Saya spontan ngakak baca twitnya Mas Agus Mulyadi (Mas…kayak kenal hehe) tentang satu film yang kayaknya film Indonesia. Ngakaknya saya itu karena ingat kejadian yang sama di sekolah Aiko. Kalau hanya lihat dari daftar absensi siswa, pasti kelas Aiko disangka bukan di Indonesia. Padahal ya semua makannya nasi dan tempe, dicampur kentang goreng sedikit 😀 .
Bukannya saya enggak pernah kepikiran karena menamai anak saya dengan nama Jepang gitu. Lah ya abis gimana? Itu nama pemberian Sensei saya dan punya sejarah penting. Sewaktu saya hamil Aiko, dua dokter kandungan saya bilang anak saya laki-laki. Saya juga rasanya begitu. Wong jabang bayi ini blangsakan di perut sampai saya harus bolak balik bed rest di rumah sakit. Lalu, dua Sensei saya jaman saya tinggal di Honjo pun memberi nama. Semua nama bayi laki-laki. Dari Tsubasa sampai nama apa gitu yang susah banget. Salah seorang Sensei terus menulis surat (di kertas, pakai kantor pos kirimnya!) dia menyisipkan satu nama bayi perempuan JUST IN CASE.
Sembilan bulan sebelum lahiran, dokter kandungan saya tiba-tiba berseru, “Eh ya ampun! Ini bayinya perempuan!”
*krik krik krik*
Begitu lah terjadinya nama Aiko, satu-satunya nama perempuan yang ada di list. Kemudian, si Kumendan, Bapak saya, sudah titip nama tengah. Anadia. Artinya ‘hope’. Oleh si Papap diplesetin jadi Anaknya De dan Za 😛 .
Teman-teman saya sering meledek betapa orang kelurahan bakal bingung lihat Kartu Keluarga kami yang isinya ibu Rusia anak Jepang. Kalau soal nama saya sih ya mau gimana lagi. Kayaknya nama saya itu satu-satunya memori si Kumendan tentang masa mudanya di Odessa yang tertinggal karena semua buku, musik, dan foto-foto disimpan rapat di lemari yang enggak pernah dibuka lagi. Arti nama saya aja sampai sekarang saya enggak tahu. Si Kumendan enggak pernah mau cerita. Kalau versi Si Mami, nama saya itu nama bekas pacar si Kumendan hehehehehe…
Ya sudah lah ya. Jadi saya yang Rusia ini punya anak Jepang 😀 .
Lalu gimana dengan Hikari? Hikari kan nama Jepang banget.
Sejarah nama Hikari lebih lucu lagi.
Suatu hari saya nonton film semacam karate kid gitu tapi film Jepang. Itu jaman saya masih kuliah. Saya lupa nontonnya di mana, sama siapa, dan bagaimana jalan ceritanya. Yang saya ingat jagoannya, anak abege Jepang itu, namanya Hikari. Artinya cahaya. Saya langsung jatuh cinta dengan nama Hikari. Waktu itu saya bersumpah siapa pun suami saya, nama anak laki saya harus ‘Hikari’! Huehehehehe…. Padahal bapaknya belum ketahuan.
Waktu saya dan si Papap akhirnya menikah, saya ceritain obsesi saya pada nama ‘Hikari’. Si Papap langsung setuju. Kata dia daripada pakai nama Ricky (saya waktu itu lagi kesengsem berat dengan Ricky Subagja) dan ada kemungkinan ketemu dengan orangnya, mendingan nama Hikari lah. Begitu lah nama Hikari diberikan pada anak laki saya itu.
Hikari. Cahaya. Bagus kan?
Kata Hikari, “enggak.” Kurang manly.
Yawlaaaa anak abege gue bisa bilang namanya kurang manly! 😀 😀 😀
Pada suatu hari di perjalanan kami menuju sekolah barunya, SMAnya, Hikari tiba-tiba membahas namanya.
“Mam, kenapa sih namaku Hikari?”
“Karena Hikari artinya bagus. Cahaya.”
“Tapi kan itu nama unisex.”
“Kalau unisex kenapa memangnya? Nama kamu itu keren, loh!”
“Bukan soal keren! Aku enggak perlu nama keren!”
“Terus?”
“Namaku tuh sekarang kurang manly.”
Si Papap yang lagi nyetir terus keselek.
“Aku maunya nama yang lebih laki.”
“Nama apa misalnya?”
“Apa lah. (terus dia keluarin nama-nama Jepang dari film anime). Junichiro, misalnya.”
“Apa artinya?”
“Enggak tau tapi kan namanya laki-laki.”
Si Papap memotong. “Ya nanti kamu kalau punya anak kamu kasih nama dia Junichiro.”
“Maksudkuuuu…ini kan kita baru mau daftar SMA. Bisa enggak aku langsung daftar pakai nama Junichiro? Jadi nanti pas hari pertama aku kenalin diri namaku Junichiro!”
Kadang saya bingung…. anak ini jenius banget anehnya… 🙄