Menjadi Yogi #1

Disclaimer: saya belum bukan lah seorang yogi (atau yogini). Bukan pula ahli dalam dunia per-yoga-an (lihat kalimat pertama). Tulisan di seri ‘Menjadi Yoga’ ini merupakan pengalaman saya sendiri untuk catatan sendiri.

MENDADAK YOGA

Awal tahun lalu dokter syaraf saya yang baik dan kadang lucu memberi ultimatum kepada saya untuk menyerahkan diri melakukan MRI. Setelah sekitar setahun saya rutin bertemu dia sebulan sekali untuk mengadukan migren yang makin membandel, Dokter S mencurigai migrain hormonal saya telah disusupi oleh kondisi lain yang membuat saya mengalami episode migrain lebih dari satu kali sebulan dan/atau lebih lama dari biasanya. Si dokter pun mulai menginterogasi.
Dokter S: “Kemarinan makan apa? Dicatat enggak?”
Saya: “Biasa, Dok. Rendang Padang, bebek sambal ijo, iga tepung penyet…”
Dokter S: “……….kan. Saya jadi laper….”

Setelah menginterogasi, memencet pundak dan leher saya sampai saya nyumpah-nyumpah, Dokter S menyuruh saya rontgen. Dugaannya benar. Ada penglihatan aneh di leher belakang.
“Saya kasih obat tapi begitu sakit lagi harus balik ke sini! Kita MRI pas lagi sakit-sakitnya supaya kelihatan apakah syaraf kejepit atau hanya pengapuran.” Percakapan itu terjadi bulan Maret. Hehe… Sejak itu saya belum sempat kembali ke dokter karenaaaaa setiap kali haid (yang kemudian mencetus migren) saya sedang di luar kota.

Bulan Juli datang dan saya mengalami episode migren parah yang membuat saya muntah-muntah sampai harus meninggalkan acara. Sayangnya saat itu saya di Yogya sehingga tidak bisa langsung cuuuus ke Dokter S. Balik ke Jakarta, migrennya kelar 😀 . Bulan Agustus migren saya kumat lagi saat saya di Semarang. Pinter banget dah. Percuma saya balik ke dokter karena saya harus menunggu episode sakit berikutnya untuk bisa MRI. Saya bete banget karena sadar saat itu saya jadi seperti seorang masokis yang menunggu-nunggu rasa sakit datang. Di saat itu lah saya merasa harus melakukan intervensi. Intervensi saya adalah…menyuruh Papap mengarahkan mobil ke sebuah sanggar Yoga dekat rumah yang baru saya tahu ada gara-gara enggak sengaja lewat… 😀

Hari Minggu yang absurd gitu saya berani-beraniin masuk ke sanggar Yoga dan setelah nanya-nanya biaya, jenis yoga, gurunya, jadwalnya, saya entah kenapa langsung aja bayar. Padahaaaaaal…saya tidak tahu apa-apa soal yoga dan jadwal latihannya bakal bikin saya lari sprint dari kantor. Itu masih bagus bisa sprint, bisa jadi saya akan bolos beberapa kali sebulan karena saya ada di luar kota 🙄 .

Sebenarnya pernah beberapa kali saya diajak ikutan yoga tapi saya selalu menolak. Selain mahal (haha), saya lebih tertarik dengan olah raga yang dinamis macam aerobik, zumba, kickboxing (cum laude ini sih), atau sekedar naik sepeda statis. Bayangan saya di latihan yoga saya harus duduk diam-diam lama sambil meditasi. Mana tahan, Mz! Setelah itu setidaknya ada dua orang teman saya yang cerita mereka malah muntah-muntah dan sakit setelah ikut yoga pertama kali. Okay. That’s it! Saya noleh pun enggak ke kelas yoga di gym. Kemudian, jreng jreng, sampai lah saya pada kenyataan bahwa jenis olah raga lain yang rajin saya ikuti ternyata tidak menghilangkan migren saya (berkurang sedikit sih) dan tidak membuat saya kurus juga. Hanya yoga yang belum pernah saya coba.

Saat datang untuk nanya-nanya itu, saya dikasih tahu jenis-jenis kelas yoga di sanggar itu. Saya minta rekomendasi yoga untuk pasien dengan masalah tulang belakang. Saat itu lah saya baru mendengar nama Iyengar Yoga. Singkatnya jenis yoga ini ditujukan untuk pemula dan digunakan untuk memperbaiki postur tubuh. Iyengar yoga juga menggunakan alat-alat untuk membantu latihan. Intinya, kata si Mbak pengurus sanggar, yoga jenis ini cocok buat saya.

Yang pertama saya lakukan begitu menyadari kelas yoga pertama saya hanya beberapa hari lagi, saya panik. Pakai baju apa gue?! Iya, ini penting 😀 . Saya dengar -iya saya banyak dengar mitos lah- pakaian yoga berbeda dengan pakaian olah raga yang biasa saya pakai jogging, biking, atau malah zumba. Ini artinya…..alasan untuk belanjaaaaa! Haha! Pergi lah saya ke mall dan memasuki satu demi satu toko. Ternyata semua pakaian berlabel yoga sama persis dengan baju sepedaan saya huehehehehe….Tapi akhirnya saya membeli satu item yang maha penting. Apa itu? Yak. Sport bra.

Jadi gini. Menggunakan sport bra yang bagus sangat penting supaya kita bisa konsentrasi melakukan gerakan-gerakan penting tanpa terganggu tali melorot misalnya atau yang lebih nyebelin itu gerakan terganggu oleh bra yang tidak berada di posisi yang benar. Tentang apakah sport bra yang digunakan menggunakan pengait atau tanpa pengait aja hal yang penting, gaes! Pengalaman saya sport bra dengan pengait bakal bikin saya merasa terganjal di tulang belakang. Sialnya, bila kita pakai sport bra tanpa pengait, untuk memakai dan melepasnya yawlaaaaaa perjuangan 5 menitan sendiri. Melepas sport bra berbahan lengket di badan tanpa pengait saat kondisi badan keringetan itu susah, Jenderal! Kalian cobain aja sendiri! 🙄

Harinya pun tiba ketika saya kudu masuk kelas pertama kali. Ebuset kelasnya rame banget padahal saya ambil kelas malam. Telat 5 menit pulak. Bawa Aiko pulak. Halah.
Tanpa paham saya harus pakai alat apa saya langsung aja duduk di satu matras kosong dan celingukan mengikuti pose satu kelas yang sedang duduk bersila sambil merem. Saya enggak berani merem. Takutnya bablas trus yang lain sudah mulai pose apa saya masih duduk anteng merem kan enggak lucu. Dua menitan kemudian pose duduk bersila selesai dan gurunya mulai instruksi pose-pose lain. Dengan sabar dia mengambilkan peralatan yang harusnya saya ambil sendiri dari lemari hehehehe… Peralatan yang diperlukan untuk Iyengar yoga ini setiap kalinya adalah matras, blocks, handuk-handuk tebal, dan tali. Ada juga tali-tali model tali pramuka yang terpasang di dinding tapi itu nanti deh.

Dua jam pengalaman pertama saya dengan yoga saya merasa…..pengin nangis melolong-lolong. Ya ampuuuuuun tolooooong otot-otot saya berasa kayak kebakar. BUT I LOVE IT. Sejak kelas pertama itu, saya baru sudah 3x ikut sesi dan 1x ikut kelas pilates, karena ingin tahu. Saya pun mulai rajin baca-baca soal yoga dan pose-posenya. Juga mulai menghapal nama-nama pose biar enggak terlalu sering bengong saat guru saya itu menyebut satu nama pose 😛 . Sadar karena jadwal kantor bikin saya hanya bisa ikut satu kelas seminggu, saya print pose-pose pemula dari internet untuk saya latih di rumah. Youtube juga banyak video tutorial latihan yoga untuk di rumah. Cuma nyari video di Youtube tuh peer banget karena banyak video yoga yang lebih banyak ngomongnya daripada gerakannya 🙄 . Semua bahan latihan saya ambil dari sumber luar karena sumber dari Indonesia susah banget carinya.

Lalu apa hasil 3x masuk kelas yoga, 1x kelas pilates, dan tiap hari latihan yoga di rumah sampai jatuh-jatuh? Alhamdulillah sudah dua kali jadwal migren berhasil saya lewati tanpa rasa sakit. *sungkem*

Di postingan berikutnya seri ini saya mau cerita perjuangan saya latihan yoga. Sekarang saya mau bobo dulu. Ini badan sakit semua abis jatuh-jatuh latihan tadi 😥 .

Kalau butuh bahan bacaan, beberapa website yang sering saya kunjungi:
Sekilas tentang yoga.
Mitos tentang yoga. Ini lucuk banget, Kak!
Yoga Journal.
Iyengar yoga for beginners.

Ini saya berhasil pose ‘Tree’ alias Vrksasana di Fort Rotterdam, Makassar. Belum sempurna but I’m getting there…after 100 more exercises 😛 . Mana tepuk tangannyaaaaaa?

A post shared by dmariskova (@dmariskova) on

Leave a Reply