Setelah sebelumnya saya cerita panjang lebar tentang migren dan rasanya memiliki penyakit ini, sekarang saya mau cerita hal-hal lain di luar penyakit migren itu sendiri yang seringkali malah nambahin sakit kepala para penderita migren.
Apa aja yang sering nambahin sakit kepala kami?
Para komentator yang maha benar 😀 .
Komentar yang paling sering saya dengar setiap kali saya bilang migren saya kumat adalah…
“Sakit kepala ya? Gue kemarin sakit kepala juga tuh…”
Nnnnngg… Betul. Semua orang pernah merasakan sakit kepala. Walaupun migren adalah salah satu jenis penyakit yang penderitanya merasakan sakit kepala, sakit kepala yang dirasakan jauuuuh berbeda dari sekadar sakit kepala belum makan atau stress atau kepanasan atau kurang tidur atau sebal dengan teman kantor. No. Migraine is not just a headache. It’s a neurological disease.
Call it a headache one more time…?!
Komentar berikutnya tentang penyakit ini biasanya dimulai dengan, “udah…?”
“Udah ke dokter?”
Ya, menurut ngana setelah ngalamin serangan migren yang kayak frekuensi makan sehari?!
“Kok belum sembuh ya? Udah cari dokter lain?”
“Udah coba terapi bekam/akupunktur/lintah/nyongkel bagian yang sakit pake garpu….?”
“Udah ngurangin makan manis/asam/asin/teman?”
Komentar selanjutnya yang sering saya dengar berupa nasihat seperti…
“Banyakin olah raga. Olah raganya apa?”
Nope. Olah raga enggak bisa dibanyakin bagi penderita migren. Justru porsinya harus pas. Tidak boleh berlebih karena kalau berlebih malah bikin migrennya kumat. Yup. That’s right. Malah bikin migren kumat.
“Banyakin minum.”
“Banyakin tidur.”
“Banyakin duit.”
Kemudian, komentar salah kaprah berikutnya yang selalu sukses nambahin sakit kepala setelah kena migren yaitu komentar tentang stress. Banyak orang berpikir migren sama dengan stress. Betul bahwa stress bisa menambah level rasa sakit migren tapi migren muncul bukan karena stress. Biasanya kalau saya merespon saya tidak sedang stress, malah dianggap denial 😀 . Dokter syaraf saya yang pertama aja yakin banget saya stress dan bukannya migren. Sempat dikasih obat penenang yang bukannya bikin saya tenang malah bikin saya blingsatan kayak orang kebanyakan gula plus kafein.
“Elo pasti lagi stress.”
“Elo gak tau aja elo stress. Badan lo yang ngerasain.”
“Beneran deh. Diturunin deh level stress lo pasti migren lo hilang.”
“Santai aja gitu jadi orang. Jangan kebanyakan stress.”
Ada satu komentar juara yang luar biasa dampaknya buat penderita migren. Bukan hanya migren yang bakal bertambah level sakitnya, dosanya juga bertambah karena rasanya diri ini pengin berkata kasar. Komentar seperti apa, mau tahu?
“Hidup itu harus disyukuri. Jangan terlalu maksa harus ini itu. Banyakin berdoa. Kamu kurang bersyukur itu jadi stress dan larinya ke kepala…”
Yang paling sedih itu kalau orang yang diajak bicara tidak percaya rasa sakit kronis migren bisa sehebat itu. Saya pernah berusaha menjelaskan tentang aura yang saya alami setiap kali migren saya kumat. Komentar yang keluar malah menyalahkan.
“Ya jangan disugesti akan kumat gitu loh.”
It’s all in your head.
You are asking for it.
If you knew it would come, why didn’t you stop it?
Ignore it.
Saya pernah saking sakitnya, dokter UGD harus menyuntik saya langsung di ubun-ubun. So, no, I didn’t ask for it and it’s not only in my head.
Jadi gimana dong untuk menunjukkan simpati kepada teman yang menderita migren? Just, don’t compare your pain. Don’t assume you know more. Don’t act like you know how it feels.
Lebih baik tawarkan bantuan (“kamu mau diantar pulang?”) atau tanyakan bila temanmu butuh sesuatu (“Mau air hangat? Atau mobil baru?“).
Kalimat sederhana seperti, “sekarang rasanya gimana? Kasih tau ya kalau kamu butuh dibantu.” bisa menjadi oase di antara rasa sakit yang tidak tahu ujungnya di mana.
Please accept that a migraineur just can’t feel zen about being in constant pain. Please.