Setelah Loki, saya mau bahas film lain yang -saya masih surprised- saya tonton sejak film pertama. Pitch Perfect 3. Berbeda dengan sekuelnya Thor, saya masih ingat sedikit-sedikit jalan cerita film-film Pitch Perfect dari film pertama. Padahal ini film ringan yang tidak dimaksudkan untuk dipikirin moral story-nya setelah nonton 😀 . Etapi di film ketiga ini, saya malah nyangkut dengan pesan sampingannya.
Di Pitch Perfect 2, satu adegan yang saya ingat banget yaitu waktu para anggota Bellas memilih untuk jadi mahasiswa abadi supaya bisa terus nyanyi di grup acapela ngetop universitas ‘Barden Bellas’ daripada lulus terus jadi pengangguran. Saat nonton itu saya sempat mikir ‘whoa, ada ya yang kayak gitu?!’
Eits. Jangan bilang itu hanya rekaan film. Coba ingat-ingat ada berapa orang di kampus dulu yang keasyikan ikut ekskul terus telat lulus? Dunia perkuliahan itu indah, Jenderal! Tidak sesadis dunia nyata di luar kampus. Menurut kalian kenapa ada orang yang begitu lulus S1 terus lanjut S2 terus lanjut S3 tanpa berhenti? Eh. *lirik-lirik* Okay, balik lagi ke PP3.
Cerita di PP3 ini lebih ‘kaya’ dibanding 2 film sebelumnya. Para Bellas yang akhirnya lulus kuliah itu mendapati dunia kerja sangat kejam dan mereka mendambakan momen-momen bisa merasakan kembali nyanyi bareng seperti masih kuliah dulu. Lalu, diundang lah mereka ke reunian Bellas…hanya untuk melihat Barden Bellas penerus mereka ternyata lebih ‘Young and Shiny’. Glek. Damn.
I can feel what the veteran Bellas feel 😀 .
Fast forward, akhirnya veteran Bellas ini sepakat manggung lagi walau hanya untuk kalangan terbatas, yaitu para tentara Amerika. Ya, ini sih bukan walau yak 🙄 . Saya aja yang enggak bisa nyanyi bakal usaha bisa nyanyi kalau bisa manggung di depan situ… Di ujung film, akhirnya veteran Bellas ini sadar. Tiada guna mengenang-kenang masa muda di kampus dulu karena mereka memang enggak muda lagi. Mendingan mencari kesempatan di depan mata sambil meraih masa depan gemilang. Eh, ini kok jadi iklan masyarakat gini? 😛
Nah, saya mau cerita pencerahan yang saya dapat waktu nonton ini. Waktu scene veteran Bellas bertemu dengan new Bellas, saya jadi ingat percakapan dengan seorang teman soal junior-junior di kantor. Kami berbeda kantor tapi di sektor yang sama. Teman saya ini bilang sekarang sudah ogah nanya ke staf baru soal: “Lulusan mana? Lulus tahun berapa? HAH APAAAAH KAMU BARU SEKIAN TAHUN UMURNYA?!”
“Gue merasa tua banget, De. Padahal kan gue belum tua.” Lalu dia menangis di pundak saya. Nnnggg…beneran. Dia layu di pundak saya tapi nangisnya sih bohongan. Dan beneran juga kami dia belum tua. *trus ada yang teriak ‘umur itu hanya angka ka ka ka…*
Yang dia alami di kantornya, saya alami juga. Bedanya, saya hampir enggak pernah nanya orang baru soal kuliah di mana, lulus tahun berapa, atau umurnya berapa. Saya malah yang sering ditanya dan tentunya saya akan respon dengan, “I am a Russzzian and I dhon’th undhersthandh yourzz qhuesszion.”
Pengalaman saya sendiri di beberapa tempat kerja, duluuuuu, saya biasanya jadi salah satu yang termuda atau malah beneran yang paling muda. Entah ini karena saya salah sektor atau memang karena teman seumur saya ogah masuk ke sektor pekerjaan saya 😀 😀 😀 . Pernah, satu kali, di acara office outbound team building untuk mid-level manager, tetua outboundnya sebelum memberikan siraman motivasi nanya ke peserta outbound.
“Tunjuk tangan yang umurnya sekiaaaaan!” Lalu dia mulai dari angka tertinggi sampai angka terkecil aka termuda.
Tanpa curiga, saya tunjuk tangan.
Ternyata, dari seratusan orang, cuma saya yang tunjuk tangan. Bangga, enggak, malu, iya.
Karena seringkali jadi (salah sedikit) yang termuda di kantor yang dulu-dulu, saya jadi terbiasa bergaul dengan senior-senior yang pengalamannya sudah mumpuni. Asyik gitu. Jarang keluar hal yang bego-bego dari mulut mereka karena pengalaman minim. Mungkiiiiin, dulu, justru saya yang dikasih muka, ‘udah deh iyain aja. Anak kecil ini emang sok tau dan belum pernah ngemut garam.’ Tapi dulu saya enggak nyadar. Hehehe…
Menonton Pitch Perfect 3 ini membuat saya sadar bahwa tahun-tahun saat saya menjadi bagian yang sedikit dari staf muda di kantor sudah lewat dan tidak akan kembali. Tapi, satu hal yang tidak akan pergi, malah bertambah adalah pengalaman. Seperti saat saya ngobrol dengan senior-senior saya zaman old, pengalaman mereka tidak bisa ditukar dengan usia muda. So, life is fair.
Satu hal lagi yang juga bikin saya ngebatin. Sekarang ini, justru staf sekaliber seumuran saya yang jumlahnya lebih sedikit dibanding staf-staf muda kinyis-kinyis di kantor. Jadi, ini artinya apa? Artinya, banyak perempuan yang meninggalkan karir dan pekerjaannya untuk (mungkin) urusan domestik. Artinya, staf perempuan muda di kantor sedikit sekali berkesempatan mendapatkan senior staf perempuan yang dapat mereka jadikan role model. Padahal, saat seorang staff baru memulai karir, dia seharusnya bisa membayangkan 5, 10, 15 tahun lagi dia ingin seperti apa. Seperti artikel ini menulis:
A good workplace is one in which you can look around and see versions of yourself five years from now, or ten.
Jadi, nanti kalau saya bertemu teman saya yang pernah nangis di pundak saya (terus dibahas) itu, saya mau bilang ke dia bahwa dia seharusnya bangga dengan keseniorannya karena dia sekarang semacam…Yoda.
Hhh…kayaknya saya enggak bakal selamat kalau bilang gitu…