Berkebun. Atau Sekadar Ubek-Ubek Tanah.

rose gardenSaya suka berkebun.
Hmmm…sebenarnya sih saya lebih sering membayangkan saya sedang berkebun. Saya sering berencana untuk mengolah halaman rumah menjadi full tanaman, full bebungaan, full tanaman dapur. Bolak-balik saya berencana melakukan sesuatu pada sisi halaman rumah bagian sini atau menanam pohon itu di sebelah sana atau mengatur ulang posisi para tanaman di sisi bagian situ. Jadi, memang lebih sering berkhayalnya daripada kejadian turun langsung ke kebun 🙂 . Tapi bila saya mendapat momentum 🙄 untuk berkebun, saya bisa seharian ndeprok di kebun dengan di kelilingi perabotan berkebun.

Momen ini jarang terjadi. Karena dalam satu bulan wiken cuma ada 4x dan biasanya 8 hari dalam wiken itu seringnya terpakai untuk pergi ke sana sini memenuhi titah para Kunyils, seringkali yang terjadi saya mengangkat diri saya sebagai jendral kebun saja. Lihat tanaman bagus, beli ini itu, atau minta ini itu ke si Mami, bawa ke rumah, suruh si Mbak untuk menanam di sini atau di situ 😉 …

Keinginan untuk berkebun serius ini persis seperti keinginan saya serius jadi penulis penuh waktu. Gak pernah kesampaian.

gardenSebenarnya modal berkebun serius saya sudah lumayan cukup. Halaman rumah saya cukup luas bila dibandingkan dengan halaman tetangga. Tapi bangunan rumah tetangga saya lebih luas bila dibandingkan dengan bangunan rumah saya 🙂 . Di daerah rumah saya pun banyak bertebaran toko (lebih mirip warung) penjual tanaman dengan harga standar. Kalau sedang gak punya duit untuk beli tanaman baru, saya masih bisa merengek ke si Kumendan untuk mendonasikan tanaman di kebunnya.

Salah satu tantangan terbesar selain tekad dalam berkebun adalah terbatasnya tanah alias media tanam. Tanah yang saya maksud bukan tanah yang ada di halaman. Seperti rumah-rumah di komplek perumahan pada umumnya, tanah di halaman rumah adalah tanah urukan. Artinya, secara kualitas tidak bagus untuk menanam tanaman dan secara kuantitas tidak banyak. Jadi, setiap kali saya ingin menanam sesuatu, baik di pot maupun di tanah, saya harus membeli media tanam aka tanah berpupuk kiloan. Benar-benar membeli seember tanah. Baru di tempat ini saya merasa sulitnya berkebun karena tidak punya tanah.

stylish-english-cottage-gardenTantangan terbesar lainnya adalah keinginan saya yang ketinggian dibanding usaha saya. Saya ingin kebun saya bergaya English garden. Lebih detil lagi, saya ingin kebun saya bergaya English Rosy Garden. Mawar di mana-mana. Rimbun. Warna-warni. Berantakan tapi natural. Saya justru paling gak selera lihat kebun bergaya minimalis 😛 . Padahal, bikin kebun seramai dan sewarna-warni English garden membutuhkan ilmu berkebun serius. Saya harus tahu tanaman apa ditanam bulan apa, berapa kali harus dipupuk oleh pupuk apa, dan sebagainya. Ultimate science! Tapi memang yang namanya khayalan gak boleh setengah-setengah ye 😆 .

pareNah di cuti akhir tahun kali ini saya sempat turun ke kebun saking lamanya saya cuti. Selain menipisnya dompet karena saya jadi kalap membeli tanaman dan saudara-saudaranya, saya sempat mengoprek halaman samping menjadi sepetak kecil untuk mawar. Di halaman belakang, tanaman pare saya sudah merambat indah dan berbuah pare kecil 3 biji. Koleksi pohon cabe saya bertambah banyak di dalam kaleng-kaleng bekas yang hampir dijual si Mbak. Koleksi Wijayakusuma saya juga beranak-pinak memenuhi halaman depan walau tidak ada satu pun yang berbunga. Rasanya puas. Dan bangkrut. Tapi puas.

Mudah-mudahaaaaaaan, tekad berkebun serius saya bakal konsisten, tidak seperti tekad menulis saya.

Yeah.Right.

Leave a Reply