Baru seminggu lalu, seseorang, perempuan, menyapa saya di satu acara setelah saya mengenalkan Hikari dan Aiko ke dia dan beberapa orang lain. Hubungan kami sebatas urusan kantor dan kalau bukan karena acara yang bersamaan, kami tidak akan bertemu. Kali itu, saya membawa anak-anak.
“Wah, Mbak De’ ini ternyata anaknya sudah besar ya!”
Awalnya saya pikir dia mengacu ke Hikari. “Iya yang pertama sudah SMA, tapi masih ada yang kecil ini.”
“Maksud saya, yang kecil pun sudah besar.”
“Nngg…iya. Sudah SD kelas 1.” Jidat saya mulai berkerut.
“Padahal gayanya masih kayak perawan loh!”
Hmm. Oke. Mata saya spontan mencari teman saya yang seumuran dan saya yakin masih perawan. Gaya dan kelakuan dia kayaknya 11-12 sama saya.
Saya bisa lihat si pemberi komentar itu serius dengan ucapannya. Serius takjub. Takjub melihat anak-anak saya UDAH SEGEDE ITU dan saya masih waras riang gembira. Dia bolak-balik menatap anak-anak dan saya. Girl? Please?
Sebenarnya bukan pertama kali ini saya dengar penampilan dan kelakuan saya dikomentari. Seingat saya, komentar semacam ini dimulai sejak saya punya anak pertama. Belasan tahun lalu. Seorang teman (kantor juga) mengomentari penampilan teman perempuan lain yang berubah total setelah kelahiran anak pertamanya. Melihat teman ini, saya membayangkan dia habis memborong baju-baju baru dan membuang seluruh koleksi bajunya yang lama yang terdiri dari rok selutut, blazer lucu-lucu, celana model pencil cut, kaos-kaos lengan pendek banget. Sayang banget. Tapi jadi ada alasan buat belanja sih.Eh.
Demi melihat penampilan baru itu, teman saya ini berkomentar ke saya.
“Tuh gitu tuh kalau udah jadi ibu-ibu. Bajunya lebar semua. Penampilannya beneran pas kayak ibu-ibu.”
Hell, I was only in my mid twenties! 🙄
Jawaban saya waktu itu, word per word, “ah penampilan dia sama kayak elu. Padahal elu bukan ibu-ibu.”
Teman saya yang berkomentar itu lebih tua dari saya dan saat itu, sampai sekarang, masih single.
Pembalasan itu perih, Jenderal!
Entah bagaimana ceritanya sehingga masyarakat kita punya ekspetasi penampilan tertentu terhadap umur dan/atau status seseorang! Ekspektasi tuh mbokya ke prestasi gitu loh, bukan ke penampilan.
Saya pernah iseng bertanya ke teman perempuan yang lain yang juga tiba-tiba berubah penampilan setelah kelahiran anak pertamanya.
“Baju baru semua nih kayaknya?” Demi keisengan ini saya sampai rela masuk ke level kepo yang enggak pernah saya lakukan sebelumnya.
Teman saya ini malu-malu nyengir. “Iya. Kan sekarang udah punya anak jadi ya menyesuaikan.”
Sumpah, waktu itu saya ingin ngejar terus. “Menyesuaikan gimana maksud, lo?”
“Yaaa supaya jadi kelihatan dewasa…kan udah ada anak.”
“Jadi kemarin-kemarin elu belum dewasa? Sebelum anak lo brojol?”
“Ya enggak gitu sih…”
Untung saya sadar bahwa jawaban apapun dari dia tidak akan bisa memuaskan logika saya jadi saya memilih pergi dan melakukan pekerjaan lain yang lebih berfaedah, seperti mencari tahu siapa yang bakal menang hadiah Nobel tahun itu.
Semakin tua dewasa saya, semakin sering saya mendengar komentar-komentar serupa terhadap penampilan saya yang enggak seperti perempuan dengan dua anak gede-gede. Walaupun tidak imun terhadap komentar beginian, saya memilih bersikap bodo amat. Kalau mereka merasa mereka harus bergaya nenek-nenek begitu mereka punya anak (di usia 20an? Ha!) itu pilihan mereka. Lagipula, saya sendiri tidak paham penampilan yang kayak apa sih yang sesuai umur dan status itu?
Satu kali saya pernah dikomentari ‘kayak perawan’ saat memakai kaos polos lengan panjang dan celana jeans biasa. Saya sih senang aja dibilang kayak perawan 😛 . Nah, sepasang kaos dan celana yang saya pakai itu dibeli di Uniqlo Honjo, Saitama jaman belum ngetop kayak sekarang. Saya beli karena diskon musimnya sudah lewat. Yang lebih lucu lagi, model kaos dan celana itu di sono dipakai oleh…nenek-nenek! Nih, nenek-nenek di sono gayanya kayak saya gini 😀 .
Ya tapi kan itu di Jepang!
Jujur ya, ekspetasi yang diberikan kepada penampilan seseorang karena umur dan statusnya buat saya terdengar seperti percobaan pemasungan. Entah kenapa, komentar seperti ini selalu keluarnya dari perempuan juga, dalam kasus saya. Buat saya, seakan saya disuruh masuk ke kotak dengan label tertentu. Kalau umur lo sekian atau kalau elo udah punya anak ya elo harusnya begini begitu aja. Nih, gue aja begini.
Yeah. Right.
Padahal, kalau memang seorang (perempuan) diharapkan ada perubahan setelah, misalnya, menjadi ibu atau berusia sekian, yang berubah adalah kedewasaan dan kearifannya, kan? Kan? Kalian mau berubah penampilan kalau ngajarin anak 3 kalimat ajaib tolong-terimakasih-maaf aja enggak bisa ya bye aja lah. Gimana kalau kita mulai sekarang fokus ke hal yang lebih penting aja seperti kesehatan mental dan intelektual anak kita daripada ngurusin kayak apa penampilan si ibu baru yang di sana itu?
Bagi saya, penampilan saya harus membuat saya nyaman dan relevan. Relevan dengan konteks kegiatan saya. Kalau saya pas kerjanya lagi nyemplung ke air di pantai bertemu penduduk ya saya enggak akan pakai atasan batik resmi dengan celana panjang pantalon. Model baju gitu biasanya saya pakai ke meeting dengan lembaga pemerintah. Ya kecuali meetingnya di pinggir pantai sih 😛 . Kalau saya pas harus nongol di kelas memberi sambutan ya saya enggak akan muncul dengan celana pendek dan kaos polo. Itu baru model baju. Belum kelakuan, eh, tingkah laku. Waktu saya umur 20an ya saya ketawa ngakak seperti saya umur 20an coret. Masa gaya ketawa aja harus berubah ngikutin umur? Lama-lama kan jadi susah sendiri. Mau beli baju aja harus mikirin apa kata orang. Mau ketawa aja harus mikirin apa yang dipikirin orang. Capek itu, cuy!
Mau enggak capek? Tuh, contoh Bu Susi! Fokusnya ke hal-hal yang penting aja jadi prestasinya juga mendunia.
She is my ultimate idol. Ada yang berani bilang ke si Ibu beliau enggak bertingkah dan bergaya sesuai umurnya? 😀 😀 😀
Yang model saya kayak gini dibilang tidak sesuai pakem kestatusan dan keumuran. Jangan ditiru. It’s your loss 😀 .