Capacity Building Penting. Buat Lo.

Beberapa bulan ini kantor saya punya program pelatihan Capacity Building untuk karyawannya yang jumlahnya enggak seberapa itu. Tujuan CB kantor saya ini standard lah seperti organisasi lain. Penyegaran. Pencerahan. Pengembangan kapasitas karyawan. Team building. Biar rame.

Pertemuan pertama -yang bahkan bukan sesi pertama- sudah kacau karena kami tidak kunjung menyepakati jadwal sesi pertama. Lah bagaimana mau menyepakati jadwal kalau setiap tim di kantor punya jadwal beda-beda ? 🙁 Sebagai anggota tim yang jadwalnya lebih sering tidak di kantor dibanding ada di kantor, jidat saya sudah berkerut duluan yang berhadiah disemprot HRD. Saya curiganya sih dengan muka saya yang kayak gini, saya dianggap tidak berusaha mendukung kesuksesan program adiluhung kantor kami. Ya sudah. Saya mengalah untuk mencari apps untuk mengkloning diri saya saja.

Yang tidak diketahui teman-teman saya saking juteknya muka saya karena tidak berhasil mencari jadwal kosong, jujur menurut saya pelatihan CB sangat penting dilakukan rutin oleh perusahaan dengan alasan yang walaupun standard tapi benar adanya. Seseorang yang sudah bertahun-tahun bekerja di tim yang sama, melakukan hal yang sama, berada di kondisi yang sama, akan kehilangan sensitifitas pada pekerjaannya. Kehilangan rasa pada pekerjaannya, entah itu rasa khawatir akan kesalahan, rasa bangga karena punya ide bagus, dan terutama rasa nervous di dalam dirinya karena sudah terlalu nyaman. Padahal, rasa nervous ini yang membuat seseorang berada dalam kesadaran penuh kenapa dia harus melakukan pekerjaannya tanpa kesalahan.

Bila sekarang ini saya menjadi obyek yang diberikan pelatihan, beberapa tahun lalu saya pernah menjadi subyek di belakang pelatihan CB walaupun bagian saya kecil hanya mengurus bagian skills. Dengan menjadi subyek, saya mengerti susahnya membuat karyawan sukarela mengikuti pelatihan. Kalau dilakukan survey dengan pertanyaan ‘apakah pelatihan CB penting?’ semua akan menjawab, “Penting, Jenderal!”
“Tapi?”
“Enggak ada tapi! Pelatihan CB penting kok! Buat teman saya tuh. Ya ampoooon, teman saya itu yaaaa…udah males, bego, bolos mulu pulak!”
Iyes, pelatihan CB penting. Buat orang lain. Bukan buat gue! Gue ini udah karyawan teladan banget, tau gak sih looo….

Sebenarnya template pelatihan CB juga standard siapa pun pengisi pelatihannya. Saya membagi pelatihan CB ke 4 fase:

  • Penyadaran. Sejenis exorcism gitu 😀 . Di fase ini yang maju para motivator paling handal yang dimiliki EO. Si motivator akan memulai sesi dengan ‘kenapa’? Kalau ada peserta yang tanya, dia akan jawab dengan pertanyaan atau dengan kata-kata mutiara. Begitu terus sampai sesinya habis. Semacam Zen Master gitu lah.
  • Pencucian otak. Peserta disuruh mengosongkan gelasnya dulu supaya bisa diisi dengan air jernih yang baru. Jangan heran kalau ada peserta yang menatap nanar pada botol air mineral di depannya sambil berpikir salah apa si air ini sampai harus gue buang?
  • Ketrampilan. Nah, di sesi ini para ahli-ahli ketrampilan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan di organisasi itu akan didatangkan untuk memberikan tips yang bisa langsung dipraktekkan seumur hidup hanya dari sesi yang diberikan 2 jam. Ini bagian saya. Saya ahli dalam memberikan tips bagaimana menuliskan riwayat hidup sehingga peserta bisa menemukan jati dirinya.
  • Main yang bermakna. Jujur, ini sesi yang menyebalkan buat saya baik sebagai pelatih maupun sebagai peserta. Haha… Building a structure from red paper cups as a group work is not my thing. Throwing myself voluntarily to a bunch of strangers as a sign of trust is not my thing. Batman understands this well.

Balik lagi ke pelatihan CB di kantor saya, ada cerita menarik ketika sesi-sesi sudah dimulai. Di salah satu sesi, pelatih membuat kami bercerita tentang diri kami karena menurut dia cerita itu lah yang membuat kami unik. Yang membuat kami berbeda, kuat, bermakna. Responnya macam-macam. Ada yang enggak bisa berhenti cerita. Ada. Yang kayak gini adaaaaa. Ada yang bingung harus cerita apa karena merasa ‘ya cerita gue gini-gini aja sih’. Ada yang enggak mau cerita sama sekali. Ada yang enggak lucu walaupun mau cerita. Ini saya. Satu hal yang saya tangkap dari beragam respon saat itu, tidak banyak yang sadar bahwa cerita adalah suatu kekuatan maha besar yang bila dikuasai dan dilakukan dengan baik akan membantu orang tersebut ke jenjang karir yang lebih baik. Kenapa? Karena orang akan bekerja dengan sepenuh hati bila dia merasa mempunyai pandangan atau shared value yang sama dengan organisasi (orang) yang menyuruhnya bekerja.

Tidak percaya? Coba google keyword ‘management by storytelling‘. Mungkin setelah itu kalian malah bisa jadi motivator pelatihan yang memulai sesinya dengan “Dulu saya berpikir pelatihan semacam ini penting. Buat orang lain.”

Leave a Reply