Generasi yang Relevan

The road to the light is lonely.
Beberapa tahun belakangan ini setiap kali silaturahmi acara keluarga macam lebaran, saya menyadari betapa konyolnya saya karena masih sering terkaget-kaget mendapati para pakde, bude, om, dan tante seakan terlihat menua dengan drastis setiap kali bertemu.
“Ya eloooo munculnya sekali tiap beberapa purnama. Jelas aja pada keliatan makin tua!”
Begitu saya disemprot adik si Mami yang hampir seumur saya. Bisa jadi begitu karena saya memang termasuk yang jarang kumpul dengan berbagai alasan males. Kesalahan saya -saya pikir- adalah tanpa sengaja saya menghentikan waktu di saat saya berumur dua puluhan tahun sehingga yang saya ingat adalah wajah, tingkah laku, kebiasaan, sampai cara pandang para kerabat yang lebih tua di jaman saya baru lulus kuliah itu. I just froze them in that moment.

Tapi, pembelaan saya, ternyata saya tidak sendiri. Para kerabat yang lebih tua ternyata mengalami gejala yang sama. Mereka hanya ingat saya menikah tapi selalu terkaget-kaget melihat Hikari sudah merangkak, jalan, lari, sekolah, dan HAH sudah ada adeknya?! Padahal setidaknya dua kali setahun tiap lebaran kami bertemu 😥 .

Saya sampai hapal pertanyaan template setiap tahun:
“Kerja di mana sekarang?” (Mereka hanya ingat kantor saya pertama)
“Anak-anak kelas berapa? HAH?! Hikari sudah SMA?! Aiko sudah SD?!” (setiap tahun hanya ganti level sekolahnya aja)
“Hikari mau kuliah apa nanti?”
“Kamu gemukan ya?” 🙄

Poin Hikari (atau nanti Aiko) mau kuliah apa nantinya akan berlanjut dengan pertanyaan tentang pekerjaan. Entah karena saya dari keluarga besar militer, hampir seluruh anggota di keluarga besar berasumsi Hikari pasti akan jadi tentara. Buat mereka, tahapan hidup sudah jelas terang benderang: SMA ambil jurusan IPA. Lulus SMA. Daftar AKABRI. Lulus AKABRI. Jadi tentara.

Beberapa lebaran lalu saat kami sedang bersilaturahmi dengan para kerabat tua (kalau tante saya baca pasti disambit sandal), salah seorang pakde saya menasihati Hikari yang sedang asyik main game di ipad.
“Hikari, jangan keseringan main game. Matamu rusak kalau keseringan. Nanti enggak bisa masuk ABRI!”
Dan Hikari menatap saya bingung. Apa itu ABRI? Apa aku harus masuk ABRI?
Saya enggak tega aja bilang ke Pakde bahwa waktu beliau daftar dulu masih ABRI tapi pas beliau pensiun namanya sudah TNI 😀 .

Lebaran lagi di tahun lalu, begitu tahu Hikari sudah di SMA, pertanyaan kembali ke mau kuliah apa? Di mana?
Dan Hikari dengan seluruh ide di kepalanya bilang, “Masih berpikir yang ini atau itu. Makanya aku mau ikut homestay dulu sebelum kuliah.”
“Homestay?”
“Iya. Kayak pertukaran pelajar gitu.”
“Ke mana?
“Amerika? Inggris? Jepang? Australia juga boleh sih.”
Dan si penanya, kerabat saya itu, hampir sakit jantung.
“Terus sekolahnya?”
“Cuti setahun. Kan aku sekolah juga di sana.”
Si kerabat menoleh ke saya. “Jadi nanti lulusnya telat? Dia dapat ijasah apa dari pertukaran pelajar itu?”
“Enggak ada. Itu kan cari pengalaman supaya nanti dia…”
“ENGGAK ADA IJASAH?! BUAT APA IKUTAN KEGIATAN KALAU ENGGAK ADA IJASAHNYA?!”
“Ya tapi dia akan punya pengalaman setahun di lingkungan yang…”
“ITU KAN SAMA DENGAN JALAN-JALAN! ENGGAK SEKOLAH HANYA UNTUK JALAN-JALAN?!”
“Pengalaman…”
“KALAU MAU JALAN-JALAN CUKUP LIBURAN AJA KAMU AJAK KE SANA!”
Ah sudahlah 😀 .

Di kesempatan lain, dengan orang yang lain, kami diberikan wejangan sekaligus daftar pekerjaan idaman. Mungkin dengan maksud saya dan Papap harus mengarahkan anak supaya kuliah yang akan membuat mereka diterima di pekerjaan itu.
“ABRI.”
Hayah. ABRI lagi.
“Anaknya teman tuh kerja di bank ini sekarang jadi itu. Sama kan kayak papanya!”
Si Papap melengos sopan.
“Dia di bagian keuangan. Bisa lah Hikari belajar akuntansi.”
“SDM. Bagian yang penting itu.”
“Kalau punya uang jadi dokter.”
“Kuliah Manajemen. Bisnis. Psikologi….”
Saya sampai kuatir kerabat saya pingsan ketika mendengar Hikari polos menyahut mau belajar gambar aja.

One of Hikari’s drawing of himself.

Bukan salah generasi orang tua saya yang menganggap kondisi lapangan kerja 3, 4, 6 tahun lagi masih sama dengan puluhan tahun lalu saat mereka memulai kehidupan bekerja. Melamar pekerjaan lewat email aja tidak bisa dibayangkan oleh mereka, apalagi kalau diberitahu berapa banyak pekerjaan yang ada sekarang bakal hilang beberapa tahun lagi! Saya dan Papap sendiri menjadi bagian dari kelompok yang terengah-engah mengikuti perkembangan jaman ketika perkembangan teknologi lebih cepat daripada kemampuan kami memahami smartphone terbaru. Ketidakpahaman ini kadang membuat kami nervous apakah kami cukup memberikan bekal kepada anak-anak? Tapi, bagaimana kami bisa membekali mereka kalau kami sendiri tidak tahu kondisi di masa depan akan seperti apa? Menjadi orang tua sekarang ini akhirnya mempunyai tugas untuk membuat anak-anak mereka relevan di masa mereka bekerja nanti.

Bagaimana cara membuat anak-anak relevan di masa depan?
Ada beberapa kata kunci yang pernah saya baca: softskills, relationship with people, highly adaptable to different environment, specialist, creativity.
Masih banyak lagi yang harus kami pahami untuk bisa sedikit mengintip seperti apa masa depan anak-anak nanti. Wis, saya mau baca-baca lagi. Kalau ada ide, tolong dibagi, yes?

*reading mode*
Tomorrow’s important skills.
Skills for 2020 (and 2020 is right ahead that corner).
The Future of Jobs.
Jobs that are still there.
Is your job about to disappear?

Leave a Reply