Penulis Tanpa Media

Obrolan ngalur ngidul dengan teman yang mantan jurnalis lapangan internesyonel berujung di pertanyaan, “kapan tulisan lo terbit lagi, De?”
Pipi saya langsung terasa digampar pakai sendal jepit. Yang tipis aja biar enggak terlalu sakit.

Seperti biasa, saya ngeles dengan jago.
“Nulis novel itu butuh waktu. Lama. Gimana coba dengan kerjaan gue sekarang ini yang butuh perhatian gue seratus dua puluh persen? Hah? Hah?”
“Ngeles aja lu!”

Iya. Dia paham saya cuma cari alasan πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€ .

“Eh elo kan enggak perlu nulis panjang juga. Cerpen lo mana? Kalau cerpen kan enggak perlu waktu lama dong?!”
Yah, dia masih lanjut. “Ada. Di kepala gue.”

Nah, kalau soal yang ini saya enggak cari-cari alasan. Cerita-cerita itu bertebaran di kepala saya, menunggu.

Saya pikir teman saya itu akan langsung membabat alasan saya soal cerita di kepala. Ternyata dia malah mengangguk-angguk.
“Iya ya. Susah ya cerpen itu.”
“He? Susah?” Ngenyek nih.
“Iya, susah kan buat penulis sekarang mengeluarkan cerpen dari kepala. Mau ditaruh di mana?, coba?!”
“Di mana? Maksudnya?”
“Maksud gue, media apa yang sekarang punya kolom cerpen? Penulis cerpen sekarang mau mempublikasikan tulisannya di mana? Maksud gue, bukan kumpulan cerpen yang diterbitkan sebagai novel ya.”
“Ah!” Sergah saya sembari menyebut nama sebuat majalah ngetop di Indonesia.
“Udah hampir gulung tikar!”
Saya kaget juga. Mencoba mencerna informasi dari teman saya.
“Dari dulu juga enggak banyak majalah atau koran yang mempublikasikan tulisan kreatif kan? Nah yang jumlahnya sedikit itu mulai menghilang. Kasihan ya penulis sekarang… Bukan elo. Gue sih enggak kasihan sama elo.”
Kampret.

Cerpen Majalah Femina
Sebenarnya saya tahu penulis cerpen bisa menulis di mana saja. Di selembar bon belanjaan. Di notebook kecil yang ke mana-mana saya bawa. Di hape. Di platform sosmed mana pun. Di blog, yekan? Sekarang, pertanyaannya, bila media cetak berguguran gulung tikar dan media online tidak lagi mempunyai kolom cerpen, di mana penulis bisa mempublikasikan tulisannya secara profesional? Tulisan yang dipublikasikan oleh media yang sudah punya nama artinya tulisan tersebut telah melewati seleksi oleh pihak lain. Ini jelas beda dengan tulisan sendiri yang dipublikasikan di laman sendiri. Publikasi oleh media ini semacam penerimaan sebagai penulis kita sudah lolos uji kelayakan publik.

Ah, tapi, mungkin, pandangan saya ini sudah ketinggalan jaman, eh, zaman. Mungkin penulis cerpen zaman now toh tidak butuh karyanya dipublikasikan di media lagi. Bagaimana menurut kalian? Saya tanya teman saya itu tapi dia juga tidak bisa kasih pencerahan. Nyebelin memang dia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *