Membaca judul posting ini, bagi yang sudah nonton Cek Toko Sebelah pasti langsung mikir saya ngomongin Geng Capsa yang fenomenal di film Cek Toko Sebelah. Hehe… Bukan. Saya sedang ngomongin perasaan saya yang baper setelah nonton film CTS ini.
Awalnya saya dan Papap agak ragu mau nonton film CTS ini karena kami pernah trauma nonton film komedi dari sutradara Indonesia lain yang beritanya heboh sejagat maya. Kami pikir film ini sama dengan komedi itu yang rupanya menyasar para abege, bukan orang dewasa seperti kami. Saya pikir sih yang salah kami karena tidak bisa tertawa bareng abege yang memenuhi bioskop 😀 . Naaah, kami pikir CTS ini sama. Komedi = abege = suram nasib kami. Tapi, akhirnya kami memberanikan diri untuk nonton karena……ada Kaesang Pangarep di filmnya 😀 😀 😀 . Cetek banget.
Ternyata, di luar dugaan kami, film ini baguuuus dan sukses bikin saya mau nulis di blog (baca: baper). Saking bagusnya, saya sampai promosiin teman-teman saya yang sudah dewasa semua untuk nonton. Dan berhasil! Mereka pada nonton semua! Gue harusnya dapat fee promosi dah ini 😛 . Tapi tulisan ini bukan review atau sinopsis film ya. Ini sih baperan saya aja.
Kartu di Meja yang saya maksud di judul berasal dari ‘lay all your cards on the table‘ yang artinya kurang lebih buka-bukaan tentang diri kita kepada orang lain. Sebelum saya ngomongin soal film CTS, saya mau kasih cerita ini dulu.
Jadi saya pernah ngalamin ini. Ada orang baru di lingkaran pertemanan saya yang gayanya (termasuk gaya hidupnya), caranya memandang dunia, sampai ke prinsip hidupnya berbeda 180 derajat dengan 99% orang di lingkaran ini. Orangnya baik dan fun, hanya berbeda. Di kepala kami, termasuk saya jujur aja, sempat terpikir, ‘ngapain lu gabung sini? Ntar elu gak betah lagi?’
Lalu asumsi-asumsi liar bermunculan dari lingkaran ini. Banyak gosip, sedikit verifikasi.
Mungkin dia menyadari perbedaan dia dengan kami atau mungkin dia terbiasa aja mendapati keheranan orang. Yang dia lakukan kemudian itu lah yang menurut saya luar biasa berani. Pada suatu kesempatan orang banyak berkumpul, dia dengan santai membuka dirinya. Kisah hidupnya. Pengalamannya. Jatuhnya. Bangkitnya. Gelapnya. Terangnya. Termasuk kenapanya dia mau gabung dengan kami. Tinggal lah yang pada kepo kecewa karena semua info udah dibeberkan di atas meja makan itu 😀 . Buat saya yang sudah ditanya hal pribadi aja masih lebih sering ngeles daripada jawab, keberanian teman saya ini luar biasa. Dia membalikkan permainan ke kami. ‘Mau berasumsi (baca: ngegosip) apa lagi lu ke gue?!’ Karena memang asumsi dan gosip datang dari gelap-gelap. Kalau semua sudah terang, kamu mau larikan gosip itu ke mana?
Film CTS ini, buat saya, membangkitkan perasaan yang sama persis di saya seperti waktu saya dengar si teman di atas buka-bukaan, dengan hal-hal yang menjadi asumsi banyak orang terhadap keluarga Cina. Rasanya seperti membuka rumah orang Cina lebar-lebar untuk orang-orang yang pengin tahu tapi malu bertanya. Misalnya…
‘Semua orang Cina punya toko ya?’
‘Semua orang Cina bakat jualan kan?’
‘Semua orang Cina kaya ya?’
‘Orang Cina itu pelit kan?’
Di film ini terlihat ada proses, ada usaha, ada kerja keras, ada pilihan-pilihan, yang bermuara di satu kesimpulan setiap rumah berbeda dan juga sekaligus sama. Mau rumah Cina, mau rumah saya yang empat etnis, mau rumah Jawa, mau rumah Sunda, mau rumah lo…
Iya, buat saya (enggak tau juga kalau yang lain) film ini mengangkat isu etnis tanpa menggurui. Juga isu stereotyping (orang Cina selalu punya toko dan kaya atau anak pertama selalu jadi penerus keluarga). Juga isu kemunafikan masyarakat 😀 . Dan tentu isu keluarga yang pastinya terjadi di keluarga lain tanpa memandang etnis apa pun. Soal isu kemunafikan itu jelas disentil di adegan Geng Capsa yang sumpah lucu abis! Seperti kartu yang terbuka di atas meja, film CTS ini memberikan jawaban atas asumsi-asumsi banyak orang.
Adegan-adegan yang ada Geng Capsanya ini adegan favorit saya. Bukan cuma karena lucu, juga karena sarkasmenya juara! Di salah satu adegan Ameng memasang poster besar berisi doa di dinding ruangan tempat mereka biasa main kartu (baca: judi). Bayangkan main judi sambil diplototin poster doa di dinding. Tapi ini yang terjadi di kita toh? Sholat sih 5 waktu, bikin dosa ya jalan terus kayak gue 😀 . Jadi ingat cerita di manaaaaa gitu yang karakternya lakinya disebut husband material banget dan sholeh abis tapi tiap chapter ada adegan ciumannya. Hush! 😀 😀 😀
Sepanjang film ini, saya sukses nangis dengan paripurna sekaligus ketawa ngakak-ngakak. Satu bioskop pun ngakak rame-rame, kecuali anak-anak kecil yang tega banget wooooy ortunya bawa-bawa mereka nonton film dewasa. Ernest Prakasa, si sutradara-penulis-aktor, berhasil memasukkan beragam unsur emosi di sini ya yang paling jelas drama dan komedinya. Saya terutama acungin jempol untuk sindirian-sindiran halusnya. Oh iya saya acungin jempol juga buat Gisella Anastasia untuk kulit marmernya yang bikin ngiri sepanjang film 😳
Kalau ada yang mau nonton lagi, saya ikut dong!
Tuh kan…jadi malah lupa ngebahas Kaesangnya hahahaha….