Bagi keluarga kami, saya dan Papap, les musik itu mahal.
Bukan hanya mahal, tapi mahal banget. Masuknya ke kategori barang mewah.
Les musik itu tidak sekadar bayar uang bulanan saja. Kalau kita mulai les musik, berarti kita harus beli bukunya dan yang paling penting lagi beli alat musiknya yang harganya tidak pernah murah.
Lalu kenapa saya ngotot memasukkan Hikari -dan sekarang, Aiko- ke les musik?
Ini postingan panjang. Consider yourself warned, ya…
Ketika Hikari kembali dari Jepang dan mulai sekolah di Jakarta, dia mulai mengalami masalah dengan sistem pembelajaran di sini. Usianya belum 5 tahun waktu itu. Saya sering nyindir bercanda soal itu. Di Jepang, Hikari sekolah umur 3 tahun tanpa bisa bahasa Jepang satu kata pun tapi dia sekolah dengan bahagia. Di Jakarta, umur Hikari sudah lebih besar dan bahasa Indonesianya baik dan benar, tapi dia frustasi dan stress. Hikari bisa menangis meraung-raung saat mobil kami tiba di pekarangan sekolahnya. Dalam kondisi seperti itu, saya bawa Hikari ke psikolog di UI. Dia sempat diobservasi 3x.
Hasil observasi menegaskan kecurigaan saya. Tidak ada yang salah dengan Hikari tapi banyak yang salah dengan sistem pembelajarannya. Hal lain yang keluar di observasi Hikari adalah dirinya begitu imaginatif dan penuh ide sehingga sering bila sesi kelasnya tidak menarik, Hikari akan cepat kehilangan konsentrasi. Psikolog yang mengobservasi Hikari kemudian memberikan saran untuk mencoba memasukkan Hikari ke les musik. Kenapa? Karena musik alaminya menyenangkan anak-anak dan saat bermain alat musik seorang anak bisa langsung mendengar sendiri kesalahan nada karena hilangnya konsentrasi. Jadi, kata konsentrasi menjadi berwujud bagi si anak.
Rekomendasi si psikolog tidak langsung kami ikuti karena setelah ngider ke sana ke mari untuk mengecek uang masuk les musik, saya dan Papap langsung terhempas ke aspal. Pos pengeluaran mana yang harus kami ketatkan demi les ini?
Sampai akhirnya di usia 6 tahun kami masukkan Hikari ke les piano.
Mampu membayar uang masuk, uang bulanan, uang buku, dan alat musik, bukan berarti masalah kelar. Saya dan Papap masih harus menggeret Hikari ke tempat lesnya di siang hari pas jam tidur siang setiap hari Sabtu. Les musik ini juga berarti komitmen waktu buat satu keluarga karena orang tua Hikari harus ikut mendampingi dia les. Setiap Sabtu Siang. Rasanya pengin balik ke tempat tidur dan ngorok di sana… 🙁 . Tapi prinsip kami selalu setiap kami mengikuti satu kegiatan harus sampai selesai. Jadi, target les musik ini buat Hikari harus sampai selesai satu level penuh yang artinya sekitar 6 tahun.
Berkali-kali saya rasanya ingin menyerah aja, apalagi karena Hikari sering malas latihan di rumah. Karena saya dan Papap tidak punya dasar musik sama sekali, kalau Hikari ngibulin kami saat latihan kami juga enggak tahu 😀 .
Papap bisa main gitar tapi genjreng-genjreng doang. Saya? Nyanyi aja fals apalagi main alat musik. Hikari tahu betul kalau orang tuanya buta tangga nada dan teknik bermain musik hahaha…. Sering saya iri pada anak-anak lain di kelas musik Hikari yang sepertinya antusias banget setiap masuk kelas, sementara wajah Hikari kayak wajah saya kalau antriannya diterobos orang. Mengingat mahalnya les ini, Papap sempat mempertanyakan apakah this whole painful process is worth the money and tears? Maksud Papap, kalau percobaan menggunakan musik untuk membantu Hikari ternyata tidak berjalan sesuai rencana, apa masih perlu diteruskan? Saya yang masih terus kekeuh surekeuh meneruskan les musik Hikari karena saya menyaksikan sendiri kata ‘konsentrasi’ menjadi wujud yang nyata. Setiap kali Hikari kehilangan konsentrasi dan jarinya meleset, saya bisa pakai momen itu untuk menunjukkan, “Nadanya salah ya? Konsentrasi ke jari, Hikari.” Hikari akan ambil napas, menghilangkan betenya sama saya, dan mulai main lagi. Kalau dia masih salah, dia sadar bahwa dia belum bisa mengontrol dirinya, emosinya, atau pikirannya. Ini kita ngomongin anak usia SD loh ya. Untuk urusan sekolah Hikari juga mengerti apa yang terjadi bila konsentrasinya hilang saat dia belajar di kelas atau di rumah.
Tapi toh cobaan untuk menghentikan les musik ini beraaaaat banget.
Dari soal biaya les yang naik terus sampai soal waktu sampai soal yang paling penting: Hikarinya sering bertingkah.
Saya lalu konsultasi dengan guru musiknya. Saya jujur bilang kalau ternyata tidak ada bakat musik sedikitpun di anak ini saya akan menghentikan penderitaan dia dan saya. Guru musiknya malah menunjukkan sesuatu yang saya terlewat.
“Soal bakat, ada anak yang cepat terlihat ada yang lambat. Tapi, hearing Hikari kuat loh. Ibu perhatikan enggak? Setiap kali saya tes anak-anak mendengarkan nada tanpa melihat, hampir selalu dia menjawab benar. Padahal saat diajari, dia seperti tidak mendengarkan.”
Saya mau nangis dengar ini. Di TK-nya, Hikari sempat dilabeli ‘kuping panci’ oleh gurunya karena kata gurunya dia sering tidak mendengarkan gurunya.
“Terus, setiap konser, Hikari selalu tepat. Tidak pernah meleset. Tidak pernah salah. Malah, kalau disuruh bikin aransemen sederhana, lagu Hikari kreatif banget.”
Bukti yang paling nyata dari les musik ini sebenarnya saat ujian. Setiap kali dia ujian oleh penguji yang selalu bikin saya dan Papap keringat dingin, Hikari selalu berhasil dapat nilai bagus. Dia bertingkah sepertinya supaya saya lulus ujian sabar 😀 .
Selain itu, saya sempat tanya dengan seorang teman yang pernah jadi guru musik soal menghentikan les musik Hikari. Jawaban dia waktu itu berdasarkan pengalamannya ‘kebanyakan anak-anak seringkali tidak tahu dia suka atau tidak dengan musik sampai umurnya lebih dewasa. Saat usia belasan tahun, baru mereka tahu gunanya, asyiknya, senangnya, bisa main musik’.
Okay. Jadi. Lesnya. Lanjut. Terus. Fiuh.
Level demi level, ujian demi ujian, konser demi konser, Hikari bisa lalui dengan baik, termasuk saat konser lagu buatan sendiri dan dia lupa aransemennya di tengah-tengah. Les musik menjadi semacam kawah ujian komitmen, pelajaran hidup, kreatifitas, dan banyak lagi. Ketika Hikari masuk ke kelas piano solo di usianya yang ABG, ujian lain menghadang. Hikari dan gurunya tidak cocok. Saya melihat endurance Hikari di momen-momen seperti ini. Dia belajar untuk tidak berhenti hanya karena tidak suka orangnya. Dia belajar untuk bertahan karena ilmu. Hikari belajar the bigger picture of life. Walau ada momen-momen di mana saya ngomel atau Hikari nangis, kami berdua jalan terus. Saya selalu menyempatkan mengantar dia les walau artinya pulang kantor harus melesat secepat kilat membelah Jakarta untuk kemudian ngos-ngosan menyetir ke tempat les. Saya menahan diri untuk tidak menyerah kasihan saat melihat wajah Hikari yang seperti menahan emosi setiap harus latihan di rumah karena bukunya penuh catatan gurunya. Kalau tidak perlu, dia tidak pernah menyentuh keyboardnya. Si Mami, ibu saya, sampai bilang saya kejam. This too shall pass.
Akhirnya Hikari lulus level ini dengan baik di antara drama-drama lesnya. Dia kemudian bicara ke saya. Hikari mau berhenti les musik.
Saya tanyakan ke dia apakah dia tidak mau main musik karena dia tidak suka musik atau karena hal lain? Jawabannya karena dia “bosan main piano klasik sama Kakak itu”. Saya berikan dia pilihan karena saya tidak rela dia berhenti belajar musik begitu saja: ganti alat musik atau tetap di piano tapi ganti guru?
Hikari pilih ganti alat musik sekalian. Dia pilih belajar gitar, instrumen yang beberapa bulan sebelumnya dia sebut “bikin sakit jariku”.
Saya berkompromi. Saya pindahkan dia ke gitar.
Walau terlihat nervous di awal, Hikari konsekuen masuk ke kelas itu. And he loves it.
Hikari dan gurunya punya bond yang bagus walau akhirnya lebih sering main Maroon 5 daripada gitar klasik.
Tidak lama setelah Hikari main gitar, ada yang berubah. Setiap malam, kami mendengar dia memainkan keyboardnya lagi. Sendiri. Tanpa disuruh.
Hikari mulai main lagu pop, mulai cari notnya di internet, mulai menggubah lagu sendiri. Kemudian, saya mendapat laporan dari sekolah kalau Hikari mau disuruh memainkan piano di acara-acara sekolah. Sampai pada suatu hari dia datang ke saya dan Papap untuk minta ganti piano yang serius, bukan hanya keyboard.
“Kamu sekarang lesnya gitar, tapi malah minta piano?”
“Karena aku suka cari lagu di internet buat main di piano.”
“Mau balik lagi les piano?”
“Enggak. Aku mau main piano sendiri aja sambil belajar gitar.”
“Kenapa harus ganti piano?”
“Aku mau main serius. Kalau keyboard beda bunyinya. Beda feel-nya. Aku suka musik dan mau coba bikin lagu.”
Usaha yang kami tanam, baru terlihat 9 tahun kemudian.
Minggu lalu, saya mendaftarkan Aiko ke les musik.
Masih mahal. Mahal banget.
Aiko lebih ekspresif dalam mempertontonkan keberatannya disuruh les musik. Matanya diperas-peras biar air matanya keluar. Hikari kemudian mendekati adeknya.
“Dek, les musik ya. Biar pintar kayak Kakak. Nanti bisa main lagu-lagu yang Aiko suka. Nanti bisa main piano bareng sama Kakak.”
Saya terharu.
Aiko akhirnya mau saya geret ke kelasnya. Seperti dulu Hikari, saya juga harus duduk di sebelah Aiko setiap les. Setelah manyun dan gengsi selama 10 menit pertama, Aiko mulai senyum-senyum di 20 menit berikutnya. Pulang dari les, Aiko membisiki saya.
“Mam, les Aiko kapan lagi? Besok ya?”
Pulang les itu si Papap mencegat saya.
“Gimana Aiko? Masih nangis di kelas?”
“Enggak.”
“Senang dia?”
“Senang.”
“Terus?”
“Terus, sekarang, kamu pikirkan cara supaya piano itu bisa kita beli.”