Ya enggak apa-apa.
Malu dong? Yakale. Yang mual bukan kita doang kok πŸ˜€ .

Terus, lanjut ikut Aerial nih?
Iya lah.
Biar bisa bobo kayak gini.

Leave a Reply